Agama Membuat Tentram
“Bacalah Kitab (al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”QS. al-Ankabut [29]: 45 “Agama itu apa, Kyai?” tanya seorang santri kepada gurunya. Namun sang guru tidak langsung menjawab. Ia justru mengambil biola dan memainkannya dengan alunan nan indah. Murid-murid yang ada di depannya menikmati dengan khusyuk, bahkan sebagiannya hingga memejamkan mata penuh khidmat. Setelah beberapa saat, sang guru menghentikan alunan biolanya dan berkata, “Itulah agama, orang beragama adalah orang yang merasakan keindahan, tenteram, damai, cerah, karena hakekat agama itu seperti musik; mengayomi, menyelimuti.” Setelah itu salah seorang murid diminta untuk memainkan biola tersebut. Bukannya menghasilkan irama yang menentramkan, tetapi jutru sangat menggaggu di telinga dan mengundang tertawaan dari teman-temannya. Ini dikarenakan si murid tersebut memang tidak memiliki keahlian dalam memainkan biola. Lalu sang guru memberikan kesimpulan, “Itulah agama, kalau kita tidak mempelajarinya dengan benar akan membuat resah lingkungan kita, dan jadi bahan tertawaan.” Demikian gambaran salah satu adegan dalam film “Sang Pencerah” yang bercerita tentang KH Ahmad Dahlan dan perjuangannya berdakwah melalui Persyarikatan Muhammadiyah. Ilustrasi di atas mengandung pesan yang tetap aktual untuk masa kini. Ada pihak tertentu yang membuat kerusakan di muka bumi dengan menggunakan dalil-dalil agama. Hal ini akhirnya memunculkan pandangan bahwa agama justru membuat resah. Orang yang semakin menjalankan ajaran Islam dianggap semakin berpotensi melakukkan kekerasan. Bukan tanpa alasan, justru ini dikarenakan adanya orang yang serius menjalankan agama secara ritual, tetapi melupakan tugas-tugasnya menebarkan kebaikan dalam lingkungan sosial. Ini jelas bertentangan dengan Islam yang mengajarkan habl min Allah dan habl min al-naas. Surga selalu digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan kenikmatan. Dalam tafsir at-Tanwir disebutkan bahwa penggambaran surga yang ada dalam al-Qur’an tidak hanya bersifat eskatologis, tetapi lebih dari itu merupakan ungkapan aktual yang berlaku di segala masa termasuk di dunia. Gambaran ketenteraman surga mengindikasikan bahwa orang beriman harus merasa tenteram dan menenteramkan. Gambaran keteduhan dan kesejukan di surga berarti mengisyaratkan orang beriman untuk memberikan keteduhan dan kesejukan dalam kehidupan sosialnya. “Implikasi dari gambaran surga pada hakikatnya merupakan ‘perintah’ Allah kepada orang beriman untuk membuat dunia ini sebagaimana gambaran surga tersebut, yakni indah, hijau, rindang, teduh, dan menyejukkan,” demikian tertulis dalam Tafsir at-Tanwir yang diterbitkan PP Muhammadiyah pada penjelasan Surat al-Baqarah [2] ayat 25 tentang balasan bagi orang beriman yang mengikuti al-Qur’an. Manusia memang diciptakan untuk menyembah Allah (QS. al-Dzariat [51]: 56). Akan tetapi manusia juga mempunyai peran sebagai pelestari bumi, khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah [2]: 30). Setidaknya dua peran ini yang perlu menjadi perhatian manusia. Oleh karena itu, pengabdian kepada Allah juga diiringi dengan penenebaran cinta di bumi. Keimanan kepada Allah senantiasa menggerakkan diri untuk mencegah segala bentuk perusakan di bumi. Ketentraman hati dalam berdzikir harusnya menghasilkan pribadi yang menentramkan bagi alam sekitarnya. Islam tidak hanya menghendaki hubungan mesra seorang hamba dengan Tuhan-Nya semata. Prof Muhammad Chirzin menyatakan bahwa Islam dengan ajaran tauhid serta syari’at dan tuntunan akhlaknya dapat menghidupkan jiwa-jiwa yang beku, menggugah hati yang layu, dan membangkitkan naluri kebaikan. Hal ini berdampak pada terjalinnya hubungan yang baik serta pergaulan yang rukun dan damai. Kehidupan Islam digambarkan Prof Muhamamd Chirzin sebagai kehidupan yang diliputi oleh iman dan tauhid serta ketaatan kepada Allah. Tidak ada penganiayaan, penindasan, dan kezaliman. Kehidupan yang dituju justru diwarnai dengan keadilan, kebebasan yang terpimpin, dan rasa persaudaraan. Ia tidak terkotori oleh sifat-sifat tamak, dengki, iri hati, dan dendam. Sebaliknya kehidupan Islam senantiasa dinaungi rasa cinta kasih, damai, dan sikap gotong-royong. Demikian dipaparkan dalam Buku Saku Konsep dan Hikmah Akidah Islam. “Agama baru lekat dalam hati kalau ia dikerjakan dengan penuh perhatian,” tutur Buya Hamka dalam Pandangan Hidup Muslim. “Bukan hanya semata-mata mengerjakan pekerjaan rutin sebagai gerak-gerik yang kaku. Apabila agama hanya dikerjakan karena sudah jadi adat atau karena keturunan, tidaklah akan terasa beberapa kejanggalan yang senantiasa ditemukan dalam Masjid. Orang berperasaan halus akan heran dan tercengang melihatnya,” lanjutnya. Paparan dari Buya Hamka di atas mendorong umat Islam untuk menjalankan agama dengan penghayatan. Agama yang dijalankan tanpa penghayatan tidak akan berdampak pada cara hidup seseorang. Ia sekedar menjadi rutinitas kaku yang seolah dianggap sebagai bentuk ketaatan pada Allah. Hal ini akan melahirkan, misalnya orang-orang yang rajin shalat tetapi gemar mencaci tetangga. Ada juga orang yang berkali-kali umrah dan naik haji tapi juga tak henti-hentinya melakukan korupsi. Ibadah-ibadah itu hanya menjadi pekerjaan rutin sebagai gerak-gerik yang kaku. Allah Swt. berfirman: “Bacalah Kitab (al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Ankabut [29]: 45) Ayat ini menyebutkan bahwa pelaksanaan ibadah shalat berimplikasi pada tercegahnya seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Tentu shalat yang dimaksud adalah yang dilakukan dengan penuh penghayatan. Setelah melaksanakan shalat, orang beriman diperintahkan untuk melebarkan sajadah ke segala lini kehidupan. Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar menyatakan, “Segala shalat itu dimulai dengan Allahu Akbar, artinya dibulatkan ingatan kepada Allah. Dan disudahi Assalamu ‘alaikum, artinya kita kembali lagi ke masyarakat.” Langkah ini akan membuktikan bahwa agama membuat tentram.