Era Mushaf Dingin: Saat Desain Media Pembelajaran Al-Qur’an Kehilangan Ruhnya
Hari ini, belajar Qur’an bisa dilakukan kapan dan dimana saja. Cukup bermodal jaringan internet melalui perantara ponsel genggam, berbagai website dan ratusan aplikasi mobile siap menjadi tools pemandu pembelajaran Qur’an mulai dari tajwid, tahsin, tahfiz, hingga tafsir. Semua terasa praktis, cepat, dan efisien. Namun di balik kemudahan itu, ada suatu gejala sosial yang pelan tapi nyata sehingga dikhawatirkan mampu menjadi bom waktu di kehidupan muslim modern, dimana semakin banyak insan yang bisa membaca, bahkan menghafal dan menafsirkan Al-Qur’an, tapi semakin sedikit yang betul-betul bisa “merasakan” serta “meresapi” kehadiran-Nya melalui ayat-ayat suci dalam mushaf. Mulai dari anak-anak hingga dewasa kini telah mampu melafal, dan menghafalkan ayat dengan fasih, tapi tak jarang tanpa getar makna yang mampu teresapi. Dalam kehidupan Kontemporer ini pembelajaran Qur’an menjadi semakin canggih dengan pemanfaatan teknologi internet sebagai sarana pembelajarannya, tapi itu semua dapat menimbulkan potensi hilangnya sentuhan ruhani yang dulu hadir lewat suara lembut guru, ustadz, kyai dan suasana halaqah pembelajran yang teduh (Azra, 2019; Al-Qaradawi, 2004). Fenomena inilah yang oleh sebagian akademisi disebut sebagai “Era Mushaf Dingin” yang dipahami bersama sebagai rahasia umum Ketika ayat-ayat hingga mushaf digital lengkap dengan sarana pembelajrannya ada di genggaman, tapi makna batinnya keras membeku tak tersentuh oleh qalbu.
Dalam sejarah panjang perkembangannya, pembelajaran Qur’an selalu berakar pada hubungan spiritual antara murid dan guru. Mulai dari penggunaan metode pembelajaran klasik seperti talaqqi dan musyafahah yang bukan sekadar teknis belajar, tapi proses pewarisan pemahaman nilai dan adab dari generasi ke generasi melalui tradisi keilmuan bersanad. Namun, sejak sistem pendidikan modern mengadopsi logika industri yang ditandai dengan kurikulum standarisasi barat, sertifikat, dan evaluasi kuantitatif yang subjektif menjadikan pembelajaran Qur’an perlahan berubah arah. Fokusnya tak lagi pada tazkiyah (penyucian jiwa) dan ta’dib (pendidikan akhlak), tapi pada capaian kognitif dan kecepatan hafalan (Al-Attas, 1993; Rahim, 2020). Maka tak heran, banyak yang fasih melafalkan dan menghafal Al-Qur’an tapi tak paham ruh dan esensi pesan yang ada di dalamnya. Mereka mengenal huruf, tapi asing dari penghayatan makna.
Titik berat masalahnya bukan pada konotasi radikalnya teknologi, tapi pada bagaimana cara kita mendesain pembelajaran Qur’an itu sendiri sehingga mampu menghantarkan penuntut ilmu bermuwajahah dengan makna teks suci. Banyak media digital Al-Qur’an dikembangkan dengan semangat efisiensi, bukan spiritualitas. Padahal, dalam pandangan klasik Islam, ilmu tanpa ruh ibarat jasad tanpa jiwa yang hanya mampu bergerak, tapi hampa akan makna (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin; Nursi, 2010). Ketika teknologi menjadi pusat acuan dan bukan diposisikan sebagai alat, maka Pendidikan Qur’an bisa dipastikan akan kehilangan ke hanifan nya. Dewasa ini kita sibuk memperindah tampilan website hingga aplikasi, tapi lupa menyalakan lentera ilmu dan adab dalam dada penuntut ilmu. Di sinilah krisis desain pembelajaran Qur’ani terjadi, dimana kita berhasil menciptakan alat belajar yang pintar, namun gagal melahirkan pembelajar yang tercerahkan (Nasr, 1997; Abdurrahman Wahid, 2003).
Ujungnya, ke mana arah perbaikannya? Sudah saatnya kita berbicara tentang “Desain Spiritual-Instruksional” Dimana model pengembangan media pembelajaran Qur’an ini tidak hanya mengajarkan fasihnya membaca huruf, hingga menghafal ayat, tetapi juga menghidupkan hikmah dari pesan mendalam yang terkandung dalam proses pemahaman ayat karangan-Nya. Teknologi perlu digandeng dengan niat ibadah, nilai Qur’ani yang teruji dan kontekstual, serta mampu menggapai tujuan maqāṣid al-ta‘līm (pendidikan yang menumbuhkan iman dan akhlak). Guru dan ustadz tetap memegang peran utama sebagai “kurator ruh,” sementara media digital menjadi jembatan, bukan pengganti. Setiap fitur, visual, dan interaksi digital perlu disandarkan pada etika Qur’ani dan sanad keilmuan yang sahih (Hanafi, 2022; Yusuf al-Qaradawi, 2013). Sebab sebagaimana diingatkan Seyyed Hossein Nasr, pendidikan Islam bukan hanya soal menyampaikan ayat secara tekstual, tapi menghidupkan nur al-ma’rifah dimana cahaya pengetahuan tersebut dapat menghangatkan atmosfer dalam jiwa (Nasr, 2014).
Dalam kehidupan modern ini, kita hidup di zaman di mana ayat-ayat hingga mushaf digital semakin dingin, tapi hati manusia justru semakin haus kehangatan makna. Maka tugas kita bukan menolak teknologi, melainkan menanamkan kembali ruh pengajaran Qur’an yang kontekstual ke dalam setiap desain pembelajaran Al-Qur’an. Media boleh dingin, tapi ruhnya jangan beku. Sebab Al-Qur’an sejati bukan yang bersinar di layar, melainkan yang bergetar di dada mereka yang membacanya dengan cinta.
Referensi Azra, A. (2019). Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.
Al-Qaradawi, Y. (2004). Al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Madrasat Hasan al-Banna. Kairo: Dar al-Syuruq.
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
Rahim, A. (2020). Pendidikan Islam di Era Digital. Yogyakarta: Deepublish.
Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikr.
Nursi, B. (2010). Risalah al-Nur. Istanbul: Sözler Publications.
Nasr, S. H. (1997). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: Unwin.
Abdurrahman Wahid (2003). Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
Hanafi, M. (2022). Maqashid al-Tarbiyah dalam Kurikulum Islam Kontemporer. Jakarta: LIPI Press.
Yusuf al-Qaradawi (2013). Maqashid al-Syari‘ah fi al-Ta‘līm. Kairo: Dar al-Syuruq.
Nasr, S. H. (2014). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. HarperOne.
Penulis: Purinindra Ghatan Ramadan
Mahasiswa Fakultas Agama Islam Prodi Ilmu Quran dan Tafsir
085923356218
Editor:Rauuf Bukhari

