Dekonstruksi Persepsi Nisbi pada Mahasiswa
Pertanyannya sekarang, apa tujuan kita kuliah saat ini? Jika sekedar mendapat gelar lalu mendapatkan pekerjaan atau serupa dengan itu yakni kuliah terus menerus sampai dapat puncak gelar tertinggi. Tiap tujuan itu tidak ada yang masalah dan sah-sah saja. Tapi setidaknya mendorong cara-cara berpikir baru. Itulah perkuliahan, bisa berisi pengalaman organisasi, mengorganisir warga hingga melakukan advokasi untuk membela masalah kemanusiaan.
Sedari dulu kita masuk sekolah sampai bersikut satu sama lain ke jenjang selanjutnya dengan nilai yang tinggi. Dan setelah masuk pun kita masih berkeinginan untuk mendapatkan nilai setinggi-tingginya. Seolah-olah dengan nilai yang tingggi pasti akan menjamin semuanya, pekerjaan, kediaman, dan pasangan. Alih-alih semakin banyak yang menghamba kepada nilai dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Nilai seperti puncak dari segala yang dilakukan dalam sekolah maupun kuliah.
Saya melihat dan mengamati banyak sedikitnya apa yang dilakukan dari realita hal itu untuk mendapatkannnya, terkhusus dalam dunia kampus. Ada yang rajin kuliah, sering ke perpustakaan guna mencari referensi untuk tugas yang seakan-akan tugas selalu menumpuk. Apalagi lebih dramatisnya jika mendapati dosen killer yang begitu menantang. Mereka yang ambisius bakal mati-matian mengikuti apa saja aturan dari dosen itu.
Otomatis kultur dari sekolah sampai kuliah yang terbangun adalah siapa yang displin akan mendapatkan nilai yang bagus dan sebaliknya mereka yang malas sudah dipastikan tidak dapat nilai atau nilai yang buruk. Tapi ironinya manakala mereka yang punya persepsi pragmatis pada nilai yang kemudian melakukan plagiasi, joki tugas sampai joki skripsi untuk mendapatkan nilai dengan mudah. Terlebih hari ini perkuliahan dialihkan secara dalam jaringan (Daring) yang kemudian praktik-praktik itu lebih mudah. Padahal tak semua nilai itu menentukan hasil yang diimpikan dalam masa depan.
Usut punya usut kita sebagai mahasiswa punya beban moral yang berat ketimbang berbicara tentang nilai yang berbentuk IPK. Newfield menyebutkan, “kelompok elit mahasiswa sebagai a prophetic minorty, yaitu kelompok minoritas dalam masyarakat bangsa yang masih muda, tetapi mereka memainkan peran profetik. Peran mereka bagaikan Nabi dan bukan kyai atau pendeta yang terjebak rutinitas. Mereka adalah “Nabi” secara kolektif yang mencela kebobrokan dan membela kebenaran (Dawam Rahardjo, 1993). Konstatasi Newfield itu mengingatkan kita pada hadits Rasulullah Saw., bahwa “Cendikiawan adalah pewaris (cita-cita) para Nabi.””
Kita dikampus sebenarnya dididik kematangan seorang anak muda untuk selalu mempercayai bahwa pengetahuan yang dikonsumsinya bisa menjadi kekuatan yang mengubah tatanan, bukan pada nilai atau angka saja. Pengetahuan bukan himpunan doktrin yang dipercaya dan dihafalkan, melainkan dasar untuk mengembangkan minat-minat baru. Itulah tugas terdepan kampus yakni mengembangkan watak intelektual dalam diri mahasiswanya.
Watak intelektual itu dicirikan salah satunya dengan memiliki keberanian untuk mengekspresikan gagasan-gagasan progresif dengan cara lebih komunikatif sekaligus provokatif. Pandangan kritis, tajam, dan berani sebaiknya terus menjadi pengikat kampus dengan masyarakatnya yang dipinggirkan. Sebab posisi kampus bukan melahirkan penguasa tapi meluncurkan para pembaharu yang bisa merevolusi sistem sosial dan politik yang kacau sampai hari ini.
Tapi sebelum jauh dari kekacauan negeri ini, realita kampus juga menyedihkan. Dari perilaku salah seorang dosen yang mesum, pejabat kampus dan dosen yang sibuk buat proyek sana-sini. Mungkin saja ada penggelapan yang terjadi tanpa kita ketahui. Seakan mereka ini hanya kumpulan orang yang kelaparan yang memegang jabatan akademis.
Pertanyannya sekarang, apa tujuan kita kuliah saat ini? Jika sekedar mendapat gelar lalu mendapatkan pekerjaan atau serupa dengan itu yakni kuliah terus menerus sampai dapat puncak gelar tertinggi. Tiap tujuan itu tidak ada yang masalah dan sah-sah saja. Tapi setidaknya mendorong cara-cara berpikir baru. Itulah perkuliahan, bisa berisi pengalaman organisasi, mengorganisir warga hingga melakukan advokasi untuk membela masalah kemanusiaan.
Boleh saja kita tetap berambisi mencapai nilai setinggi-tingginya dan wisuda dengan status cumlaude. Kuliah dengan puncak prestasi sebagai mahasiswa terpintar dan tercepat. Pujian pun tak habis-habisnya saat kurun waktu itu. Tetapi terlepas dari itu, menelisik kembali pikiran kita saat awal masuk kuliah yang punya persepsi serupa pintar dan bisa selesai tepat waktu. Kita akan berlomba dan saling intip kemampuan dan berusaha untuk mendahului. Dan sebenarmya nilai yang tinggi itu sebatas sebuah pernyataan unggul untuk sementara. Esok bisa saja belum tentu bertahan dan jatuh.
Jangan terpaku kuliah pada apa yang tampak dipuja oleh semua anak, tapi lihatlah pada kesempatan yang ada disekitarmu. Sebab yang disekitar itulah yang mendorong kita mendapatkan rezeki yang lebih, yang bisa jadi lebih memukau. Mari kita bersama berhenti sejenak dari ambisi yang diburu banyak pihak. Sebenarnya bukan ambisinya yang keliru tapi tujuannya yang teramat sederhana. Kesederhanaan tujuan itu memang potret yang wajar. Padahal kehidupan sekeliling kita sedang berjalan tak wajar. Maka lihatlah realitas yang sebenarnya dan lebih dalam dan ayo sibukkan diri kita untuk larut dalam soal-soal lebih besar ketimbang urusan ngegame dan pacaran, apalagi kesibukan yang negatif apapun itu.
Penulis :
Izzul Khaq ( Mahasiswa Ilmu Al-quran dan Tafsir)