ARTIKELShiroh

Kontribusi Islam dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan

Kontribusi Islam dalam kemajuan ilmu pengetahuan pada Abad Pertengahan telah diakui oleh sejarawan sains terkemuka, George Sarton. Dalam perspektifnya, periode ini tidak hanya mencakup pengawetan teks-teks klasik, tetapi juga menandai era kecerdasan dan eksplorasi ilmiah yang pesat di dunia Islam. Dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti matematika, astronomi, kedokteran, dan kimia.

Para cendikiawan Muslim tidak hanya mengumpulkan pengetahuan dari berbagai budaya, tetapi juga berinovasi secara signifikan. Kontribusi ini tidak hanya melibatkan pemeliharaan teks-teks klasik, tetapi juga terobosan dalam metode ilmiah yang membentuk dasar bagi kemajuan ilmu pengetahuan. (Sarton, 1927) 

  1. Kejayaan Ilmu Pengetahuan  

Bani Abbasiyah mencapai kejayaan gemilang, terutama dalam ilmu pengetahuan, menjadi pilar peradaban terbaik dalam sejarah. Umat Islam, terutama sejak Dinasti Abbasiyah berkuasa, mengalami lonjakan ilmu pengetahuan yang mencakup warisan besar dari peradaban Yunani, Romawi, Persia, India, dan Cina. Pemikiran ilmuwan membentuk dasar gerakan intelektual yang menginspirasi kemajuan peradaban global. 

Di Andalusia, ilmu pengetahuan berkembang pesat di bawah kekuasaan Imperium Islam, menjadikan Andalusia sebagai pusat unggulan di Eropa. Islam membawa budaya baru, mengalahkan peradaban Eropa di Semenanjung Iberia, dan membentuk peradaban yang mencerahkan Eropa selanjutnya. Kejayaan ini merupakan fase signifikan dalam perkembangan sains global, menginspirasi pembangunan peradaban melalui gerakan intelektual Islam (Supriyadi, 2015:9-10).

B. Ilmu Filsafat 

Pada abad ke-8 M, pengaruh Yunani memasuki dunia Islam melalui wilayah seperti Syria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir. Iskandar Agung, pada abad ke-4 SM, berupaya menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia. Di masa Harun ar-Rasyid, terjemahan ilmu pengetahuan Yunani ke bahasa Arab meningkat. Puncaknya terjadi pada masa Khalifah al-Ma’mun, memungkinkan munculnya cendekiawan terkenal seperti al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih, dan al-Ghazali. 

Filsafat Islam, di samping membahas kebenaran, merambah ilmu kedokteran, biologi, kimia, musik, dan falak. Ini juga memberikan landasan bagi disiplin ilmu lain seperti tasawuf dan usul fikih. Sebagai induk ilmu, filsafat secara signifikan memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam, mencakup fikih, kalam, tafsir, dan bidang lainnya (Abdullah dan Burhanudin, 2013:39-40).

  • Ilmu Kedokteran 

Ilmu kedokteran Islam lahir dari perpaduan tradisi Yunani, Persia, dan India. Jundisabur di Iran menjadi pusat penting, di sana dokter aliran Nestoria mengajarkan kedokteran Yunani, dan pengaruh kedokteran India muncul. Pada tahun 865 M, kesuksesan dokter Jundisabur menyembuhkan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur membawa pemindahan pusat kedokteran ke Baghdad. 

Penerjemahan ilmu kedokteran ke bahasa Arab memicu munculnya tokoh kedokteran Islam. Ali bin Rabban at-Tabari, pada tahun 850 M, menulis Firdaus Al-Hikmah, memulai gelombang penelitian dan praktik kedokteran Islam. Sejak itu, tokoh seperti ar-Razi, Ibnu Sina, dan al-Kindi muncul, membawa kemajuan kedokteran Islam dari Baghdad hingga India (Abdullah dan Burhanudin, 2013:40).

  •  Ilmu Falak dan Nujum (Perbintangan) 

Pada masa Dinasti Abbasiyah, kaum Muslim memiliki peran besar dalam pengembangan ilmu falak. Mereka menggabungkan berbagai aliran ilmu perbintangan dari Yunani, Hindu, Persia, Kaldan, dan Arab jahiliyah. Ilmu perbintangan menjadi kunci dalam menentukan kebijakan para khalifah dan amir, yang berdasarkan perhitungan peredaran bintang. 

Tokoh-tokoh terkenal dalam ilmu falak dan perbintangan meliputi Abu Ma’syar al-Falaki dengan karyanya Isbatul Ulum dan Haiatul Falaq, Jabir al-Batani (w. 929 M) pencipta alat peneropong bintang pertama kali, dengan karyanya Kitabul Ma’rifati Matla’il Buruj Baina Arbail Falaq, serta Abu Raihan Biruni (w. 1050 M) dengan karyanya Al-Asairul Bagiyah ‘Anil Quranil Khaliyah, At-Tafhim li Awali Shana’atit Tanjim, dan Istihrajul Autad (Abdullah dan Burhanudin, 2013:41).

F. Ilmu Geografi 

Pada masa Dinasti Abbasiyah, cendekiawan melakukan kunjungan ke berbagai belahan dunia, termasuk India, Sri Lanka, Malaysia, Indonesia, Cina, Korea, Afrika, dan Eropa. Selain untuk perdagangan, tujuan utama kunjungan tersebut adalah pengembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu geografi. Cendekiawan muslim seperti Ibnu Haik (w. 334 M), al-Mugaddasi (w. 375 H), dan Syarif Idrisyi (w. 548 H) telah berhasil menciptakan peta dunia yang sangat berharga bagi umat manusia (Abdullah dan Burhanudin, 2013:42).

G. Ilmu Matematika 

Matematika memainkan peran kunci pada masa Dinasti Abbasiyah untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat. Salah satu tokoh terkenal yang memberikan sumbangan besar dalam matematika adalah Al-Khawarizmi. Sebagai ahli matematika pertama yang mengadopsi sistem angka Sansekerta dan mengubahnya menjadi angka Arab.

Al-Khawarizmi dikenal sebagai penemu Aljabar melalui karyanya Al-Jabr dan Al-Mukabala, yang merupakan buku pertama mengenai ilmu pasti dan sistematis dalam sejarah pemikiran Islam. Kontribusinya membawa pengenalan Aljabar dan Logaritma yang masih relevan hingga saat ini. Selain Al-Khawarizmi, ilmuwan terkemuka lainnya, seperti Umar Kayam, Al-Thussi, al-Biruni, dan Abu Kamil, juga turut memperkaya perkembangan matematika pada masa itu (Manshur, 2013:27)

H. Ilmu Kimia  sebanyak yang diungkapkan. Sebaliknya, ilmuwan Muslim memainkan peran krusial dalam mengembangkannya, menghasilkan dan menguasai dunia ilmu pengetahuan pada masa itu. Dalam bidang kimia, Jabir ibn Hayyan, yang dikenal sebagai Bapak Kimia Modern, menjadi salah satu ilmuwan terkemuka. Berbeda dengan masa ilmuwan Yunani yang hanya sampai pada tahap spekulasi, ilmu kimia di tangan ilmuwan Muslim berkembang hingga tahap eksperimen (Manshur, 2013:27-28).

Dari tulisan diatas dapat disimpulkan bahwa Dinasti Abbasiyah mencapai kejayaan pada The Golden Age, didukung oleh khalifah yang cinta ilmu pengetahuan. Ibn Sina, ar-Razi, al-Ghazali, al-Khawarizmi, dan al-Farabi adalah ilmuwan terkemuka pada masa itu. Penerjemahan besar-besaran, dimulai oleh Abu Ja’far al-Mansur, diteruskan oleh Harun Ar-Rasyid dan Al-Makmun, mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Perpustakaan seperti Bait al Hikam dan Darul Hikmah menjadi pusat integrasi ilmu pengetahuan agama dan umum, menciptakan era kemajuan bagi umat Islam dan berkontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.

Penulis: Indina Ulin

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *