OPINI

Konsumerisme Gaya Hidup Mahasiswa

Konsumerisme sebagai istilah yang sering dirujuk dalam pengertian yang mendunia. Pemikir ekonom dalam menggunakan istilah konsumerisme sebagai unsur positif ialah gerakan untuk mempertahankan hak-haknya yang sering kali dilecehkan. Hak-hak itu sebagai jaminan dalam keamanan, kesehatan, keagamaan, bahkan lingkungan.

Perang lembaga-lembaga sosial dan organisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Nahdatul Ulama, dan Muhammadiyah sebagai organsasi terbesar sekaligus organisasi keagamaan seperti ini sangatlah penting dalam menggalang konsumerisme yang positif itu. Hal ini disebebabkan posisi konsumen sangat lemah sehingga identik ditunjukkan kepada rakyat kelas menengah ke bawah sedangkan produsen sebagai para elite di Indonesia.

Para ahli ilmu sosial biasanya memberikan makna konsumerisme sebagai perilaku konsumtif dari masyarakat yang hidup berlebihan. Begitu pula mentalitas mahasiswa hari ini yang berpijak di negara berkembang namun cakrawala budayanya jauh mengikuti pola negara barat. Mahasiswa tersebut gagal menyeimbangkan tempat berpijak pola budaya yang dianutnya, sehingga menjadi mahasiswa yang hidup dengan ganjil di tengah masyarakat.

Akibat dari perkembangan zaman arus digitalisasi di negara-negara maju memberikan dampak pada proses globalisasi dalam berbagai kehidupan manusia, sehingga kita turut menyaksikan pengaruh media tingkat pertumbuhan kesejahteraan negara-negara maju secara mencolok.

Semua berkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipuja oleh manusia yang hampir mengesampingkan keyakinan mereka dalam beragama. Akibat kebutuhan manusia yang begitu serakah dalam produksi baik makanan maupun kebutuhan hidup lainnya menampilkan ekspresi terus menerus tanpa mengenal batas.

Kini menjadi persoalan yang sangat berbeda, dua puluh tahun yang lalu mungkin ilmuwan sosial masih bisa dimaafkan karena mengecam kehidupan demikian itu, semakin kesini perbuatan ahli sosial yang mengecam konsumerisme semakin tidak bisa dimaafkan. Kini orang tidak menyadari bahwa konsumerisme menimbulkan sebuah persoalan kebodohan dan nafsu yang merusak.

Gaya hidup yang dipuja tidak lagi memandang kalangan tertentu baik miskin atau kaya. Makin kesini perubahan gaya hidup itu masih bergerak perlahan di dalam diri, membuat orang lain memandang bahwa hal itu sudah sangat besar.

Tampaknya perkembangan zaman ini mendukung perubahan demikian itu, dengan begitu manusia akan terus mengikuti arus sejarah ini.

Sebenarnya apa yang membuat manusia seperti itu? Masyarakat mutakhir ini dalam perubahan yang dapat dipahami akan penulis sampaikan secara sederhana. Pertama pengaruh gelombang tinggi industri kapitalisme di Indonesia. Kedua, pergolakan tokoh intelektual sosial akibat masuknya pengaruh revolusi zaman dari Post-modernisme.

Kalau dilacak sebenarnya kedua pengaruh di atas hanya terjadi pada pergolakan intelektual di Barat. Tapi sekarang sangat jelas bahwa pengaruh itu tidak bisa dibendung masuk oleh cendekiawan dan masyarakat di Indonesia.

Mahasiswa Makin Individualis

Konsumerisme yang kita hadapi sekarang telah mencapai fase perkembangan begitu pesat dan hampir menyamai perkembangan yang ada di negara-negara maju, begitu pula dengan tingkat industrialisasinya.

Akibat gejala sosial-ekonomi yang identik dengan konotasi yang buruk serta memiliki mentalitas yang materialistis maka menghasilkan sikap hidup yang cenderung memandang segala sesuatu berdasarkan nilai materialnya, memandang kualitas seorang tergantung harta kekayaan yang dimilikinya dan mengesampingkan nilai-nilai religius.

Sifat materialisme inilah yang membuat mahasiswa bersifat individualis. Individual dalam filsafat dimaknai memiliki pandangan moral, politik bahkan sosial yang mementingkan kemerdekaan manusia itu sendiri. Seorang individualis terus berkehendak atas pribadi sendiri dan selalu menentang intervensi dari luar dirinya.

Dalam konteks ini, kita tidak akan membahas individualisme sebagai pemikiran filsafat, akan tetapi individualis sebagai gejala yang terjadi pada tiap personal mahasiswa. Sikap rakus yang ingin menampilkan diri di hadapan orang lain, tanpa mempertimbangkan sekitarnya dan senang melihat orang lain menderita.

Terlebih kemajuan teknologi arus digitalisasi dalam pemakaian gadget, media sosial, game online, belanja online dan penggunaan lainnya, membuat manusia abai terhadap kehadiran orang yang ada di sekitarnya.

Ketika manusia tenggelam terlalu lama dalam dunia media sosial maka bisa berdampak pada sikap individualistik hubungan sosial yang secara tidak sadar akan semakin jauh atau bahkan menghilang.

Saat ini fenomena yang terjadi di kampus lebih banyak berinteraksi dengan dunia digital, baik ketika belajar, pulang, bahkan berkumpul. Sehingga makna berkumpul lenyap seketika ditelan media sosial.

Mengapa ini terjadi? Dalam konteks media sosial memang memenuhi kebutuhan manusia dalam berbagai kehidupan yang disenangi, yang mana media sosial mampu mengatasi ketakutan manusia terbesar yaitu berbicara di depan umum.

Ketika kita telah tenggelam sangat dalam di dunia digitalisasi kita tidak akan merasakan begitu segarnya kehidupan luar, indahnya pegunungan, pantai, dan eratnya persahabatan yang penuh tawa. Sedangkan kehidupan nyata kita jelas tidak bisa lepas dari mahluk sosial yang butuh interaksi, bukan mahluk individual yang mengurung diri.

Berkurangnya Perasaan

Tingginya tingkat penggunaan internet di tengah masyarakat, membuat sebagian manusia semakin tidak memiliki perasaan kepada orang lain. Agak ironis memang, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa itulah yang terjadi di dunia media sosial.

Berkurangnya perasaan mahasiswa bisa dilihat dalam contoh senang memotret makanan. Memotret makanan dulu sebenarnya tidak familiar di tengah mahasiswa, berbeda dengan masa kini yang dikarenakan pengaruh akibat dari konsumerisme penggunaan gadget mahal mengabadikan momen foto-foto makanan dengan kamera kualitas tinggi.

Terkadang ada teman, tetangga, lingkungan di sekitar yang belum makan atau mengalami kesulitan ekonomi dalam kehidupan. Ketika melihat foto makanan di media tersebut membuatnya iri namun terkendala dengan uang yang tidak ada. Ini akan membuat kecemburuan orang dengan orang lainnya.

Generasi milineal saat ini, sering kali dipandang sebagai generasi apatis, individualis, dan egois. Akibat terlalu banyak menghabiskan waktu di depan media sosial, generasi milenial juga dianggap pula sebagai generasi  antisosial.

Tapi, tidak banyak juga yang melihat dari segi kepedulian, empati, dan wales asih kemanusiaan yang dilakukan mereka melalui media sosial.

Dengan memberikan perasaan sesama dengan membangun kesadaran diri, peka terhadap kondisi orang lain, melatih mengorbankan yang kita miliki, membayangkan kita berada di posisi mereka, maka senantiasa kita akan membahagiakan orang lain dan tidak lepas dari akar sosial.

Penulis: Hidayatullah

Editor: Redaksi

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *