Literasi Qur’ani Sebagai Strategi Media Pembelajaran Bagi Generasi Digital
Generasi Muda dan Media Digital
Generasi muda identik dengan dunia digital menjadikan media sosial sebagai ruang ekspresi utama bagi mereka. Sebuah negara maju tidak hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun juga menekankan pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas; berkarakter kuat, kompetitif, dan berintegrasi. Kesadaran generasi muda akan peran besar untuk berkontribusi sebagai individu yang intelektual dan memiliki tanggung jawab, dapat menjadi kekuatan besar dan kemajuan martabat bagi negara (Nurrohim, 2024).
Generasi muda yang hidup berdampingan dengan kemajuan teknologi dan internet yang serba cepat, terbiasa memperoleh sesuatu secara instan. Mereka memainkan peran penting dalam pergerakan transformasi teknologi dalam memanfaatkan teknologi guna memperbaiki kualitas hidup dan menciptakan inovasi baru untuk kemajuan bangsa di masa mendatang. Maka dari itu, generasi muda diharapkan untuk memahami nilai-nilai budaya dan sosial serta sejarah nasional yang membentuk identitas sejati mereka. Hal ini menjadi fakta yang tidak bisa dibantah bahwa generasi muda adalah agen masa depan yang diharapkan membawa perubahan besar untuk membangun bangsa yang lebih ideal (Nurrohim, Ahmad., Sukmaningtyas., Izzati et al., 2024).
Seni dan budaya sering dipandang sebagai bagian penting dalam membentuk identitas suatu komunitas atau masyarakat, serta memiliki peran strategis dalam membantu generasi muda menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks. Di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi, kaum muda menunjukkan kemampuan luar biasa dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman. Namun demikian, mereka juga berhadapan dengan risiko besar, salah satunya adalah semakin tergerusnya nilai-nilai budaya lokal akibat dominasi budaya asing.
Sebagai kelompok yang dinamis dan kompetitif, generasi muda dituntut untuk memiliki kecakapan dalam berpikir inovatif, menyelesaikan persoalan, serta mampu berkomunikasi dan menyesuaikan diri dalam berbagai konteks sosial maupun digital. Generasi muda disoroti sebagai peran utama, karena fleksibilitas dan keterbukaannya terhadap teknologi, berpotensi menjadi kekuatan utama dan kuat dalam menjaga keberlanjutan budaya di tengah arus modernisasi (Pratiwi et al., 2020).
Meski demikian, dampak globalisasi terhadap pelestarian seni dan budaya tetap menjadi isu yang krusial. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif dan langkah strategis agar generasi muda dapat menciptakan solusi yang seimbang, yakni mampu mengikuti perkembangan zaman tanpa melupakan akar budaya yang menjadi identitas mereka.
Kebebasan Berekspresi Semakin Luas, Tetapi Sering Terjadi Ujaran Kebencian dan Hoaks
Kebebasan berekspresi di era digital saat ini sangat dijunjung tinggi, terutama oleh generasi muda. Media sosial menawarkan berbagai platform yang bisa mengungkapkan kebebasan ekspresi mereka dalam memberikan pendapat dan merasakan sebuah pengalaman. namun kebebasan ini sering disalahartikan oleh para generasi muda, sehingga sering terjadi hal-hal yang tidak melanggar etika dan norma sosial. Banyak generasi muda beranggapan bahwa kebebasan berekspresi sebagai kebebasan untuk berbicara bebas tanpa memedulikan efek yang terjadi terhadap individu yang di singgung ataupun melanggar norma sosial (Nurrohim, A., 2019).
Pemahaman yang salah ini sering terjadi pada tiap individu generasi muda yang kurang dalam mendapatkan ilmu pengetahuan yang cukup, dan kurangnya pemahaman nilai-nilai etika sosial terhadap perbedaan budaya serta pengaruh lingkungan sekitar yang tidak baik. Kebebasan berekspresi yang disalahpahami bisa mengarah pada perilaku yang negatif, seperti diskriminasi terhadap kelompok tertentu berdasarkan ras, agama, gender, dan orientasi seksual.
Etika sosial adalah aturan tidak tertulis yang membantu kita berperilaku dengan baik saat berinteraksi dengan orang lain, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Prinsip dasarnya adalah saling menghormati, menjaga kerukunan, dan menghargai perbedaan, baik pendapat, latar belakang, maupun budaya. Saat kita menyuarakan opini, etika sosial mengingatkan kita untuk tetap bersikap bijak, tidak menyakiti, merendahkan, atau menyinggung perasaan orang lain. Berekspresi boleh, tapi harus tetap memperhatikan empati, toleransi, dan keadilan.
Intinya, setiap kebebasan datang bersama tanggung jawab. Dalam hal ini, tanggung jawab sosial. Sebab, kata-kata punya kekuatan yang bisa membangun, tapi juga bisa melukai. Maka, mari gunakan kebebasan berbicara dengan cara yang positif dan beretika, demi terciptanya masyarakat yang lebih sehat dan saling menghargai (Nurrohim A., Wahid & Al-Haqqoni, 2025).
Pesan Qur’ani untuk Generasi Digital
- QS. Al-Hujurat: 6 → tabayyun sebelum menyebarkan informasi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Dalam Tafsir Al-Azhar (2015: 417–419), Prof. Hamka menekankan bahwa ayat ini merupakan peringatan serius dari Allah SWT kepada orang-orang beriman agar tidak mudah mempercayai sebuah kabar, terutama jika berasal dari individu yang dikenal gemar berbuat dosa atau menyebarkan kebohongan (fasik).
Beliau mengaitkan ayat ini dengan sebuah peristiwa sejarah yang melibatkan al-Walid bin Uqbah, yang saat itu diutus oleh Nabi Muhammad SAW untuk mengumpulkan zakat dari suku Bani Musthaliq. Karena merasa takut dan diliputi prasangka, al-Walid kembali dengan membawa kabar palsu bahwa suku tersebut telah keluar dari Islam (murtad). Nabi SAW sempat hendak mengirim pasukan untuk menghadapi mereka, namun memutuskan untuk memeriksa kebenaran laporan tersebut terlebih dahulu. Hasil penyelidikan membuktikan bahwa tuduhan itu tidak berdasar.
Dari kejadian ini, Prof. Hamka mengambil hikmah bahwa menyebarkan informasi tanpa proses klarifikasi atau tabayyun bisa menyebabkan kesalahpahaman besar, bahkan berujung pada fitnah dan tindakan yang tidak adil. (MUI, 2025)
QS. Al-Hujurat: 6 memberikan arahan penting dalam menjaga tata krama sosial, terutama dalam hal berkomunikasi dan menyebarkan informasi. Dalam ayat ini, terkandung ajaran mengenai prinsip tabayyun, yaitu kehati-hatian dalam memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya lebih lanjut. Prinsip ini menjadi dasar dalam membangun komunikasi yang etis dan tidak merugikan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ayat tersebut mengingatkan agar kita tidak terburu-buru mempercayai berita yang belum jelas kebenarannya, karena hal itu dapat mencegah terjadinya penyebaran informasi palsu atau fitnah di tengah masyarakat. Maka dari itu, memahami kandungan ayat ini sangat penting, terutama untuk generasi muda, agar mereka bisa menempatkan kebebasan berbicara dalam koridor yang bertanggung jawab dan sejalan dengan nilai-nilai etika sosial yang mendukung kehidupan bermasyarakat yang lebih sehat dan harmonis (Pratama et al., 2025).
- QS. Qaf: 18 → setiap kata (atau postingan) diawasi malaikat.
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
“Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”
Terkait dengan apakah setiap ucapan manusia dicatat oleh malaikat atau hanya yang bernilai pahala dan dosa saja, para ulama memiliki pandangan yang beragam.
Dalam tafsirnya, Al-Qurthubi mengutip pendapat Ibn al-Jawza’ dan Mujahid yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang keluar dari lisan manusia dicatat, bahkan erangan karena menahan rasa sakit pun tidak luput dari catatan. Berbeda dengan itu, ‘Ikrimah berpendapat bahwa yang dicatat hanyalah perkataan yang mengandung nilai baik atau buruk, yakni yang berpahala atau berdosa.
Ada pula pandangan lain yang menyebutkan bahwa seluruh ucapan memang dicatat oleh malaikat, namun jika pada akhirnya tidak berkaitan dengan pahala atau dosa, seperti perkataan sehari-hari yang bersifat netral: “pergi”, “duduk”, atau “makan”, maka catatan tersebut akan dihapus di akhir hari. Ibnu Katsir sendiri menjelaskan bahwa makna lahir dari ayat menunjukkan cakupan yang umum, yaitu bahwa semua bentuk ucapan manusia masuk dalam catatan. Imam As-Syaukani juga menambahkan bahwa kandungan ayat ini tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi juga meliputi perbuatan manusia, menunjukkan betapa luasnya cakupan pengawasan malaikat atas manusia.
Di era digital saat ini, menjaga ucapan menjadi lebih penting dari sebelumnya. Segala hal yang diunggah ke media sosial baik dalam bentuk teks, suara, atau video dapat meninggalkan jejak digital yang sangat sulit dihapus. Ketika sebuah video atau teks diunggah ke media sosial, sejak saat itu data tentang postingan tidak akan terhapus. Meskipun dari akun individu sudah menghapusnya, postingan tersebut tetap terdata dalam penyimpanan digital yang bisa dicari di kemudian hari. Pentingnya menjaga perkataan dan tulisan dalam menggunakan media sosial untuk menghindari hal-hal negative yang akan berdampak pada pelanggaran etika sosial (Thowiroh, 2025).
- QS. Al-Isra: 36 → kritik tanpa literasi.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Derasnya arus informasi di era digital kerap membuat kita larut dalam banjir opini dan data yang datang tanpa henti. Di tengah kebisingan dunia maya ini, pemikiran Ustaz M. Quraish Shihab dalam Tafsîr al-Mishbâh terhadap QS. Al-Isra: 36 hadir sebagai pengingat yang menyentuh kesadaran. Beliau menyoroti pentingnya tanggung jawab individu dalam menjaga dan menggunakan alat-alat pengetahuan yang telah dianugerahkan Allah yakni pendengaran, penglihatan, dan hati dengan bijak.
Artinya, seseorang tidak boleh mengikuti sesuatu tanpa dasar pengetahuan yang jelas, dan setiap tindakan atau ucapan harus berpijak pada ilmu. Ustaz Quraish menegaskan bahwa Allah tidak hanya memberikan manusia kemampuan untuk mengenal kebenaran, tetapi juga akan meminta pertanggungjawaban atas bagaimana kemampuan itu digunakan. Pendengaran, penglihatan, dan hati adalah instrumen pencari ilmu, dan semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.
Pesan ini menyadarkan kita bahwa dalam menghadapi derasnya informasi, kita tidak boleh hanya menjadi penikmat pasif. Kita juga memiliki tanggung jawab moral atas setiap informasi yang kita sebarkan, setiap ucapan yang kita lontarkan, dan setiap penilaian yang kita buat. Menjadi bijak dalam menerima dan menyebarkan informasi bukan hanya tuntutan sosial, tetapi juga bagian dari tanggung jawab spiritual. (Mauludi, 2024)
Penutup
Era digital memberi kebebasan luas bagi generasi muda untuk berekspresi, namun kebebasan itu menuntut tanggung jawab besar. Tanpa etika, ruang digital mudah menjadi tempat tumbuhnya hoaks dan ujaran kebencian. Al-Qur’an telah memberi pedoman jelas: prinsip tabayyun (QS. Al-Hujurat: 6), kesadaran bahwa setiap ucapan dicatat (QS. Qaf: 18), dan larangan mengikuti sesuatu tanpa ilmu (QS. Al-Isra: 36).
Ketiga ayat ini menegaskan bahwa setiap ekspresi harus disertai kejujuran, kehati-hatian, dan kesadaran moral. Dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai kompas digital, generasi muda dapat menggunakan teknologi bukan hanya untuk berbicara, tetapi juga untuk menyebarkan kebaikan, empati, dan nilai kemanusiaan.
Penulis: Syifa Nurnisa Sahidi
Editor: Aryanti Artikasari

