Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain colormag dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /home/isla3269/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
Jejak Baruch Spinoza: Sang Pengembang Pantheisme Ala Barat - Islamika Online
ARTIKEL

Jejak Baruch Spinoza: Sang Pengembang Pantheisme Ala Barat

Setiap saat, pemikiran filosofis Spinoza selalu menarik dan layak dipelajari karena ia menawarkan pemahaman yang kuat dan perspektif mendalam tentang masalah filosofis penting seperti apa yang dapat kita ketahui, realitas, dan manusia. Beberapa filsuf modern telah mengulanginya dalam beberapa dekade terakhir. Mulai dari filsuf Marxis seperti Balibar, Negri, dan Badiou, serta filsuf skizo-anarkis Deleuze, hingga teoretikus feminis seperti Irigaray dan Genevieve Lyold. Bahkan Althusser, pangeran materialis saintifik, menyatakan bahwa dia adalah Spinozist. Mereka berusaha, masing-masing dengan cara yang berbeda, untuk menguraikan kembali cakrawala pemikiran Spinoza yang aneh dan unik ini. Namun, faktor apa yang membuat Spinoza begitu dicintai? Apa yang sebenarnya dicari oleh para filsuf modern dari Spinoza, seorang pemikir yang hidup sendiri? Oleh karena itu, pemahaman lebih lanjut tentang pemikiran Spinoza diperlukan.

Doktrin substansi monisme, naturalisme yang kekal, dan mode eksposisi geometris yang digunakan Spinoza dalam Etika adalah tiga komponen utama dari pemikiran filosofisnya. Doktrin substansi monisme merupakan ciri khas dari pemikiran filosofis Spinoza. Doktrinnya tentang substansi monisme ini memberikan dasar untuk penyampaian prinsip-prinsipnya yang menjelaskan kesatuan realitas. Meskipun demikian, ia bukanlah filsuf pertama atau terakhir yang mendukung monisme metafisika, yang menganggap realitas sebagai satu kesatuan. Parmenides (500 SM) adalah orang pertama yang mengatakan bahwa realitas itu lengkap, homogen, dan kekal. Namun, berbeda dengan Parmenides, Spinoza mencoba menjelaskan perbedaan daripada menolaknya.

Naturalisme Spinoza adalah elemen lain yang paling menonjol dan menyatukan karyanya. Fokus Spinoza adalah menjelaskan dan menganalisis segala sesuatu secara alami. Selain itu, ia menaturalisasi teologi. Spinoza menyatakan dalam karya terpentingnya yakni Etika, bahwa Tuhan adalah awal dan akhir dari filsafatnya, dan bahwa Dia adalah sumber utama dari semua yang perlu dipahami dan subjek terakhir yang ingin kita ketahui. Namun, perspektifnya tentang Tuhan dan hubungannya dengan dunia hampir mirip dengan monoteisme tradisional. Dia harus disebut sebagai penyebar ateisme yang picik karena keyakinannya tentang Tuhan ini sangat diperdebatkan di masa depan.

Spinoza lahir pada tahun 1632 di Amsterdam. Ia berasal dari keluarga Yahudi-Spanish yang bermigrasi ke Portugal dan kemudian ke Belanda. Orang Yahudi hidup dengan kebebasan di Belanda, jauh dari persekusi; ayah Spinoza terlibat dalam perdagangan Belanda. Selain itu, Spinoza mendapatkan pendidikan tradisional Yahudi. Karena tinggal di Amsterdam, ia belajar bahasa Belanda dan menguasai bahasa Latin di awal dua puluhan. Semua tulisan filosofisnya awalnya ditulis dalam bahasa Latin. Meskipun Colerus yang merupakan seorang pendeta Lutheran, menemukan keyakinan Spinoza “absurd dan menyimpang,” penulis biografinya yaitu Johannes Kohler, memuji karakternya.

Spinoza secara resmi dibenci dan dikucilkan oleh para tetua komunitas Yahudi Amsterdam pada usia 44 tahun. Konon, beberapa teman-temannya mengkhianati dia karena mengakui bahwa ia tidak menemukan apapun dalam alkitab yang bertentangan dengan keberadaan Tuhan yang jasmani, bahwa malaikat hanyalah hantu, dan bahwa jiwa hanyalah prinsip kehidupan. Tulisan-tulisannya pun dilarang dan dianggap berbahaya. Hidupnya berada dalam kemiskinan, dan dia memilih untuk mencari nafkah dengan mengukir lensa. Spinoza bertemu dengan Jan Dewitt, Grand Pensionary of Holland, di Voorburg, dekat Deen Haag. Dewitt ditentang oleh pendeta Calvinis dan orang lain yang menginginkan negara agama, serta orang yang mendukung Pangeran Oranye, karena dia mendukung toleransi beragama dan kebebasan berbicara. Perang dengan Inggris dan Swedia (1665-1667) dan perang antara Inggris dan Prancis (1672) memperumit konflik antara kedua pihak. Spinoza menulis Theologico-Political untuk membebaskan para teolog dari tuduhan ateisme dan mendukung Dewitt. Ketika Dewitt mengunjungi saudaranya Cornelius, yang dipenjara di Den Haag, segerombolan massa masuk dan mengamuk dengan kejam, membunuh kedua saudara lelaki itu. Dengan emosi yang tidak biasa, Spinoza mendengar berita ini.

Semua karya Spinoza, kecuali beberapa yang ditulis dalam bahasa Belanda, ditulis dalam bahasa Latin. Antara karya-karya pentingnya adalah Tractatus de Intellects Emendatione, Brief Treatise on God, Man and His Happines (dalam bahasa Belanda), Tractatus theologico-politicus, Tractatus politics, Cogitata metaphysica, dan Ethica ordine geometrico demonstrata, yang diterbitkan setelah kematiannya. Karya yang terakhir ini menggunakan aksioma, definisi, proposisi, demonstrasi, korolari, dan scholia, seperti yang biasa digunakan dalam buku matematika.

Karya penting Spinoza, Ethics Demonstrated in Geometrical Order (Etika), ditulis dengan cara yang tidak biasa. Serangkaian definisi, aksioma, proposisi, demonstrasi, dan korolari yang mengintimidasi dibandingkan dengan prosa yang mengalir. Meskipun lebih mirip dengan prinsip-prinsip matematika dari filsafat alam Newton, ia lebih mirip dengan teks matematika daripada karya filosofis. Ini menunjukkan bahwa etika, seperti mesin yang rumit, memiliki kekuatan penghancuran yang membuat kita terheran-heran dan ketakutan pada saat yang sama, seolah-olah kita berdiri di depan kapal perang yang kokoh. Apa yang mendorong Spinoza untuk menggunakan “bahasa” geometri yang terlalu rumit untuk menampilkan ide-ide filosofisnya? Apakah Spinoza tidak menyadari masalah yang akan datang?

Beberapa kritikus Spinoza telah menawarkan beberapa alasan untuk menjelaskan mengapa dia memilih pendekatan eksposisi geometris sebagai cara untuk menguraikan ide-ide filosofisnya. Mereka mengatakan bahwa pendekatan ini sangat cocok untuk materi yang dipelajari Spinoza—hubungan logis antara alam dan apa yang dia anggap sebagai hubungan kausalitas yang sebenarnya. Yang lain berpendapat bahwa ia menggunakannya baik untuk tujuan pedagogis—untuk memberikan presentasi yang tepat kepada siswanya—maupun untuk menyembunyikan gagasan-gagasannya dari pembaca yang tidak menyukainya.

Spinoza berupaya membangun kebenaran paling mendasar dengan kepastian yang kuat mengenai Tuhan dan substansi. Ia menyadari bahwa cara paling efektif untuk menyampaikan gagasannya adalah melalui mos geometricus, atau “metode geometris,” dengan menyusunnya dalam urutan geometris. Pada abad ke-17, matematika menjadi model utama untuk memperoleh pengetahuan yang pasti. Proposisi atau tesis dirumuskan secara jelas, pembuktiannya tidak dapat disangkal jika diikuti dengan benar, dan metode yang digunakan tampak sederhana. Elemen Euclid, sebagai paradigma disiplin ilmu paling terkenal, diawali dengan dua puluh tiga definisi dasar (misalnya, “Titik adalah sesuatu yang tidak memiliki bagian” dan “Garis adalah panjang tanpa lebar”), lima postulat (seperti “Semua sudut yang sama besar adalah sama satu sama lain”), serta lima aksioma umum (contohnya, “Hal-hal yang sama dengan hal yang sama juga sama satu sama lain” dan “Jika sesuatu yang sama ditambahkan pada sesuatu yang sama, hasilnya tetap sama”). Dengan prinsip-prinsip dasar ini, Euclid berhasil membuktikan berbagai proposisi tentang angka dan sifat-sifatnya, termasuk beberapa yang sangat kompleks.

Spinoza memilih mos geometricus dalam Etika karena sifatnya yang persuasif dan kemampuannya menunjukkan hubungan logis antara konsep-konsepnya. Menurut Nadler, metode ini memberikan struktur yang jelas dan sistematis, memungkinkan pembaca memahami dan menerima kebenaran yang diusungnya. Spinoza meyakini bahwa pendekatan geometris adalah format terbaik untuk menyampaikan ide-idenya, meskipun ada keterbatasan dalam penerapannya.

Model geometris juga membantu merangkum berbagai konsep dalam sistem yang ringkas dan terstruktur. Spinoza lebih teguh dalam mengadopsi metode ini dibanding Descartes, meskipun terdapat kritik terhadap monisme substansinya dan usahanya mempertahankan naturalisme dalam filsafatnya.

Secara historis, pemikiran Spinoza dipengaruhi oleh berbagai tradisi, termasuk Cartesianisme, Skolastik (Scotisme dan Occamisme), filsafat Yahudi (Maimonides dan Cabbala), Stoicisme, serta filsafat alam dan gagasan Giordano Bruno. Dalam pembahasannya tentang substansi, ia mengikuti jejak Descartes, yang pada gilirannya merujuk pada konsep substansi Aristoteles. Aristoteles mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang menjadi dasar predikasi tanpa bergantung pada entitas lain, serta mampu menampung kualitas yang berlawanan tanpa kehilangan identitasnya.

Substansi adalah sesuatu yang tetap identik meskipun mengalami perubahan, karena ia bersifat mandiri. Misalnya, ketika warna wajah Socrates berubah akibat paparan matahari, warna aslinya hilang dan digantikan warna baru, tetapi Socrates tetap individu yang sama. Dalam pemikiran Aristoteles, substansi primer lebih mendasar daripada propertinya, karena ia menjadi dasar bagi properti tersebut dan tetap bertahan meskipun propertinya berubah.

Descartes, yang menjadi inspirasi bagi Spinoza dalam metafisika, mewarisi aspek logis dan ontologis dari konsep substansi Aristoteles. Ia kemudian menawarkan definisi substansi yang lebih lanjut dalam kerangka filsafatnya. Descartes membedakan dua jenis substansi. Pertama, ia mendefinisikan substansi sebagai sesuatu yang eksis secara mandiri tanpa bergantung pada hal lain. Dalam pengertian ini, hanya Tuhan yang benar-benar memenuhi syarat tersebut, karena segala sesuatu selain Tuhan bergantung pada-Nya.

Namun, ia juga mengakui adanya substansi lain yang tetap membutuhkan Tuhan untuk eksistensinya, tetapi tidak bergantung pada entitas lain. Substansi ini adalah res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi yang memiliki keluasan).

Meskipun baik Aristoteles maupun Descartes menganggap substansi sebagai subjek dari propertinya, Descartes menambahkan kriteria keberadaan independen, yang mempersempit definisi substansi. Bahkan ketika konsep ini diperlemah untuk mencakup substansi yang tetap bergantung pada Tuhan, individu-individu seperti tubuh manusia atau kuda tidak dapat dikategorikan sebagai substansi karena mereka dapat hancur oleh sebab alami. Hanya materi secara keseluruhan (res extensa) yang memenuhi syarat sebagai substansi.

Sementara itu, res cogitans atau akal, menurut Descartes, adalah substansi yang berbeda sepenuhnya dari tubuh dan dapat eksis tanpa akhir, kecuali jika Tuhan membatalkannya. Pada titik inilah Spinoza memberikan kritik dan transformasi terhadap pemikiran Descartes. Bagi Spinoza, hanya ada satu substansi tunggal dengan atribut yang tak terhingga, yaitu Tuhan. Segala sesuatu selain substansi ini hanyalah mode atau bentuk ekspresi dari substansi tersebut. Dalam pandangan Spinoza, apa yang disebut substansi oleh Descartes sebenarnya adalah atribut, yaitu aspek yang dipersepsikan sebagai bagian esensial dari substansi.

Spinoza menyatakan bahwa terdapat atribut yang tak terhingga, tetapi manusia hanya mengenal dua: cogitatio (pemikiran) dan ekstensio (keluasan), yang dalam sistem Descartes disebut res cogitans dan res extensa. Namun, dalam hierarki ontologis Spinoza, keduanya bukan lagi substansi yang berdiri sendiri, melainkan hanya atribut dari satu substansi tunggal. Konsep ini dikembangkan dalam empat belas proposisi pertama Etika bagian I, yang menegaskan bahwa hanya Tuhan yang merupakan substansi alam semesta. Dalam Proposisi 14, Spinoza menyimpulkan bahwa “Kecuali Tuhan, tidak ada substansi yang dapat ada atau dipahami.”

Dalam Etika bagian I, Spinoza membangun dasar metafisiknya dengan menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu, yang dirumuskannya sebagai Deus sive natura (Tuhan atau alam). Menurutnya, substansi adalah segala yang ada, sementara semua hal lain merupakan afeksi dari substansi tersebut. Argumen Spinoza berlandaskan pada dua premis utama: (1) Tidak ada dua substansi yang dapat memiliki atribut yang sama, dan (2) Substansi pasti ada. Dari sini, ia menyimpulkan bahwa Tuhan adalah satu-satunya substansi yang ada dan memiliki semua atribut (Proposisi 14). Atribut, menurut Spinoza, adalah aspek esensial dari substansi sebagaimana yang dipersepsikan oleh manusia.

Spinoza menolak gagasan bahwa dua substansi dapat memiliki atribut yang sama. Jika ada dua substansi berbeda, perbedaannya hanya dapat didasarkan pada atribut atau afeksinya. Namun, jika dua substansi memiliki atribut yang sama, mereka tidak lagi dapat dibedakan sebagai substansi yang terpisah. Oleh karena itu, hanya ada satu substansi dengan atribut tak terhingga—Tuhan atau Alam (Deus sive natura). Dalam Etika bagian II, Spinoza menegaskan bahwa pemikiran (cogitatio) dan ekstensi (extensio) adalah dua atribut Tuhan yang dapat diketahui manusia. Hal ini berbeda dari Descartes, yang menganggap akal manusia sebagai substansi tersendiri. Bagi Spinoza, akal dan tubuh bukanlah substansi, melainkan hanya mode dari satu substansi universal, yaitu Tuhan.

Penulis: Fauzan Addinul Jihad

Editor: Aryanti Artikasari

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *