Eksistensialisme: Antara Pamer dan Autentitas
Eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang berfokus pada pertanyaan mendasar tentang eksistensi manusia. Pemikir-pemikir besar seperti Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Albert Camus, dan Martin Heidegger telah mengembangkan berbagai konsep yang mendalam mengenai arti dari keberadaan, kebebasan, dan tanggung jawab. Namun, dalam era modern yang ditandai oleh budaya media sosial dan konsumerisme, konsep eksistensialisme kadang-kadang dipelintir menjadi fenomena yang lebih dangkal: pameran eksistensi, atau yang disebut dalam konteks ini sebagai “pamer” dan “autentitas”.
Eksistensialisme dan Kebebasan
Pada intinya, eksistensialisme berangkat dari premis bahwa manusia itu bebas, dan kebebasan ini adalah sumber utama dari kecemasan dan tanggung jawab yang dirasakan oleh individu. Sartre, misalnya, dalam karyanya Being and Nothingness (1943), menekankan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas”. Artinya, kita tidak bisa menghindari kebebasan kita untuk membuat pilihan-pilihan hidup, dan dengan itu, kita juga tidak bisa menghindari tanggung jawab atas pilihan-pilihan tersebut.
Simone de Beauvoir, dalam The Ethics of Ambiguity (1947), menekankan bahwa eksistensi manusia adalah ambigu, antara kebebasan dan batasan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kebebasan ini, meskipun kadang dirasakan sebagai beban, juga merupakan pintu menuju autentisitas atau “keaslian” (authenticity).
Namun, dalam realitas modern yang sangat dipengaruhi oleh teknologi dan budaya popular, kebebasan ini sering kali dimanipulasi menjadi sesuatu yang lebih dangkal. Bukannya menjadi alat untuk mencapai autentisitas, kebebasan individu sering kali digunakan untuk pamer atau membuktikan diri dalam konteks sosial yang dangkal.
Pamer itu boleh
Pamer, dalam konteks modern, dapat didefinisikan sebagai tindakan memperlihatkan sesuatu dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan, kekaguman, atau bahkan kecemburuan dari orang lain. Budaya pamer ini menjadi semakin nyata dalam era media sosial, di mana setiap orang memiliki platform untuk menampilkan versi terbaik dari dirinya sendiri.
Fenomena ini dapat dianalisis dari perspektif eksistensialis sebagai pencarian makna yang keliru. Alih-alih mencari autentisitas melalui tindakan yang bermakna dan reflektif, banyak individu yang terjebak dalam siklus pamer di mana keberadaan mereka ditentukan oleh pandangan orang lain. Sartre menyebut konsep ini sebagai “l’Être-pour-autrui” atau “menjadi untuk orang lain”. Dalam kondisi ini, individu kehilangan otonomi mereka dan menjadi tawanan dari persepsi eksternal.
Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus (1942), menggambarkan absurditas kehidupan manusia dan perjuangan untuk menemukan makna dalam dunia yang tidak peduli. Budaya pamer ini adalah salah satu manifestasi dari absurditas, di mana manusia berusaha untuk mengisi kekosongan eksistensial dengan hal-hal yang sebenarnya tidak membawa makna sejati. Ketika seseorang lebih peduli tentang bagaimana mereka dilihat oleh orang lain daripada bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri, mereka telah terjebak dalam absurditas yang digambarkan oleh Camus.
Autentisitas
Konsep lain yang relevan dalam diskusi ini adalah “autentitas”, yang merupakan istilah yang mungkin lebih dekat dengan apa yang disebut oleh Sartre sebagai “autentisitas”. Ain bisa dilihat sebagai keadaan di mana seseorang mencapai kesadaran penuh akan eksistensi mereka sendiri tanpa harus mencari validasi dari luar. Ini adalah kebalikan dari pamer, di mana autentisitas menjadi fokus utama.
Dalam eksistensialisme, autentisitas adalah ketika seseorang hidup sesuai dengan kebebasan mereka dan membuat pilihan-pilihan yang mencerminkan nilai-nilai pribadi mereka, bukan nilai-nilai yang dipaksakan oleh masyarakat. Heidegger, dalam Being and Time (1927), menggambarkan autentisitas sebagai “menjadi ke arah kematian” (Sein-zum-Tode), di mana individu sadar akan kematian mereka yang tak terhindarkan dan, oleh karena itu, memilih untuk hidup secara autentik dan bermakna.
Dalam budaya modern, mencapai autentitas menjadi semakin sulit karena tekanan sosial yang sangat besar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ditetapkan oleh media, iklan, dan masyarakat. Namun, eksistensialis akan berargumen bahwa hanya dengan mencapai ain, seseorang dapat benar-benar merasakan makna sejati dari keberadaan mereka.
Tantangan Menuju Autentitas
Meskipun mencapai autentitas adalah ideal yang dikejar dalam eksistensialisme, jalan menuju ke sana penuh dengan tantangan. Salah satu tantangan utama adalah tekanan konformitas sosial. Dalam masyarakat yang sangat terglobalisasi dan terdigitalisasi, individu sering kali merasa terpaksa untuk menyesuaikan diri dengan standar-standar eksternal agar dianggap “normal” atau “berhasil”. Ini sangat kontras dengan prinsip eksistensialisme yang menekankan kebebasan individu untuk mendefinisikan makna hidup mereka sendiri.
Kedua, kecemasan eksistensial, yang oleh Sartre disebut sebagai “angst”, sering kali membuat individu lebih mudah jatuh ke dalam perangkap pamer daripada mengejar autentisitas. Ketika dihadapkan pada pilihan antara menghadapi kecemasan dan ketidakpastian eksistensi, atau memilih jalan yang lebih mudah berupa validasi sosial, banyak yang memilih yang terakhir.
Camus, dalam esainya The Rebel (1951), menekankan pentingnya pemberontakan sebagai bentuk penegasan diri yang autentik. Namun, dalam konteks modern, pemberontakan ini sering kali ditindas oleh norma-norma sosial yang kuat, sehingga individu yang mencoba mengejar ain sering kali merasa terisolasi atau bahkan ditolak oleh masyarakat.
Autentisitas atau ain mungkin sulit dicapai, tetapi eksistensialisme menawarkan kita alat untuk merenungkan dan mengejar tujuan ini, bukan melalui pameran eksistensi yang kosong, tetapi melalui tindakan yang reflektif dan bermakna.
Eksistensialisme memberikan perspektif yang mendalam mengenai kondisi manusia, tetapi tantangan modern seperti budaya pamer membuat kita perlu merenung lebih dalam tentang bagaimana kita memilih untuk hidup. Autentitas tetap menjadi tujuan utama dalam pencarian makna, meskipun jalan menuju ke sana penuh dengan rintangan.
Penulis: Hanif Syairafi