ARTIKELOPINI

Kesadaran Mahasiswa PAI dalam Kacamata Paulo Freire

Dalam mengarungi bahtera kehidupan di panggung dunia ini, kesadaran menjadi elemen penting yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna dan dibekali akal, tentu di dalam setiap diri manusia terdapat unsur kesadaran.

Di sisi lain, manusia juga merupakan makhluk sosial, maka kesadaran yang dimilikinya pasti sangat dibutuhkan untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga sudah menjadi sebuah hukum alam bahwa, manusia yang tergabung dalam komunitas masyarakat, tentu nanti akan berhadapan secara langsung dengan berbagai permasalahan dan persoalan sosial di sekililingnya. Begitu pula bagi seorang mahasiswa yang dikenal dengan agent of change tentu nanti akan bersinggungan secara langsung dengan berbagai permasalahan di kampus maupun pribadi. Sehingga dibutuhkan kesadaran tinggi sebagai bekal untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Menurut Aristoteles, nilai tertinggi dari kehidupan lebih bergantung kepada kekuatan pada kesadaran. Artinya, kesadaran memiliki nilai yang substansial dalam menjalani sebuah kehidupan daripada hanya sekedar bertahan hidup semata.  Berbicara terkait kesadaran, ada seorang tokoh terkenal asal Brazil yang memiliki pemikiran tentang kesadaran. Sebelum kita lebih lanjut mengkaji mengenai kesadaran, maka kita kenali terlebih dahulu tokoh yang memiliki gagasan tersebut.

Mengenal Paulo Freire

Berbicara tentang Paulo Freire, tentu namanya sudah tidak terdengar asing di telinga para mahasiswa. Karena jika kita membaca terkait sejarah maka, kita akan mengetahui bahwasanya pada awal abad ke-21, pemikiran pendidikan kritis versi Paulo Fiere pernah menjadi paradigma pendidikan dalam menganalisa terkait berbagai problem sosial. Kemudian bagi yang belum mengenal, maka saya akan mengenalkan secara singkat siapa sebenarnya Paulo Freire itu.

Paulo Freire adalah seorang filosof dan tokoh pendidikan terkemuka asal Brazil. Paulo Freire lahir di Recife Brazil  pada tanggal 19 September 1921. Ia lahir dan dibesarkan dari keluarga golongan kelas menengah, namun pada tahun 1929 Brazil mengalami krisis Ekonomi. Sehingga  ia dan keluarganya mengalami kemiskinan dan kelaparan. Ia merupakan orang yang peduli terhadap kaum tertindas. Pemikirannya mulai berkembang ketika ia memutuskan untuk menjadi seorang guru bahasa Portugis. Kemudian pada tahun 1944 ia menikah dengan rekan kerjanya sendiri, yakni Elza Maia Costa de Oliveira.

Setelah itu karirnya naik daun menjadi seorang direktur dari departemen pendidikan dan kebudayaaan dinas sosial di negara bagian pernambuco. Karir inilah yang menuntunnya untuk banyak bekerja pada orang-orang buta huruf dan miskin.

Pada tahun 1964 ia meninggalkan Brazil, karena kondisi politik yang sedang kacau, di mana ditandai dengan terjadinya kudeta militer. Paulo Freire memutuskan migrasi ke Chile dan Bolivia, di sana ia bekerja untuk PBB sebelum dimintai sebagai seorang profesor tamu di Harvard pada tahun 1969.

Paulo Freire adalah sosok yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan ilmu sosial. Karena atas komitmennya yang senantiasa menyuarakan suara kaum tertindas serta gagasan-gagasan kritisnya terkait pendidikan untuk membuat kaum tertindas bisa sadar terhadap politik. Jadi,  kesadaran dan dialog-kritis adalah hal yang sangat melekat dalam diri seorang Paulo Freire.

Menurut Freire kesadaran manusia itu terbagi menjadi tiga, yakni kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Konsep kesadaran tersebut dijadikan Freire sebagai bekal untuk melawan para kaum penindas. Namun, dalam hal ini konsep kesadaran tersebut akan saya analogikan dengan kesadaran mahasiswa program studi Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pertama, mahasiswa Magis. Mahasiswa dalam kategori ini adalah seorang yang tidak sadar dan tidak mengetahui bahwa dirinya itu tidak bisa melakukan suatu pekerjaan.

Mahasiswa yang memiliki kesadaran magis adalah yang tidak tahu terkait dirinya sebagai mahasiswa, apa yang kemudian ia lakukan di kampus pun atau di saat kelas berlangsung pun ia tidak peduli. Baik itu dari segi ontologis, empistemologis maupun aksiologis. serta ia hanya sekadar ikut-ikutan tanpa ada tujuan yang jelas. Kalau bahasa Jawanya “wes emboh, pokoke aku tak melu ae”.

Kedua, Mahasiswa Naif. Dalam kategori ini adalah seorang mahasiswa yang sebenarnya ia itu sadar terkait keterbatasan dan kekurangan yang ada di dalam dirinya. Namun, ia tidak melakukan suatu usaha untuk menutupi keterbatasannya.

Misalnya, ketika ada seorang mahasiswa yang sadar bahwa, ia memiliki keinginan untuk menjadi seorang pembicara yang handal, atau mengaplikasikan dirinya sebagai agent of change itu, namun ia tidak bergerak dan belajar untuk memenuhi keinginannya.

Mahasiswa yang memiliki kesadaran naif adalah mahasiswa yang sadar bahwa dia di kampus tidak mengikuti kegiatan penunjang life skill atau organisasi yang menunjang jiwa kepemimpinannya, atau bahkan mahasiswa yang sadar dirinya tidak aktif di kelas, namun ia tidak bergerak dan tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan penunjang life skill, atau bahkan aktif di kelas.

Ketiga, Mahasiswa Kritis. Mahasiswa dalam kategori ini adalah seorang yang sadar bahwa ia tidak mampu, namun ia sangat optimis dan ada upaya untuk merubah ketidak mampuannya. Misalnya, jika ia sadar bahwasannya dirinya belum mampu dalam hal berbicara di depan. Maka, ia akan berusaha dan mencari jalan keluar dari ketidak mampuannya.

Mahasiswa yang memiliki kesadaran kritis adalah yang sadar bahwa ia kuliah untuk menjadi seseorang pembawa perubahan (agent of change), ia kuliah bukan sekedar ikuta-ikutan namun karena untuk proses pengembangan diri, yang bisa melalui mengikuti organisasi atau bahkan ia aktif di kelas seabagai bukti ia serius dalam berkuliah. Dengan itu seorang mahasiswa akan bisa memecahkan suatu masalah yang dihadapi.

Relevansi dalam Konteks PAI

Mahasiswa PAI yang memiliki kesadaran kritis akan mampu membaca dan menginterpretasikan ajaran agama secara kontekstual. Mereka dapat melihat bagaimana ajaran agama dapat diaplikasikan untuk memecahkan masalah sosial dan mempromosikan keadilan

Kesadaran, sesuai dengan pandangan Paulo Freire, adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Dalam konteks pendidikan Islam, kesadaran membantu melampaui sekadar hafalan teks-teks agama tanpa pemahaman mendalam. Mahasiswa PAI yang memiliki kesadaran kritis yang dapat menjadi agen perubahan yang memahami dan menjalankan nilai-nilai agama Islam dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Dalam mengaplikasikan konsep-konsep kesadaran menurut Paulo Freire, pendidikan Islam dapat menjadi lebih dinamis dan relevan. Mahasiswa PAI yang memiliki kesadaran kritis, yamg dapat menjadi pilar dalam membentuk masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus terus mendorong dan mengembangkan kesadaran ini agar mahasiswa tidak hanya menjadi pemahaman agama yang baik tetapi juga individu yang berkontribusi positif dalam menciptakan masyarakat yang adil dan berkeadilan.

Penulis: Hanif Syairafi Wiratama

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *