Secercah Kekuatan dari Lubuk Hati Terdalam
Di kerajaanku, setiap hari doa-doa dipanjatkan, memohon secercah harapan kecil. Namun, di balik harapan itu ada tangisan pilu, luka yang tak kunjung sembuh, dan nyawa yang telah terkorban. Harapan itu adalah kebebasan.
Setiap saat, rakyat kecil menanggung derita. Perut mereka kosong, tubuh mereka tanpa tempat berlindung, dan jiwa mereka mendamba cahaya pembebasan.
Setiap hari aku menatap mereka. Semuanya hanya diam, tidak bersuara. Alasannya? Karena mereka sudah putus asa. Mereka lelah menyuarakan suara yang tak pernah sampai ke telinga para penguasa. Suara-suara itu hanya berhenti di gerbang pertahanan. Bertahun-tahun mereka berteriak tentang kebebasan, kesejahteraan, dan hak-hak mereka, tetapi para penguasa diam. Seolah warga kecil hanyalah pion untuk mencapai kepuasan dan kesuksesan diri mereka sendiri.
Hari ini aku menulis sebuah harapan: kebebasan yang semua orang inginkan. Aku menulis ini sembari bertanya pada diriku sendiri, “Kapan aku akan merasakan kebebasan itu? Kebebasan yang selalu diceritakan saat aku kecil, digambarkan seperti menari di bawah rintik hujan, melepaskan beban dan rasa sakit, lalu saling tersenyum dan tertawa bersama.”
Hari-hari berlalu cepat. Orang-orang yang masih kokoh mulai lelah menyuarakan suara mereka. Satu per satu tumbang dalam keputusasaan. Mereka merasa tak ada lagi harapan menatap cahaya kebebasan.
Aku menatap mereka sembari mengepalkan tangan. Dalam hatiku aku berkata, “Aku masih berdiri.” Aku melangkah tegap di antara kerumunan dengan penuh keyakinan.
“Jangan menyerah! Kita tidak boleh kalah!,” ucapku lantang.
Beberapa orang hanya diam memandangku. Tatapan mereka menunjukkan rasa lelah pada harapan yang tak pernah menjadi nyata.
“Berdirilah tegak! Kita harus percaya pada harapan itu. Kita harus yakin ada cahaya kebebasan yang menanti kita. Bangunlah!”
Satu per satu mulai bangkit dan kembali ke barisan. Mereka semua akhirnya berkumpul, membuat formasi untuk menembus tembok setebal apa pun.
Para prajurit berbaris, membentuk pertahanan untuk menghadang kami. Mereka punya tameng-tameng kuat, senjata canggih, dan tidak peduli apakah kami akan mati atau tidak. Aku berdiri dengan tangan mengepal ke atas.
“Mereka punya SENJATA, tapi kita punya LISAN! Mereka punya ALAT, tapi kita punya AKAL!”
Kami tidak akan mundur lagi. Kami tidak peduli berapa banyak nyawa yang gugur hari ini. Kami tetap berdiri, menyokong harapan kecil kami demi menatap cahaya kebebasan.
Atmosfer berubah. Sosok kami yang berdiri tegak, membawa harapan-harapan kecil, tampak bercahaya di mata para prajurit. Seolah sebuah kekuatan bangkit dari barisan kami.
DUAR!
Ledakan besar muncul dari istana kerajaan. Teriakan kesakitan terdengar dari dalam. Para pemimpin berteriak dengan panik.
“Diam! Tolong diam! Hentikan suara-suara ini!”
“Telingaku… Tolong, telingaku sakit sekali!”
Para penguasa itu meraung kesakitan, membenturkan kepala ke tembok, bahkan ada yang rela memotong telinga hanya agar suara kami hilang.
Beberapa jam kemudian, mereka semua tumbang. Para pemimpin tergeletak tak bernyawa. Tidak ada satu pun yang selamat. Kami menatap pemandangan itu dengan diam. Aku mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“KITA BERHASIL!”
Suara lantangku menggema. Semua orang bersorak penuh kebahagiaan. Harapan kecil mereka akhirnya menjadi nyata. Langit menggelap, hujan turun, dan semua orang menari dalam kebebasan. Beban serta rasa sakit seakan lenyap hari itu. Aku tersenyum di antara mereka, menyadari ada secercah kekuatan yang muncul dari lubuk hati kami semua.
Keesokan paginya, kami siap memulai kehidupan baru tanpa beban dan rasa sakit. Kami berdiri bersama menatap masa depan cerah. Semua orang tersenyum dan saling mempererat genggaman. Tidak peduli seberat apa pun tantangan di masa depan, kami akan menghadapinya bersama, dengan senyum di wajah dan tangan yang saling menggenggam memberi kekuatan satu sama lain.
Penulis: Alfauzan
Editor: Aryanti Artikasari

