Mengintegrasikan Kemahiran Digital dalam Literasi Al-Qur’an
Perkembangan teknologi digital kini telah mengubah hampir semua aspek kehidupan manusia, termasuk cara kita berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jika dulu umat Islam hanya mengenal mushaf cetak dan kitab tafsir dalam bentuk fisik yang tebal, saat ini berbagai aplikasi, situs web, hingga perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan telah hadir untuk mempermudah akses terhadap sumber-sumber keislaman (Azra, 2018: 45). Transformasi besar ini menuntut munculnya kemahiran digital sebagai bagian penting dalam proses literasi Al-Qur’an di era modern (Nurrohim, 2024: 556–576).
Kemahiran digital pada dasarnya tidak lagi sekadar pelengkap, melainkan menjadi kebutuhan utama. Literasi digital berarti kemampuan untuk mencari, mengolah, menilai, dan menyajikan informasi secara kritis dengan memanfaatkan teknologi (Munir, 2015: 67). Dalam konteks studi Al-Qur’an, kemampuan ini mencakup penggunaan aplikasi Qur’an digital, akses terhadap kitab tafsir dalam bentuk e-book, serta pemanfaatan database hadis dan tafsir online. Teknologi memudahkan seseorang untuk menelusuri ayat tertentu, membandingkan berbagai tafsir, atau menemukan penjelasan yang relevan dengan isu-isu kontemporer hanya dalam hitungan detik (Nurrohim, 2020: 179–189).
Kemudahan tersebut membawa banyak peluang positif. Melalui dunia digital, literatur keislaman klasik yang dulu sulit dijangkau kini dapat diakses secara terbuka. Mahasiswa dan peneliti tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan kitab tafsir yang tebal dan terbatas jumlahnya. Cukup dengan unduhan sederhana, koleksi tafsir klasik hingga kontemporer bisa tersimpan di gawai mereka. Teknologi juga membuka ruang kolaborasi tanpa batas. Diskusi tafsir yang dulunya hanya bisa dilakukan di ruang kelas atau halaqah kini bisa berlangsung di forum daring, webinar, atau media sosial. Para pembelajar dari berbagai daerah bahkan negara dapat bertemu dan bertukar pandangan dalam semangat keilmuan yang sama (Hidayat, 2020: 134).
Namun, kemudahan yang besar ini tidak datang tanpa tantangan. Di balik luasnya akses digital, tidak semua informasi tentang Al-Qur’an dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ada banyak situs atau aplikasi yang tidak mencantumkan sumber otoritatif, atau bahkan menyajikan tafsir yang menyimpang dari kaidah keilmuan (Livingstone, 2011: 93). Selain itu, budaya serba instan di dunia digital sering membuat orang mencari jawaban cepat tanpa melalui proses tadabbur yang mendalam. Padahal, literasi Al-Qur’an sejatinya menuntut kesabaran, ketekunan, dan perenungan yang serius (Nurrohim, 2024: 1120–1141).
Tantangan lain yang patut diperhatikan adalah aspek etika dalam belajar menggunakan media digital. Kemudahan mengakses literatur terkadang menjerumuskan sebagian mahasiswa ke dalam praktik plagiarisme. Copy-paste dari e-book atau artikel daring tanpa menyebut sumber masih menjadi masalah serius dalam dunia akademik (Nasrullah, 2016: 115). Selain itu, gawai yang kita gunakan untuk belajar sering kali juga menjadi sumber distraksi. Niat untuk mendalami tafsir bisa saja terhenti karena notifikasi media sosial atau dorongan untuk membuka aplikasi lain yang tidak ada kaitannya dengan kajian Qur’an (Nurrohim, 2019: 93–103).
Meski begitu, tantangan tersebut bukanlah alasan untuk menolak teknologi. Justru, kemahiran digital harus diarahkan agar benar-benar memperkuat literasi Al-Qur’an. Kita bisa menggabungkan tradisi klasik dengan inovasi modern. Mushaf cetak dan proses talaqqi dengan guru tetap memiliki peran penting dalam menjaga otentisitas sanad ilmu, sementara teknologi berfungsi sebagai pelengkap yang memperluas jangkauan dan mempercepat akses ke sumber keilmuan (Hidayat, 2020: 140).
Selain itu, penting pula membangun kesadaran etis dalam pemanfaatan teknologi digital. Mengutip sumber dengan benar, menghindari plagiarisme, serta memverifikasi informasi sebelum membagikannya merupakan bagian dari tanggung jawab moral seorang pembelajar Al-Qur’an. Dunia digital juga memberi peluang bagi lahirnya kreativitas baru. Media sosial, podcast, atau platform video bisa menjadi sarana dakwah dan literasi Qur’ani yang segar dan menarik bagi generasi muda (Munir, 2015: 70). Dengan pendekatan kreatif, nilai-nilai Al-Qur’an dapat disampaikan dalam bahasa yang relevan dengan gaya hidup digital masa kini.
Pada akhirnya, integrasi antara kemahiran digital dan literasi Al-Qur’an harus dipahami sebagai upaya untuk menjaga relevansi ajaran Al-Qur’an sepanjang zaman. Teknologi memang membawa kecepatan dan kemudahan, tetapi nilai-nilai kesabaran, kedalaman tadabbur, dan kejujuran tidak boleh hilang. Generasi Qur’ani masa kini diharapkan tidak hanya cerdas dalam menguasai perangkat digital, tetapi juga bijak dalam menggunakannya. Sebab, kemajuan teknologi seharusnya tidak menjauhkan kita dari Al-Qur’an, melainkan menjadi jembatan untuk semakin dekat dengan petunjuk dan cahaya-Nya (Nurrohim, 2019: 93–103).
Penulis: Anisa Purnama
Editor:Rauuf Bukhari
Universitas Muhammadiyah Surakarta

