Napak Tilas Ringkas Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dinasti Abbasiyah
Sejak era berdirinya Dinasti Umayyah (661-750 M), terjadi pergejolakan internal di dalamnya, terutama perseteruan antara pemerintah dan rakyat yang dipimpinnya pada masa itu. Ketidakadilan sosial dan ekonomi di bawah Dinasti Umayyah menunjukkan bahwa para pemimpin Umayyah memusatkan kekayaan dan kekuasaan dalam tangan segelintir elite, sementara mayoritas masyarakat menghadapi kemiskinan dan kesulitan ekonomi. Di sisi lain, Dinasti Umayyah juga terkenal karena penindasan etnisitas dan kelompok-kelompok non-Arab, terutama di wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan. Ini menyebabkan ketegangan antara penduduk non-Arab dan pemerintahan Umayyah. Ketidakpuasan etnis dan agama juga menyoroti ketidakpuasan di kalangan kelompok non-Arab, terutama orang-orang Persia dan non-Muslim, yang merasa diabaikan dan didiskriminasi sehingga ketidakpuasan ini berkontribusi pada keruntuhan Dinasti Umayyah.
Hal ini merujuk pada karakteristik beberapa khalifah Umayyah, termasuk gaya hidup mewah dan tidak etis beberapa penguasa yang berkuasa dianggap telah merusak citra dan legitimasi dinasti. Munculnya perlawanan terhadap Dinasti Umayyah dengan berbagai pemberontakan dan perlawanan terhadap Dinasti Umayyah yang akhirnya mengakibatkan keruntuhan mereka. Salah satunya adalah pemberontakan Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan pada tahun 750-1258 Masehi.
Dinasti Abbasiyah pertama kali didirikan oleh Khalifah Abu al- Abbas al-Saffah (749-754 M). Setelah Dinasti Umayyah runtuh, ia memindahkan ibu kota yang semula ada di Damaskus ke Kufa yang terletak di Irak. Dan berikut ini adalah para khalifah yang pernah menjabat di era Dinasti Abbasiyah:
1. Abu al-Abbas al-Saffah (749-754 M): Khalifah pertama Dinasti Abbasiyah yang memerintah setelah menggulingkan Dinasti Umayyah.
2. Al-Mansur (754-775 M): Khalifah kedua dan pendiri kota Baghdad.
3. Al-Mahdi (775-785 M): Khalifah ketiga yang memerintah selama periode stabilitas dan kemakmuran.
4. Al-Hadi (785-786 M): Khalifah keempat yang memerintah hanya selama satu tahun.
5. Harun al-Rashid (786-809 M): Khalifah kelima dan salah satu yang paling terkenal dalam sejarah Abbasiyah.
6. Amin (809-813 M): Khalifah keenam yang merupakan putra Harun al-Rashid.
7. Al-Ma’mun (813-833 M): Khalifah ketujuh yang terkenal karena mendukung ilmu pengetahuan dan filsafat.
8. Al-Mu’tasim (833-842 M): Khalifah kedelapan yang memindahkan ibu kota ke Samarra.
9. Al-Wathiq (842-847 M): Khalifah kesembilan yang memerintah selama masa ketegangan.
10. Al-Mutawakkil (847-861 M): Khalifah kesepuluh yang dikenal karena perubahan dalam pendekatan terhadap kelompok Mutazilah.
11. Al-Muntasir (861-862 M): Khalifah kesebelas yang memerintah hanya selama setahun.
12. Al-Musta’in (862-866 M): Khalifah kedua belas yang juga memiliki masa pemerintahan yang singkat.
13. Al-Mu’tazz (866-869 M): Khalifah ketiga belas yang memerintah selama tiga tahun.
14. Al-Muhtadi (869-870 M): Khalifah keempat belas yang juga memiliki masa pemerintahan singkat.
15. Al-Mu’tamid (870-892 M): Khalifah kelima belas yang memerintah selama dua puluh dua tahun.
16. Al-Mu’tadid (892-902 M): Khalifah keenam belas yang memerintah selama masa ketegangan dan konflik.
17. Al-Muktafi (902-908 M): Khalifah ketujuh belas yang mencoba memulihkan stabilitas.
18. Al-Muqtadir (908-932 M): Khalifah kedelapan belas yang memerintah selama periode konflik dan kerusuhan.
19. Al-Qahir (932-934 M): Khalifah kesembilan belas yang juga memiliki masa pemerintahan singkat.
20. Al-Radi (934-940 M): Khalifah kedua puluh yang memerintah selama enam tahun.
21. Al-Muttaqi (940-944 M): Khalifah kedua puluh satu yang memerintah selama empat tahun.
22. Al-Mustakfi (944-946 M): Khalifah kedua puluh dua yang memerintah selama dua tahun.
23. Al-Muti (946-974 M): Khalifah kedua puluh tiga yang memiliki masa pemerintahan yang panjang.
24. Al-Ta’i (974-991 M): Khalifah kedua puluh empat yang juga memiliki masa pemerintahan yang panjang.
25. Al-Qadir (991-1031 M): Khalifah kedua puluh lima yang memiliki masa pemerintahan yang sangat panjang dan diakhiri dengan penaklukan oleh dinasti Seljuk.
26. Al-Qa’im (1031-1075 M): Khalifah kedua puluh enam yang memerintah di bawah pengawasan Seljuk.
27. Al-Muqtadi (1075-1094 M): Khalifah kedua puluh tujuh yang memerintah di bawah pengawasan Seljuk.
28. Al-Mustazhir (1094-1118 M): Khalifah kedua puluh delapan yang terbatas dalam kekuasaan. Pada tahun 1258, khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiyah, Al-Musta’sim, ditangkap dan dieksekusi oleh tentara Mongol di Baghdad, menandai akhir Dinasti Abbasiyah dan pemerintahan langsung khalifah di dunia Islam.
Dinasti Abbasiyah merupakan puncak kemajuan yang sebenarnya puncak kemajuan itu ada pada masa awal hingga pertengahan saja. Perbedaan perkembangan keilmuan pada masa ini menekankan pada epistemologi burhani yang menekankan pada rasionalitas dan ini juga terpengaruh dari buku-buku yang berisi pemikiran-pemikiran Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa arab. Di sisi lain, terdapat pembangunan-pembangunan yang marak terjadi di era ini dan semua itu terjadi pada masa beberapa khalifah terkenal. Adapun beberapa usaha dan perkembangan dalam bidang keilmuan serta infrastruktur yang terkenal dalam periode ini yakni terdapat perkembangan lembaga pendidikan yang mengalami kemajuan pesat dibandingkan ddengan dinasti sebelumnya. Pendidikan berbasis masjid di era ini dibagi menjadi dua jenis, masjid jami’ dan masjid local. Masjid jami’ merupakan masjid besar yang dipimpin oleh seorang syaikh yang dipilih oleh khalifah dan bersifat umum, dalam artian, mengikuti sesuai yang dipimpin oleh syaikh tersebut. Berbeda dengan masjid lokal yang hanya berdiri di pelosok-pelosok saja dan mengikuti mazhab imam tertentu.
Pendidikan juga dilaksanakan di dalam khan, yakni asrama yang dibangun dengan biaya wakaf. Khan biasanya dihuni oleh para murid yang berasal dari wilayah pelosok. Pendidikan yang diberikan biasanya adalah fiqih. Adapun lembaga Pendidikan bersifat Rohani, yakni Al-Ribath dan Al-Zawiyah. Pendidikan yang diberikan berisikan ajaran-ajaran tasawuf yang diikuti oleh beberapa kalangan sufi. Pada era tersebut juga didirikan beberapa toko buku yang merupakan dampak positif dari benyaknya refrensi di era ini. Pada akhirnya toko-toko buku tersebut menjadi tempat-tempat diskusi keilmuan.
Pada masa Khalifah Al-Mansur (754-775 M) terkenal karena ia mendirikan kota Baghdad yang kemudian menjadi ibu kota kekhalifahan Abbasiyah. Al-Mansur memerintahkan pembangunan jalan-jalan, jembatan, dan sistem irigasi untuk memfasilitasi pelayaran dan transportasi di seluruh kekhalifahan. Ini membantu pertumbuhan ekonomi dan pertukaran budaya. Ia memberikan dukungan untuk penerjemahan karya-karya ilmiah Yunani klasik dan pelestarian warisan intelektual. Ini mendorong pertumbuhan ilmu pengetahuan dan budaya di wilayah kekhalifahan. Salah satu tujuan Al-Mansur adalah mengakhiri monarki keturunan Umayyah dan menggantinya dengan pemerintahan Abbasiyah. Ia berhasil mencapai tujuan ini, memulihkan kekuasaan kepada Bani Abbas.
Perkembangan seni dalam periode Abbasiyah juga merupakan salah satu puncak keemasan seni Islam yang juga mencakup berbagai bidang seni, seperti seni arsitektur, seni kaligrafi, seni kerajinan, dan seni benda berharga. Salah satu masa paling penting dalam perkembangan seni Abbasiyah adalah masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rashid (786-809 M) dan Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M). Di era mereka berdua memainkan peran penting dalam pembangunan dan dekorasi bangunan-bangunan penting, seperti masjid-masjid dan istana. Dalam arsitektur, gaya Abbasiyah menggabungkan unsur-unsur dari budaya Persia, Yunani, dan Romawi, menciptakan bentuk-bentuk unik yang dikenal sebagai “arsitektur Abbasiyah.” Salah satu contoh terkenal adalah Masjid Agung Samarra, yang memiliki menara berputar yang disebut “minaret berheliks.” Seni kaligrafi Islam berkembang pesat selama periode Abbasiyah. Kaligrafi Arab digunakan untuk menulis ayat-ayat Al-Quran dan kutipan-kutipan sastra, dan seniman kaligrafi sangat dihargai. Karya-karya kaligrafi menggabungkan unsur-unsur seni dekoratif yang rumit dan beragam gaya tulisan tangan, seperti kufi dan nasakh. Selain seni visual, seni musik dan sastra juga berkembang pesat. Harun al-Rashid terkenal karena mengumpulkan penyair dan musisi terkemuka di istananya, serta mendukung pengembangan sastra dalam bahasa Arab.
Pada era mereka berdua juga terdapat Perkembangan nilai produktivitas di Abbasiyah mencerminkan evolusi ekonomi dan sosial dalam periode tersebut. Selama masa pemerintahan Abbasiyah, terutama pada masa Khalifah Harun al-Rashid (786-809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Pertanian tetap menjadi tulang punggung ekonomi Abbasiyah. Teknologi pertanian terus berkembang, termasuk penggunaan sistem irigasi yang lebih baik. Ini meningkatkan produktivitas pertanian dan memungkinkan produksi pangan yang lebih besar. Kekhalifahan Abbasiyah terletak di jalur perdagangan penting antara Timur dan Barat, yang memfasilitasi pertukaran barang-barang dan budaya. Penggunaan mata uang yang stabil, seperti dinar dan dirham, juga mendukung kegiatan perdagangan yang kuat dan produktivitas ekonomi. Pemerintah Abbasiyah mendukung perkembangan keahlian dan kerajinan melalui patronase dan dukungan finansial. Ini menciptakan pekerja-pekerja yang terampil dan menghasilkan barang-barang berkualitas tinggi.
Di bawah pemerintahan Harun al-Rashid, kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang penting. Ia memberikan dukungan finansial dan intelektual kepada para ilmuwan, penulis, dan penyair terkemuka pada zamannya. Ini menghasilkan berbagai karya ilmiah, sastra, dan filsafat yang memengaruhi dunia Islam dan dunia Barat. Harun al-Rashid dikenal karena kerjasamanya dengan komunitas Bani Israel di wilayah kekhalifahan. Ia menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh Yahudi terkemuka, seperti Musa bin Isa, yang berkontribusi dalam menerjemahkan karya-karya ilmiah Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh Yahudi terkemuka, seperti Musa bin Isa, yang berkontribusi dalam menerjemahkan karya-karya ilmiah Yunani ke dalam bahasa Arab.
Begitupula dengan Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Ia mendirikan Bait al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad sebagai pusat penelitian ilmu pengetahuan. Sebuah pusat penelitian yang menggabungkan ilmuwan Muslim, Kristen, dan Yahudi untuk menerjemahkan karya-karya klasik Yunani ke dalam bahasa Arab. Ini memulai Gerakan Penerjemahan yang memperkenalkan pemikiran Yunani klasik kepada dunia Islam. Al-Ma’mun memberikan dukungan finansial dan intelektual kepada ilmuwan seperti Al-Khwarizmi, yang dikenal sebagai father of algebra, dan penulis karya-karya penting dalam astronomi dan ilmu pengetahuan. Khalifah ini juga memperkenalkan beberapa reformasi ekonomi, termasuk pengembangan lembaga keuangan seperti bait al-mal (rumah keuangan) untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dengan lebih efisien.
Pada era Khalifah Al-Mu’tasim (833-842 M) adalah khalifah yang memindahkan ibu kota kekhalifahan dari Baghdad ke Samarra pada tahun 836 Masehi. Ia juga terkenal karena menggunakan tentara budak atau Mamluk untuk memperkuat kekuasaannya. Keputusan ini diambil atas pertimbangan politik dan strategis, serta akibat beberapa faktor yang mempengaruhi. Salah satu faktor utama adalah peran penting Tentara Mamluk (prajurit budak) dalam kekuasaannya. Al-Mu’tasim telah mengandalkan Mamluk untuk memperkuat kekuasaannya dan melindunginya dari ancaman militer. Mamluk, yang mayoritas berasal dari Asia Tengah dan Turki, memiliki pangkalan yang kuat di Samarra. Pindah ke Samarra dapat memberikan isolasi yang lebih baik dan kontrol yang lebih ketat atas pergerakan orang-orang yang berpotensi menentangnya di Baghdad. Ini memungkinkan khalifah untuk memantau mereka dengan lebih cermat dan menjaga loyaltas mereka. Al-Mu’tasim juga mendukung seni dan kebudayaan. Ia memberikan patronase kepada seniman, penyair, dan sastrawan terkemuka pada zamannya. Khalifah ini juga memerintahkan pembangunan jalan-jalan dan fasilitas infrastruktur lainnya yang meningkatkan konektivitas dan kemakmuran dalam kekhalifahan.
Pada era Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) adalah khalifah yang memerintah selama masa yang ditandai oleh beberapa konflik internal dan perselisihan dengan pihak-pihak seperti Mutazilah. membatasi penerjemahan karya-karya ilmiah Yunani ke dalam bahasa Arab selama masa pemerintahannya. Al-Mutawakkil dikenal karena kebijakannya yang lebih konservatif dan restriktif terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yang tidak selaras dengan pandangan ajaran Islam tradisional pada zamannya. Selama masa pemerintahannya, khalifah Al-Mutawakkil menerbitkan serangkaian dekrit yang membatasi aktivitas intelektual yang dianggap kontroversial atau di luar batas pandangan keagamaan tradisional. Ini termasuk pemberhentian penerjemahan karya-karya Yunani klasik ke dalam bahasa Arab dan penghancuran beberapa buku dan tulisan yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Restorasi pemahaman tradisional Sunni merupakan salah satu ciri pemerintahan Al-Mutawakkil adalah restorasi pemahaman tradisional Sunni dalam ajaran Islam. Ia mengambil langkah-langkah untuk membatasi pengaruh kelompok Mutazilah yang memiliki pemahaman filosofis yang lebih rasional terhadap Islam. Ini mencakup penghapusan beberapa doktrin Mutazilah yang sebelumnya diadopsi oleh pemerintahan Abbasiyah.
Penulis: Fauzan Addinul Jihad
Editor: Aryanti Artikasari