Pendekatan Teologi Berkemajuan: Memahami Iman
Tawaran teologi dari Prof. Dr. Haedar Nashir disebutkan di seminar internasional Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta adalah teoantroposentrisme, teologi inilah yang disebut dengan teologi berkemajuan. Bagi penulis, dalam surah al-baqarah ayat 1-5 pantas dikaji lebih dalam untuk mencapai kebahagiaan yang utuh dalam berkehidupan. Penulis mencoba memahami 5 ayat ini dengan pendekatan teologi yang berbeda, yaitu teologi berkemajuan atau teologi Muhammadiyah, karena sejalan dengan kerangka berfikir teoantroposentris.
Hal ini pun, penulis berasumni sejalan dengan rumusan teologis Muhammadiyah yang dikedepankan Amien Rais, yaitu ada 5 (lima) dasar/acuan yang saling berhubungan, yaitu (1) Unity of Godheit yang merupakan implementasi dari kalimat syahadat. Konsekuensinya, yaitu (2) unity of creation atau kesatuan penciptaan alam tanpa batas dan (3) unity of mankind atau kesatuan kemanusiaan. (4) Unity of Guidance atau kesatuan dalam hidayah yang berkonsekuensi pada (5) unity of truths atau penyatuan kebenaran yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah.
Berangkat dari lima dasar teologinya itulah, berikutnya Amien Rais memunculkan gagasan teologi atau tauhid sosial. Yang dimaksudkannya yaitu menempatkan tauhid sebagai landasan untuk menegakkan keadilan sosial. Setiap gejala eksploitasi manusia atas manusia merupakan pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia di hadapan Allah Swt.
Pertama, kebahagiaan itu harus di mulai dengan keyakinan yang paripurna. Jadi jika ingin bahagia, manusia itu harus yakin jangan pernah ragu untuk menyiapkan langkah-langkah positif yang melahirkan kebahagiaan itu. Puncak keyakinan itu adalah ketangguhan untuk menautkan segala bentuk harapan apapun itu kepada Sang Pencipta Allah, walaupun belum tampak di hadapan manusia atau ghaib sifatnya, tetapi karena kuat keyakinan yang di gantungkan secara totalitas kepada seluruh ketetapan Allah, maka sikap positif ini adalah pengantar menuju kebahagiaan yang sebenarnya.
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
yakin tanpa ragu sedikitpun dengan menekankan seluruh harapan kepada Allah inilah yang disebut iman. Keimanan yang sejati akan memberikan jaminan pengantar pada kebahagiaan. Orang beriman disebut “mu’min” jamaknya “mu’muninun” dijadikan nama surah ke-23 sesuai namanya yaitu al-mu’muninun yang artinya orang-orang beriman. Pada ayat pertamanya di sebutkan
قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.”
Kedua, setelah penuh keyakinan secara paripurna. Kemudian membangun konektivitas dengan Allah, tidak cukup hanya dengan yakin tapi di buktikan dengan mendekat kepada Allah. Manusia yang dekat dengan penguasa sangat rasional jika dia mudah mendapatkan akses-akses yang di fasilitasi oleh penguasa tersebut, begitu pula dengan yang lainnya. Lalu, coba sekarang kita korelasikan dengan Allah, jika manusia itu dekat dengan Allah, pasti semua di berikan, karena Allah yang mengusai segalanya tanpa batas.
Membangun konektivitas dengan Allah, berarti menyambungkan diri manusia sehingga membangun kedekatan yang spesial dengan Allah, itu bisa dibuktikan dengan shalat, ini disebutkan di lanjutan potongan ayat 3 al-baqarah sebelumnya.
وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
ibadah nya di sebut dengan shalat yang asal akar kata turunan nya “washala-yashilu-shilatan” kemudian ada yang menjadi “shalatan” yang secara kebahasaan akar katanya bisa di artikan sesuatu yang tersambung dengan erat. Shalat juga dapat diartikan dengan doa, karena ketika berdoa itulah posisi manusia sedang tersambung erat dengan Allah. Disebut ibadah shalat juga karena melatih diri manusia agar tersambung erat dengan Allah, maka dari itu seluruh dalam shalat, baik mulai dari gerakan hingga bacaan yang ada dalam shalat, seluruhnya membangun hubungan kedekatan dengan Allah. Dan harapannya pasca shalat, dengan itu manusia menjadi terkoneksi dengan Allah.
Ketiga, untuk menempuh kebahagiaan itu yaitu di sebutkan di potongan ayat selanjutnya :
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Dan juga antusias dalam kepudulian sosial, senang berbagi, bisa berbagi dalam bentuk pikiran, berbagi harta benda dalam konteks infaq, seperti pakaian, makanan dan uang. Ini adalah bukti kepedulian sosial dengan memperhatikan yang benar-benar membutuhkan perhatian, bukan masalah jumlah berapa yang di berikan tetapi dengan niat yang tulus itulah yang memberikan jalan menuju kebahagiaan.
Keempat, yaitu meyakini apa yang telah diturunkan (Al-Qur’an) kepada Rasul itu adalah kebenaran, seperti apa yang termaktub potongan ayat nya, yaitu :
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
Dibuktikan melalui interaksi dengan Al-Qur’an karena hal ini mendatangkan ketenangan. Dalam surah al-hijr ayat 9 Allah menyebutkan bahwa Al-Qur’an yang di turunkan itu sebagai dzikir dan surah ar-ra’d ayat 28 menyebutkan bahwa hanya dengan berdzikir akan membuat hati tenang. Maka berintraksi dengan Al-Qur’an adalah bentuk berdzikir dan inilah yang akan mendatangkan kebahagiaan yang sebenarnya.
Kelima, yaitu meyakini juga bahwa benar adanya apa yang diturunkan sebelum Al-Qur’an seperti taurat, injil, dan lain-lainya, seperti di sebutkan lanjutan potongan ayatnya :
وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
Tentunya, agar bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah masa lalu. Karena semua pernah terjadi di masa lalu hingga menjadi inspirasi untuk bertindak dan dengan mempelajari kisah-kisah terdahulu yang telah menjadi pelajaran inilah bisa meringankan beban yang diharapkan juga bisa mendatangkan kebahagiaan.
Rincian amalan terakhir keenam, yaitu :
وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Puncaknya yaitu harus yakin dengan kehidupan akhirat, sering-sering mengingat kehidupan akhirat karena kehidupan dunia itu sifatnya sementara dan kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat. Bukan tentang kapan kita berpulang ke akhirat, tapi dalam keadaan apa kita berpulang kelak. Maka Allah memberikan rincian amalan tersebut agar ada harapan untuk wafat dalam keadaan bahagia, tempatnya nyaman dan mulia dalam keabadian itulah surga.
Insan Takwa Berpedoman kepada Al-Qur’an
Mereka itulah yang di sebutkan mendapat predikat sebagai insan yang bertakwa, ”al muttaqin” termaktub dalam surah al-baqarah ayat 2 :
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Merekalah yang mengambil sumber pedoman kebahagiaannya dari Al-Qur’an dan petunjuk Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Sebagaimana kalam Allah yang termaktub dalam surah al-isra ayat 9 :
إِنَّ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ يَهْدِى لِلَّتِى هِىَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلْمُؤْمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Artinya : “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”
Allah jelas memberikan petunjuk bagi orang-orang yang ingin mendapatkan kebahagiaan agar menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangan dalam kehidupan. Oleh karena itu, jangan pernah meragukan isi Al-Qur’an.
Penutup
Penulis memahami dari pemaknaan tauhid dari Prof. Dr . Haedar Nashir bahwa kehidupan bertauhid bukan hanya dengan kesadaran iman terhadap Tuhan, tetapi juga berusaha menjalin hubungan terbaik dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Itulah konsekuensi bertahuid, dibuktikan dengan berbuat baik dan menebar Rahmat untuk semesta.
Semoga dengan mengamalkannya, Insyah Allah rezeki akan datang dengan mudah, pengetahuan akan datang dengan cepat, begitupula dengan impian-impian lain yang diharapkan. Itulah orang-orang yang muttaqin (bertaqwa), dialah yang akan mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Sebab, orang-orang yang bertaqwa mengambil pedoman kebahagiaannya dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Maka dari itu, jangan pernah meragukan isi dari Al-Qur’an.
Penulis :Muhammad Rif’at Sa’dan