CERPEN

Al-Mahabbah

“Shadaqallahul-‘adziim….”

“Alhamdulillah sudah selesai,” sahut seseorang tiba-tiba dari belakang si gadis yang baru selesai melantunkan ayat sucinya. Buru-buru ia menoleh, kemudian bergegas ikut berdiri mendekati seorang yang menginterupsinya.

Afwan, Umi, saya baru tahu Umi ada di sini,” katanya sembari menyalimi wanita paruh baya. Salah satu pengurus dari pondok pesantren yang menjadi tempatnya menuntut ilmu, pun tempatnya mengabdi.

“Ngga apa-apa, Ustazah, Umi ngerti,” sahutnya lembut.

“Kalau boleh tahu, ada apa, ya, Umi? Sampai jauh-jauh ke ruangan Shila?” tanyanya penasaran. Ia hanya ingin tahu sepenting apa sampai seorang yang paling dihormati ini secara langsung mendatanginya.

“Halah, berlebihan! Berapa meter, sih, dengan ruangan Umi? Masih bisa dengan jalan kaki, bukannya perlu pakai jet,” guraunya. “Oh iya, Umi cuma mau menyampaikan, Ustazah Shila bakda Duha, bisa menemui Umi? Karena, Ustazah dapat panggilan dari Mudzir dan jika tidak ada udzur syar’i, harus bisa datang,” sambungnya kemudian.

Pikiran-pikiran buruk memenuhi otaknya, sampai tak bisa merespons jauh ucapan wanita paruh baya yang dipanggil ‘Umi’ itu.  Ia hanya terdiam dengan pandangan kosong, takut-takut ia harus mendapat peringatan atau hukuman karena kelalaiannya. Sebab, ia diapnggil untuk menghadap seorang Mudzir, kepala pimpinan yang ada di pondok itu. Teringat lagi, orang tuanya nun jauh di sana, berharap dirinya menjadi wanita salihah yang menhafal Al-Qur’an berikut sanadnya. Ia tak mengerti harus bagaimana menghadap orang tuanya jika pikiran buruk itu terjadi. Menelaah 2 tahunnya mengabdi, kesalahan mana kira-kira yang membuatnya terpanggil. Sampai sekelebat pikiran mengganggu otaknya, jantungnya berdegup lebi cepat ketika meyakini spekulasi satu ini benar.

“Umi pamit, ya?” Ia kembali tersadar, usai tepukan di pundaknya terasa. Mulutnya masih kelu sampai ia hanya bisa membalas dengan anggukan.

***

            “Barakallahulakuma wa baraka ‘alaikuma wajama’a fii khayr!” Doa-doa itu terus diserukan untuk kedua mempelai yang baru saja melakukan ijab-qabul, diselingi obrolan singkat dan dilanjutkan foto bersama. Terlihat masih, tangis haru dari masing-masing keluarga atas pernikahan yang terjadi. Memberikan sentuhan rasa lain di tengah kesenangan yang dirasakan. Begitu pula, Shila, remaja yang bertitel ustazah di tempat pegabdiannya. Tersenyum penuh makna. Terlebih ketika memandang dua nama yang menjadi latar belakang kedua mempelai. Ia tak menyangka begini jadinya.

Namanya Muhammad Al-Ayubi, seorang pemuda yang digandrungi. Dikenal dan tak mungkin ada yang tak mengetahuinya. Hampir seluruh desa sekitar, juga beberapa daerah lainnya mengenal dan mengetahui taraf ilmu yang dimilikinya, terutama dari kalangan santri di pondok pesantren ini. Mengabdi penuh usai masa Ma’had-nya, sudah 4 tahunlah, kiranya. Sesosok berumur 24 tahun yang menjadi mempelai pria. Sesosok yang sempat membuat jantung Shila berdegup kencang. Sosok penghafal Al-Quran bersanad, yang salih, dari tutur kata, tata krama, serta keimanannya.

“Capek, Dek? Duduk aja, yuk!” ajak Ayub pada kekasihnya. Sang kekasih hanya tersenyum menuruti. Masih sedikit malu-malu. Terlebih tak pernah bersentuhan dan berdekatan dengan intens pada lawan jenis, membuatnya sedikit bingung dan takut-takut kala pertama harus bersalaman usai akad sampai harus duduk bersandingan di pelaminan.

Barakallah, Ustazah Shila. Masyaallah, ngga nyangka kalau Anti malah mendahului saya,” ujar kawan seperjawatan Shila sambil menyalami. Shila sendiri hanya tersenyum, bingung hendak menanggapi apa. Yang dia ingat, awalnya ia mendapat panggilan dari Mudzir melalui Umi, disertai dengan ketakutannya, mendapat peringatan apalagi hukuman.

Nyatanya, kala itu, malah ia harus didudukkan berhadapan dengan lelaki yang baru saja sah menjadi suaminya. Melalui sang Mudzir, di hari miladnya yang ke-22 tahun, ia diajak ber-ta’aruf dengan Ayub. Sang kepercayaan Mudzir yang ilmunya sudah setinggi langit. Saling mengenalkan diri, menyebutkan kelebihan dan kekurangan, hal yang disukai dan tak disukai, hingga visi-misi rumah tangga Islami. Sampai pertanyaan sang Mudzir, membuatnya terkesiap.

“Ustazah Shila, siap, ya?” Shila hanya bisa terdiam dan meminta undur diri, dengan alasan memohon izin pada orang tua terlebih dahulu. Rasa di hatinya sedikit mengganjal, dikata siap, sebenarnya usia belianya tak menunjukkan kesiapan yang berarti, meski mungkin banyak di luar sana yang sudah lebih siap darinya. Terlebih, merasa rendah dengan pencapaian yang berjarak jauh dengan sang hafidz, baik dari segi ilmu, hafalan, bahkan tingkah laku. Tak ubahnya, dirinya juga hanya remaja yang sedang mengalami masa menuju dewasa.

Sujudnya kala itu ia lamakan, meminta petunjuk yang sebenar-benarnya dari sang Rabb. Memohon ampun dan bermunajat pada-Nya. Ia ingat betul inilah kesalahan yang dilakukannya. Terlalu mencitai hamba-Nya. Sempat dulunya sekelumit doa ia ucap pula.

Ya Muqollibal Qulub, jikalah dirinya jodohku, ketuklah hatinya. Buka pintu hatinya, sadarkanlah. Bawalah ia untukku.” Sayangnya, doa yang entah berapa kali pernah diucapnya menjadi nyata. Membuatnya yang saat itu meragu.  Sampai benar-benar menjadi takut, meski tak menampik hatinya senang, sebab sang Hafidz memilihnya.

“Ya Allah, jika ini nikmat-Mu, bantu hamba meyakinkan diri. Namun, jika ini istidraj akibat dosa dan kesalahanku. Tarik kenikmatan ini dan bantu hamba membenahi diri.” Sepertiga malam itu juga menjadi saksi petunjuk-Nya. Sempat sedikit meragu, sampai ia akhirnya berani menghubungi orang tuanya. Menyampaikan apa adanya, memohon petunjuk dan petuah pantas dari ibunya.

“Nak, semua ada di tanganmu. Insyaallah Abah dan Umah setuju apa pun keputusanmu. Insyaallah, ini juga menjadi salah satu doa Umah yang terkabul untuk bisa menikahkan putra-putri Umah. Insyaallah, ini jalan Allah memberikan keberkahan atasmu, yang kelak membimbingmu untuk lebih baik lagi. Insyaallah, Umah dan Abah meridhaimu,” sahut ibunya dari seberang telepon.

Usai memantapkan hatinya, ia menyampaikan pada sang Umi agar bisa disampaikan kepada Mudzir. Dengan proses yang begitu cepat. Beberapa hari setelahnya, pintu rumahnya yang jauh di sana diketuk Ayub bersama sang Mudzir, menyampaikan niat hendak meng-khitbah Shila, usai masa ta’aruf yang lalu. Tiga hari kemudian, Ayub datang kembali bersama rombongan keluarga, melamar dengan lebih pantas. Hingga hari ini. Seminggu setelah lamaran, mereka melaksankan akad nikah. Proses singkat yang bahkan tidak sampai tiga minggu, memberikan kenangan sacral tersendiri di pernikahan sederhana mereka.

Syukran jaziilan, ya zaujati, terima kasih sudah menerima saya sebagai suamimu,” ucap Ayub yang menghapus memori Shila yang sempat berterbangan di kepalanya. Ia menatap dalam netra Ayub, netra yang sempat menitikkan air mata haru dan penuh syukur kala mengucap ijab dan terdengar seruan ‘sah’ dari para saksi. Netra teduh, yang memberikan pandangan penuh mahabbah padanya.

Wa syukran jaziilan, ya zauji. Keberuntungan telak ada padaku, merasakan mahabbah darimu,” balasnya sembari menundukkan kepala menghormati.

***

Em Erifah

penulis

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *