Peran Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) Dalam Psikologi Terhadap Bullying

Pada periode remaja, individu melalui tiga tahap yang dapat diidentifikasi: fase remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir. Fase remaja awal sering kali ditemui pada rentang usia 12 hingga 15 tahun (Monks, 2001). Penelitian Sulaeman (1995) memperkuat bahwa siswa SMP mengalami fase remaja awal. Selama fase ini, individu dituntut untuk menjalin relasi sosial yang baru, baik dalam lingkaran sebaya maupun dengan jenis kelamin berbeda (Havighurst, dalam Mubin & Cahyadi, 2006). Namun, bukan hal yang jarang bagi remaja untuk mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dengan teman sebaya, bahkan terkadang menjadi korban intimidasi di antara mereka.
Bullying, sebagai aksi intimidasi berulang, biasanya dilakukan oleh pihak yang memiliki superioritas fisik atau emosional terhadap individu yang lebih lemah (Coloroso, 2007). Aksi ini hadir dalam tiga bentuk: fisik, verbal, dan relasional (Krahe, 2005). Bullying fisik melibatkan tindakan menyakiti secara fisik, sementara bullying verbal melibatkan kata-kata yang merendahkan. Bullying relasional melibatkan penolakan yang mengurangi harga diri korban. Biasanya, bullying terjadi di lingkungan pendidikan dasar.
Korban bullying adalah individu yang sering menjadi sasaran agresi tanpa memiliki kemampuan bela diri yang memadai (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Mereka sering mengalami emosi negatif seperti stres, kesedihan, atau kemarahan, serta memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri, merasa tidak berharga atau tidak mampu (Elliott, 2002). Untuk mengatasi masalah rendahnya harga diri ini, Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) menawarkan kemungkinan untuk mengubah pola pikir negatif menjadi positif (Ellis, 2007).
Sehingga REBT akan diaplikasikan melalui Rational Emotive Behavior Group Therapy (REBGT). Pilihan ini didasarkan pada efektivitas lebih tinggi dari REBGT dibandingkan dengan REBT individual, karena memberikan dukungan sosial dan umpan balik dari rekan sebaya yang memiliki masalah serupa (Corey & Corey, dalam Ellis & Bernard, 2006).
Berapa usaha yang dilkaukan mendalam yang telah dilakukan mengenai penggunaan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) dalam merespons kasus bullying pada siswa memberikan cahaya baru terhadap permasalahan ini. REBT, sebagai pendekatan konseling, menawarkan solusi yang menjanjikan dengan mengubah pikiran irasional menjadi rasional. Pengamatan pada langkah-langkah konkret dalam menerapkan REBT mengungkapkan kompleksitas kondisi sosial yang bisa menjadi hambatan, khususnya di lingkungan yang tidak mendukung. Dalam kerangka ini, kerjasama antarpihak, terutama dengan peran Bimbingan dan Konseling, dianggap vital untuk menciptakan perubahan yang lebih nyata dan konkrit.
Menurut hasil penelitian maupun jurnal mengatakan bahwa Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) menjadi instrumen penting dalam mengubah pikiran irrasional menjadi rasional pada siswa yang menjadi korban bullying. Menyadari bahwa pikiran siswa yang mengalami bullying membuat mereka merasa tak berharga, REBT mengarahkan mereka menuju pemikiran yang lebih rasional. Langkah konkret dalam penerapan REBT menjadi krusial, terutama mengingat kondisi sosial yang tidak selalu mendukung. Kerjasama antarpihak, terutama dengan Bimbingan dan Konseling (BK), menjadi faktor penentu dalam menanamkan pemahaman kepada siswa bahwa keunikan mereka tetap berharga.
BK hendaklah berperan sebagai fasilitator yang memainkan peran penting dalam proses ini. Meskipun hasilnya cenderung sebanding dengan berbagai teori yang digunakan sesuai dengan kondisi, REBT tetap menonjol. Dampak positifnya tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga pada pelaku bullying yang diberi nasehat untuk lebih sadar akan dampak negatif perbuatannya. Namun, hasil yang diharapkan bergantung pada tingkat keparahan kasus bullying yang terjadi. Sehingga terdapat hambatan utama muncul berupa tingkat keparahan dalam kasus bullying dan sulitnya mendapatkan data terinci mengenai kasus bullying tersebut. Oleh karena itu, konseling tidak dapat dilaksanakan hanya dalam satu sesi, melainkan memerlukan data dari berbagai sumber, termasuk orang-orang terdekat siswa.
Dengan demikian, beliau menambahkan, untuk meningkatkan kesadaran secara komprehensif, pendekatan bimbingan klasikal dilakukan, termasuk mengambil referensi terpercaya dari internet yang dikemas dengan menarik sebagai bagian dari edukasi kepada para siswa. Evaluasi efektivitas penerapan REBT melibatkan kolaborasi dengan guru dan pengajar lainnya untuk memantau perubahan perilaku siswa setelah konseling. Perubahan sikap yang lebih positif dari korban, seperti keberanian untuk berbicara di kelas, menjadi indikator keberhasilan. Sementara itu, pelaku bullying mendapatkan sorotan intensif karena kompleksitas masalah yang seringkali melibatkan lebih dari satu individu.
Menurut jurnal penelitian yang ditulis oleh Rosya Linda dan Lita Hadiati, kita memperoleh pemahaman lebih dalam mengenai dampak negatif bullying, seperti ketidaknyamanan untuk sekolah dan kebencian pada diri sendiri. Dalam kerangka solusi, REBT dianggap sebagai pendekatan yang efektif untuk mempersiapkan anak-anak dengan harga diri yang kuat dan menyediakan layanan bimbingan dan konseling yang diperlukan. Pembahasan mengenai penerapan REBT dalam konseling individu untuk mengubah perilaku bullying. Ditemukan bahwa melalui konseling individu dengan pendekatan REBT, pelaku bullying dapat mengalami perubahan positif, melangkah ke arah yang lebih adaptif dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat sekitar. Analisis mendalam terkait efektivitas terapi REBT dalam meningkatkan self-esteem pada siswa SMP yang menjadi korban bullying. Penerapan teknik kognitif, afektif, dan perilaku dalam terapi memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman subjek mengenai hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku.
Jika dikaji berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Shinta Purwaningrum danĀ Bayu Pamungkas, peran fasilitator yang dimainkan oleh BK dalam menerapkan REBT menjadi fokus penting dalam upaya ini. Dari wawancara, terlihat bahwa dampak positif dari pendekatan ini terutama mencakup peningkatan rasa relaksasi bagi korban dan memberikan nasihat yang dapat mengubah perilaku pelaku bullying. Seiring dengan itu, dimensi ilmiah pada diskusi ini dengan menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan REBT efektif mengurangi perilaku bullying pada siswa berkebutuhan khusus (ABK).
Maka dengan ini efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) dalam mengubah sikap, pola pikir, dan perilaku siswa yang menjadi korban bullying di MTsN 2 Surakarta. Melalui wawancara dengan siswa-siswa terkena bully, REBT terbukti mampu mengubah pikiran irrasional menjadi rasional, mengatasi perasaan tidak berharga, dan menghasilkan perubahan positif dalam sikap serta perilaku siswa pasca-sesi terapi. Namun, perlunya langkah-langkah konkret dalam penerapan REBT menggambarkan bahwa hasilnya sangat tergantung pada kerjasama antarpihak, termasuk peran BK, guru, orang tua, dan teman sebaya. Mereka bersama-sama membentuk pendekatan holistik untuk menanamkan pemahaman bahwa setiap siswa memiliki keistimewaan tertentu, bertujuan meningkatkan kesehatan mental siswa yang terlibat. Dengan melibatkan berbagai pihak, penelitian ini berharap dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemahaman dan penanganan kasus bullying di konteks pendidikan.
Dalam konteks evaluasi, REBT membuktikan dampak positif pada korban bullying yang cenderung menjadi lebih rileks dan terbuka. Sementara itu, pelaku bullying mendapatkan perhatian intensif karena seringkali melibatkan lebih dari satu individu. Proses ini memberikan gambaran lebih luas tentang kompleksitas kasus bullying. Meskipun demikian, hasil positif ini perlu disikapi dengan hati-hati dalam generalisasinya karena jumlah sampel masih terbatas. Kesimpulannya, penelitian ini menggarisbawahi pentingnya peran REBT sebagai pendekatan yang efektif dalam menangani bullying di lingkungan pendidikan, namun juga menegaskan perlunya pendekatan holistik yang melibatkan semua stakeholder untuk mencapai hasil yang lebih konkret dan berkelanjutan. Mengenai kendala dalam mendapatkan data dan bukti kasus bullying, penting untuk dicatat bahwa informasi mengenai siswa yang mengalami bullying seringkali tidak langsung tersaji. Oleh karena itu, melibatkan orang-orang terdekat siswa, seperti orang tua dan teman, menjadi penting untuk memahami secara holistik. Selain itu, evaluasi terus-menerus menjadi kunci, dan kolaborasi dengan guru serta pengajar lainnya di sekolah diperlukan untuk memonitor perubahan perilaku siswa setelah penerapan REBT.
Penulis: Fauzan Addinul Jihad
Editor: Rauuf Bukhari