ARTIKEL

Menerjemahkan “Masyarakat Tanpa Tuhan” Melalui Cara Beragama Mahasiswa FAI UMS

Sebenarnya menerjemahkan sesuatu adalah perkara rumit bagi saya, terlebih dalam menerjemahkan sudut pandang orang lain dengan pendekatan atau metodologi yang kita buat sendiri. Di sisi lain, ada kenikmatan tersendiri ketika apa yang hendak diterjemahkan itu ada buahnya, yaitu satu kesimpulan baru yang bisa saja berbeda dari perspektif awal kenapa yang kita terjemahkan itu ada. Berangkat dari buku yang ditulis oleh Phil Zuckerman yaitu Masyarakat Tanpa Tuhan, yang kurang lebih ada tiga tujuan buku itu ditulis.

Tujuan yang pertama adalah untuk menentang klaim gereja terhadap masyarakat yang hidup tak bertuhan yang selalu dikatakan sebagai nerakanya dunia. Kemudian yang kedua, untuk menganalisis pola hidup perempuan ataupun laki-laki yang tidak bertuhan dalam menjalankan kehidupan terlebih pada bagaimana mereka menerjemahkan kematian. Terakhir, tujuan kenapa buku itu ditulis adalah untuk menelusuri, menjelaskan bagaimana mungkin masyarakat yang hidup tak bertuhan ini hidup dengan damai, tingkat kriminalitas yang rendah, dan ada berbagai nilai-nilai kebaikan yang mereka kerjakan, dengan mengambil dua sampel negara yang dalam kenyataanya memang enggan untuk mengimani keberadaan Tuhan, Denmark dan Swedia.

 Alih-alih ikut mengatheiskan diri untuk kemudian membuktikan teori itu, saya pribadi lebih berhasrat untuk menerjemahkan Masyarakat Tanpa Tuhan dengan pendekatan tingkah dan laku mahasiswa FAI UMS yang dalam praktek keberagamaanya  kurang lebih bisa dibilang keateis-ateisan, apa benar penyebab terbesar agar manusia berbuat baik adalah meninggalkan Tuhan?

Tiga Tipe Berislam Mahasiswa FAI UMS

Untuk menemukan data yang valid tidak selamanya melalui wawancara dari tiap-tiap individu, apalagi soal hubungan dengan Tuhan, bahkan akan banyak yang menolak ketika kemudian urusan individunya dengan Sang Khalik itu diulas dan diulik. Masih ada jalan lain untuk menarik satu kesimpulan terhadap apa yang ingin sekadar kita  tahu, atau bahkan terhadap apa yang ingin kita teliti, yaitu mengamati. Maka dari itu, kurang lebih tiga tahun menjadi mahasiswa Fakultas Agama Islam UMS, saya kemudian melakukan pengamatan sesekali berdiskusi terkait pola atau karakter beragama mahasiswa yang ada di Fakultas Agama Islam, yang pada kesimpulannya ada tiga tipe atau karakter. Kesimpulan tiga karakter ini tidak lahir dari satu kelompok saja, yang ketika kita tarik pada skala prodi, PAI, HES, dan IQT. Artinya, tiga karakter ini ada di setiap prodi, tidak kemudian terpisah mengikuti latar belakang keilmuan yang diajarkan.

Tipe atau karakter yang pertama adalah berislam dengan lapang dan terbuka. karakter berislam yang seperti ini yang kemudian dengan lapang menerima berbagai macam karakter atau ekspresi keberagamaan orang lain dengan santai dan terbuka sangat sedikit saya jumpai dalam pengamatan tiga tahun terakhir, bisa dibilang ini adalah tipe atau karakter yang paling sedikit. Terbukti, masih sangat jarang diadakan dialog pemikiran bahkan pada skala pemikiran Islam transformatif pun sangat jarang disentuh dan diikuti oleh Mahasiswa FAI, hanya ada segelintir mahasiswa saja yang tertarik. Bahkan, saking tidak terbukannya terhadap ragam ekspresi keberagamaan, saya pernah menemukan mahasiswa yang sedikit-sedikit kafir, sesat, “Khilafah Yes, Demokrasi, No!,” itu ada.

Kemudian tipe atau karakter yang kedua adalah berislam manut-manut. Di Fakultas Agama Islam UMS yang basis pengajarannya adalah Islam dan Kemuhamadiyahan tentu tidak lepas dari ajaran berislam dengan Wasathuyah atau sederhananya tidak ke kiri, tidak juga ke kanan. Namun, masih ada tipe atau karakter mahasiswa yang seperti ini, ke kiri ‘’gas”, ke kanan “gas” dalam artian masih terombang-ambing, dibilang tidak bermazhab, tidak juga, tapi lebih pada berislam dengan sesuka hatinya.

Tipe atau karakter yang ketiga adalah mengakui Tuhan, akan tetapi enggan berislam, yang pada akhirnya membuat seolah-olah tidak bertuhan. Bahkan dalam kesempatan lain dengan terang-terangan mengatakan bertuhannya temporal, dalam waktu tertentu saja, itu ada. Tipe ketiga inilah yang akan menjadi alat ukur untuk menerjemahkan Masyarakat Tanpa Tuhan, yang dalam bukunya Phil Zuckerman menulis dengan pendekatan sosiologi dan berakhir pada kesimpulan menunjukkan fakta bahwa di Skandinavia bisa menjadi sangat sehat meski tanpa kepercayaanterhadap Tuhan sebagaimana umumnya. Namun, Zuckerman juga tidak membenarkan bahwa ketidakberimanan adalah hal yang saleh.

Saya mencoba membuat analisis terkait mahasiswa yang seolah-olah tidak bertuhan, dengan masyarakat tanpa Tuhan yang ada di Swedia dan Denmark. Dengan timbangan perbuatan dan tingkah laku mahasiswa FAI UMS yang hampir berikrar tidak bertuhan itu dalam praktek hidupnya, sering bolos kuliah, jarang kerja tugas, yang itu berbanding terbalik dengan pola tingkah laku masyarakat tanpa Tuhan yang ada di Swedia dan Denmark. Itu artinya, bahwa benar, menyatakan tidak bertuhan  tidak bisa dibenarkan sebagai perbuatan yang saleh. Lalu, bagaimana menerjemahkan Masyarakat Tanpa Tuhan dari timbangan tingkah laku mahasiswa FAI UMS, apakah masyarakat tanpa Tuhanadalah masyarakat yang memang betul-betul seluruhnya bebas tanpa aturan dan nilai-nilai ketuhanan? Ternyata tidak! Pada kesimpulan akhir saya sangat tidak bersepakat kalau masyarakat tanpa Tuhanitu sepenuhnya meninggalkan nilai-nilai ketuhanan yang sama-sama kita ketahui bahwa Tuhan itu Mahabaik dan mencintai kebaikan. Artinya, masyarakat tanpa Tuhan yang ada di Swedia dan Denmark memang benar secara zahir tidak menjadikan Tuhan sebagai komponen sentral kehidupan. Namun, tidak bisa kita pungkiri bahwa nilai-nilai ketuhanan hadir dalam setiap tingkah laku baiknya. Maka kalau boleh saya memberi istilah baru, saya tidak menyebut masyarakat tanpa Tuhan, tapi masyarakat eksis dengan nilai ketuhanan.

Catatan: Saya sangat mengakui keterbatasan tulisan ini. Namun, betapapun terbatasnya apa yang sudah saya tuliskan semoga bisa menjadi jalan bagi teman-teman pembaca untuk menyempurnakan keterbatasan yang ada dalam tulisan ini, melalui penelitian yang lebih sistematis dengan metodologi yang jelas. Bahkan besar harapan dari tulisan ini hadir satu tulisan akademik, skripsi, atau pun jurnal terkait tipe atau karakter keberagamaan mahasiswa FAI yang itu bisa menjadi penguat terhadap apa yang sudah saya tuliskan, Salam.

Rahmat Balaroa

Ketua BEM FAI UMS 2022

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *