Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain colormag dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /home/isla3269/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Marhaban Yaa Perlawanan: Menyemai Perubahan
ARTIKEL

Marhaban Yaa Perlawanan: Menyemai Perubahan, Menuai Kemenangan

Bulan Ramadan selalu menjadi momentum spiritual yang luar biasa bagi umat Islam. Ia bukan sekadar bulan ibadah dalam bentuk salat, puasa, dan doa, tetapi juga bulan perubahan, perjuangan, dan kemenangan. Dalam sejarah Islam, Ramadan sering kali menjadi latar bagi berbagai peristiwa besar yang menentukan arah peradaban. Salah satu yang paling monumental adalah Perang Badar, di mana umat Islam yang saat itu masih kecil jumlahnya mampu mengalahkan pasukan Quraisy yang jauh lebih kuat. Kemenangan ini bukan semata karena kekuatan fisik, tetapi karena kesabaran, keteguhan hati, dan keyakinan kepada Allah. Begitu pula dengan Fathu Makkah, yang terjadi pada 20 Ramadan, di mana Rasulullah ﷺ menaklukkan kota suci itu dengan penuh kebijaksanaan dan kasih sayang, menegakkan keadilan tanpa balas dendam.

Dari sejarah ini, kita bisa melihat bahwa Ramadan bukan bulan untuk berdiam diri. Justru di bulan ini, umat Islam dituntut untuk semakin gigih dalam memperjuangkan keadilan. Lailatul Qadar, yang sering kali dimaknai sebagai malam kemuliaan, bukan hanya momen spiritual pribadi, tetapi juga momen di mana wahyu pertama kali turun kepada Nabi Muhammad ﷺ. Wahyu yang diturunkan bukan hanya berisi tuntunan ibadah, tetapi juga perintah untuk menghapus kezaliman, menegakkan kebenaran, dan memperjuangkan keadilan sosial. Inilah mengapa, menjemput Lailatul Qadar dengan perlawanan menjadi sesuatu yang sangat relevan. Hari ini, perjuangan itu bisa kita lihat dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah perlawanan mahasiswa terhadap revisi UU TNI yang berpotensi melemahkan supremasi sipil dan membuka celah bagi kembalinya dominasi militer dalam politik. Perlawanan semacam ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena ia sejalan dengan semangat Islam dalam menolak segala bentuk kezaliman.

Spirit Lailatul Qadar dan Perlawanan Sosial

Lailatul Qadar sering kali hanya dimaknai sebagai malam yang penuh keberkahan di mana umat Islam dianjurkan untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Padahal, esensi dari malam ini jauh lebih luas. Di malam inilah wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang isinya bukan sekadar perintah untuk membaca, tetapi juga ajakan untuk melakukan perubahan besar dalam tatanan sosial. Islam datang di tengah masyarakat yang dipenuhi dengan ketidakadilan seperti perbudakan merajalela, perempuan diperlakukan tidak manusiawi, dan yang kuat menindas yang lemah. Dengan turunnya wahyu, dimulailah sebuah revolusi sosial yang mengubah wajah dunia.

Jika kita melihat kondisi hari ini, semangat Lailatul Qadar ini harus tetap dijaga. Tidak hanya dengan meningkatkan ibadah secara individual, tetapi juga harus diiringi dengan upaya nyata dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan di tengah masyarakat. Perlawanan mahasiswa terhadap revisi UU TNI bisa dilihat dalam konteks ini. Ketika ada potensi penyimpangan yang dapat mengancam hak-hak rakyat, maka diam bukanlah pilihan. Rasulullah ﷺ sendiri menegaskan bahwa jihad terbesar adalah mengatakan kebenaran di hadapan pemimpin yang zalim. Ini berarti, perjuangan melawan kebijakan yang tidak adil merupakan bagian dari nilai-nilai Islam yang luhur.

Ramadan justru menjadi waktu yang tepat untuk perlawanan seperti ini. Puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga latihan menahan ego, menguatkan ketahanan diri, dan membangun solidaritas sosial. Mahasiswa yang turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi rakyat di bulan Ramadan adalah cerminan dari semangat perjuangan Islam. Mereka mengorbankan kenyamanan, mengabaikan rasa lelah, dan menghadapi risiko demi keadilan. Inilah bentuk jihad yang sesuai dengan ajaran Islam: bukan hanya perang dengan senjata, tetapi juga perjuangan dengan pikiran, kata-kata, dan tindakan nyata.

Kemenangan Spiritual dan Sosial dalam Konteks Perjuangan

Jika Ramadan adalah bulan perjuangan, maka Idul Fitri adalah momentum kemenangan. Namun, kemenangan ini tidak boleh dipahami secara sempit. Idul Fitri bukan hanya perayaan setelah sebulan berpuasa, melainkan titik awal bagi transformasi yang lebih besar, baik secara pribadi maupun sosial. Dalam sejarah Islam, Idul Fitri tidak pernah dimaknai sebagai perayaan yang individualistis. Sebaliknya, ia selalu berkaitan dengan kemenangan kolektif dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Ketika Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat memenangkan Perang Badar, mereka tidak merayakannya dengan pesta pora, tetapi dengan syukur dan refleksi mendalam. Ketika Fathu Makkah terjadi, Rasulullah ﷺ tidak masuk dengan kesombongan, tetapi dengan kerendahan hati dan semangat persaudaraan. Ini menunjukkan bahwa kemenangan sejati bukanlah saat seseorang berhasil meraih sesuatu untuk dirinya sendiri, tetapi ketika ia mampu membawa perubahan bagi banyak orang.

Dalam konteks perjuangan mahasiswa hari ini, Idul Fitri seharusnya tidak dimaknai sebagai akhir dari perjuangan, tetapi sebagai awal dari langkah-langkah baru yang lebih konkret. Demonstrasi yang dilakukan selama Ramadan harus diikuti dengan gerakan yang lebih luas setelah Idul Fitri. Kesadaran yang telah dibangun selama bulan suci harus terus dikembangkan dalam bentuk advokasi kebijakan, pendidikan politik, dan penguatan gerakan sosial. Jika Idul Fitri hanya diartikan sebagai kemenangan spiritual tanpa diiringi dengan perubahan sosial, maka maknanya menjadi timpang.

Idul Fitri adalah simbol kembali kepada fitrah, tetapi fitrah manusia bukan hanya tentang kesucian pribadi, melainkan juga kesadaran akan keadilan. Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi, yang tugasnya adalah menegakkan kebaikan dan memberantas kezaliman. Dengan demikian, setelah Ramadan berlalu, semangat perjuangan tidak boleh padam. Justru di saat inilah, ujian sebenarnya dimulai: apakah kemenangan yang diraih di bulan Ramadan dapat diterjemahkan dalam kehidupan nyata, atau hanya sebatas ritual tahunan yang berlalu tanpa makna?

Dari Lailatul Qadar ke Idul Fitri, dari Perlawanan ke Kemenangan

Menjemput Lailatul Qadar dengan perlawanan bukan hanya tentang ibadah spiritual, tetapi juga tentang bagaimana kita mengambil makna dari turunnya wahyu sebagai pedoman dalam memperjuangkan keadilan. Jika Rasulullah ﷺ dan para sahabat menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum perjuangan, maka kita pun harus menjadikannya sebagai waktu untuk memperkuat komitmen dalam menolak kezaliman.

Demonstrasi mahasiswa terhadap revisi UU TNI bisa dipandang sebagai bagian dari jihad sosial, sebuah perjuangan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Perjuangan ini menuntut pengorbanan, kesabaran, dan keberanian. Namun, perjuangan tidak boleh berhenti hanya di jalanan atau di ruang-ruang diskusi. Setelah Ramadan berakhir dan Idul Fitri tiba, semangat perubahan harus terus dijaga.

Idul Fitri bukan hanya kemenangan pribadi, tetapi juga kemenangan sosial. Ia adalah simbol bahwa setelah melalui tempaan selama Ramadan, umat Islam harus lahir kembali sebagai pribadi yang lebih baik, lebih berani, dan lebih peduli terhadap keadilan. Jika Ramadan adalah masa perjuangan, maka Idul Fitri adalah saatnya memastikan bahwa perjuangan itu tidak sia-sia. Dan jika benar bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, maka perlawanan yang dilakukan di bulan ini pun harus meninggalkan jejak yang bertahan lebih dari sekadar satu generasi.

Penulis: Tammam Sholahudin

Editor: Aryanti Artikasari

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *