ARTIKEL

Tasawuf Modern: Perspektif Kebahagiaan Pemikir Timur dan Barat

Saya sebagai perantau yang jarang pulang, kebahagiaan itu datang ketika pulang ke kampung halaman. Adapun saya sebagai mahasiswa, ketika nilai-nilai keilmuan bisa di aktualisasikan secara maksimal itulah bahagia. Bagi orang miskin mengatakan kekayaan itulah kebahagiaan. Adapun seorang pendosa mengatakan bahagia itu ketika bisa terlepas dan berhenti dari dosa itu dan masih banyak lagi kebahagiaan menurut orang-orang.

Dengan banyaknya perbedaan perspektif kebahagiaan ini, maka akan menjadi bingung jika memikirkan apa makna sebenarnya kebahagiaan. Maka disini mengemukakan beberapa pendapat para ahli yang saya baca pada Buku Tasawuf Modern karya Buya Hamka, saya yakin ini belum mampu menemukan jawabannya secara maksimal, namun semoga dengan pendapat-pendapat ini bisa memudahkan dalam memahami hakikat kebahagiaan itu sendiri.

Pendapat Aristoteles

Aristoteles berpendapat bahwa “Bahagia bukanlah suatu perolehan untuk manusia, tetapi corak bahagia itu berlain-lain dan berbagai ragam menurut perlainan corak dan ragam orang yang mencarinya. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak oleh orang lain. Sebab itu menurut undang-undang Aristoteles, bahagia itu ialah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing.”

Aristoteles beranggapan bahwa kebahagiaan itu tidak memiliki satu arti, tetapi kebahagiaan itu sesuai manusia masing-masing yang meraihnya. Jadi tiap-tiap manusia dalam meraih kebahagiaan sesuai dengan apa yang di cari dan di rasakan.

Pendapat Hendrik Johan Ibsen

Hendrik Ibsen berkata “Kita belum tentu mencapai bahagia, sebab tiap-tiap jalan yang ditempuh menjauhkan kita daripadanya.”Dia berkeyakinan bahwa kebahagiaan itu tidak bisa di tempuh, semakin di kejar, maka akan semakin tidak bisa untuk menempuh kebahagiaan tersebut, justru hanya menghabiskan umur saja.

Contohnya seorang pahlawan yang berjuang melawan penjajah untuk meraih kemerdekaan itu sebagai kebahagiaan tanah air, tetapi justru juga menghilangkan kebahagiaan tanah air yang di jajah. Adapun seorang presiden yang berjanji dalam kampanyenya untuk memakmurkan rakyatnya, tetapi setelah terpilih justru ia dzalim tidak memenuhi hak-hak rakyatnya.

Oleh karena itulah, Johan Ibsen beranggapan bahwa meraih kebahagaiaan hanya membuang-buang waktu saja untuk menghabiskan umur. Thomas Hardy[1]pun sepemahaman dengan Hendrik Ibsen bahwa bahagia itu tidak bisa di dapatkan.

Pendapat Leo Tolstoy

Leo Tolstoy berpendapat bahwa yang menjadi sebab manusia tidak mendapat kebahagiaan seperti Hendrik Ibsen dan Thomas Hardy tadi ialah karena mereka mencari bahagia hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk bersama. Menurutnya bahagia yang di raih secara individu itu mustahil tercapai, karena kebahagiaan untuk diri sendiri dalam meraihnya pasti akan mengganggu bahagia orang lain.

Jadi bahagia itu harus di raih bersama untuk mencapainya, perlu ada rasa persatuan keperluan dan persatuan keinginan, maka dengan itu akan timbul rasa peduli antara bersama dan rasa tolong-menolong. Karena manusia dalam berkehidupan pasti tetap bergantung dengan manusia yang lain. Bahagia yang sejati, ialah bahwa bisa mencintai sesama manusia seperti mencintai diri sendiri, begitulah menurut Tolstoy.

Pendapat Tokoh-tokoh Islam

Ahli syair bernama Huthai’ah berpendapat bahwa “bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpulkan harta benda. Tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia.” Menurutnya cukuplah berpegang teguh pada pedoman agama, maka kebahagiaan itu akan tercapai.

Pendapat yang senada juga di sebutkan oleh Ibnu Khaldun “bahagia itu ialah tunduk dan patuh mengikut garis-garis yang di tentukan Allah dan prikemanusiaan.”

Pendapat Imam al-Ghazali

Imam al-Ghazali berpendapat “ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita merasakan nikmat kesenangan dan kelezatannya. Dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing, maka kelezatan ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain di tubuh manusia. Adapun kelezatan hati itu di jadikan untuk mengingat Tuhan.”

Menurut beliau juga, kesempurnaan kebahagiaan itu terletak pada tiga kekuatan. Pertama, kekuatan marah, artinya harus mampu mengendalikannya, jangan berlebihan tetapi harus di tengah-tengah. Sebab, jika berlebihan akan timbullah kejadian memaki, memukul hingga membunuh.

Tetapi jika kekuatan marah ini lemah juga tidak baik, karena akan timbul rasa hilang semangat dan hilang tanggung jawab atas berkehidupan. Jadi harus di tengah-tengah, maka akan timbul yang namanya keberanian dan kesabaran hingga segala aktivitas bisa dikerjakan dengan nikmat.

Kedua, kekuatan syahwat. Sama juga dengan kekuatan marah, harus di tengah-tengah. Jika syahwat berlebihan maka akan menjadikan manusia itu fasiq dan onar (melanggar perintah Tuhan). Kalau lemah pun akan melemahkan hati dan menjadi pemalas. Maka dari itu harus di tengah-tengah dan akan timbul ‘iffah (dapat menggendalikan diri) dan qana’ah (merasa cukup dengan yang ada dan tidak berhenti ikhtiar).

Ketiga, kekuatan ilmu. Dengan keseimbangan kekuatan marah dan syahwat, maka dengan itu menunjukkan bahwa kekuatan ilmu yang sudah seharusnya dan akan menuntun lurusnya perjalanan menuju petunjuk Tuhan. 

Makna Kebahagiaan sebenarnya

Masih banyak lagi pendapat-pendapat yang tidak bisa saya sebutkan yang ada dalam Buku Tasawuf Modern karya Buya Hamka tersebut, seperti Phitaghoras, Socrates, Plato hingga Yahya bin Khalid al-Barmaky, Abu Bakar ar-Razi dan lain-lain. Dari sekian pendapat tentang kebahagiaan, dapat saya pahami bahwa kebahagiaan itu sifatnya relatif ketika di ambil dari teori-teori manusia, karena berdasarkan acuan pengalaman masing-masing yang merasakan.

Namun, ketika kita merujuk pada ajaran islam kita dibentangkan kebahagiaan yang di isyaratkan dalam Al-Qur’an yang menjadi kalam Allah dan juga tentunya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Allah memberikan pedoman kepada manusia yang mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati dalam menjalani kehidupan. Yang ternyata bukan hanya kehidupan dunia semata, tapi juga di setiap tempat seperti ruang yang di pijak, waktu yang di lalui baik di dunia, di alam kubur sampai kembali di hadapkan kepada Allah di akhirat kelak. Kebahagiaan sebenarnya menurut subjektif saya adalah keseimbangan antara material dan spritual, dunawi dan ukhrawi, yang keseluruhan tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Wallahu a’lam bishshawab

Najihus Salam

Mahasiswa Ilmu Quran Tafsir

2 komentar pada “<strong>Tasawuf Modern: Perspektif Kebahagiaan Pemikir Timur dan Barat</strong>

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *