ARTIKEL

Beberapa Catatan untuk Penerjemah

Tulisan ini merupakan tanggapan untuk “Menerjemahkan ‘Masyarakat Tanpa Tuhan’ Melalui Cara Beragama Mahasiswa FAI UMS” karya Rahmat Balaroa. Selengkapnya bisa dibaca di http://islamikaonline.com/menerjemahkan-masyarakat-tanpa-tuhan-melalui-cara-beragama-mahasiswa-fai-ums/

Setelah membaca artikel yang ditulis oleh Saudara Rahmat Balaroa berjudul, “Menerjemahkan ‘Masyarakat Tanpa Tuhan’ Melalui Cara Beragama Mahasiswa FAI UMS” [1] yang dipublikasikan pada hari Sabtu (11/6) di media Islamika Online, saya ternyata tidak menemukan terjemahan sebagaimana yang dijanjikan oleh penulis di judul artikelnya. Yang dilakukan oleh Saudara Rahmat justru memberikan istilah baru: saya tidak menyebut masyarakat tanpa Tuhan, tapi masyarakat eksis dengan nilai ketuhanan (p. 8).

Pemberian istilah baru oleh Saudara Rahmat sebagai penerjemah berangkat dari kesimpulannya setelah membaca buku Masyarakat Tanpa Tuhan karya Phil Zuckerman, yaitu “sangat tidak bersepakat kalau masyarakat tanpa Tuhan itu sepenuhnya meninggalkan nilai-nilai ketuhanan yang sama-sama kita ketahui bahwa Tuhan itu Mahabaik dan mencintai kebaikan” (p. 8). Sayangnya Saudara Rahmat harus menerima kenyataan bahwa masyarakat Denmark dan Swedia sebagai objek penelitian Zuckerman tidak termasuk sebagai yang sama-sama kita ketahui bahwa Tuhan itu Mahabaik dan mencintai kebaikan (p. 8). Buktinya judul buku Zuckerman adalah Masyarakat tanpa Tuhan, bukan Masyarakat dalam naungan cinta Tuhan, atau Masyarakat yang mencintai Tuhan, atau istilah lainnya.

Phil Zuckerman sendiri adalah seorang Profesor di bidang sosiologi dan studi sekuler di Pitzer College, Claremont, California. Selain itu dia juga profesor tetap yang berafiliasi di Claremont Graduate University, dan telah menjadi profesor tamu selama dua tahun di University of Aarhus, Denmark [2].

Buku Masyarakat Tanpa Tuhan yang dibaca oleh Saudara Rahmat merupakan hasil dari penelitian Zuckerman selama 14 bulan (Mei 2005-Juli 2006) di Denmark dan Swedia. Zuckerman melakukan wawancara ke banyak orang di dua negara tersebut dengan memberikan pertanyaan seputar kepercayaan mereka kepada tuhan, kehidupan setelah kematian, dan banyak pertanyaan lainnya [3].

Berbeda dengan Zuckerman, Saudara Rahmat melakukan hal yang berbeda untuk mengetahui pola atau karakter beragama mahasiswa Fakultas Agama Islam (PAI, HES, dan IQT) UM Surakarta. Dari pengamatan sesekali berdiskusi selama 3 tahun berkuliah inilah Saudara Rahmat menemukan tiga kategori keberislaman mahasiswa FAI UMS.

Pertama, kalangan mahasiswa yang berislam dengan lapang dan terbuka. Menurutnya, mahasiswa yang masuk kategori ini mampu menerima dengan santai dan terbuka berbagai perbedaan ekspresi keberagamaan. Mereka adalah kalangan minoritas (p. 5).

Kedua, kalangan mahasiswa yang berislam manut-manut. Mereka adalah jenis mahasiswa yang “ke kiri ‘gas’, ke kanan ‘gas’ dalam artian masih terombang-ambing, dibilang tidak bermazhab tidak juga”. Menurutnya mereka itu berislam dengan sesuka hatinya (p. 6).

Ketiga, kalangan mahasiswa yang mengakui Tuhan tetapi enggan menjalankan ajaran Islam. Mereka hampir tidak berbeda dengan kelompok yang tidak bertuhan. Saudara Rahmat dalam pengalamannya berinteraksi dengan kalangan ini menemukan bahwa mereka bertuhan di waktu-waktu tertentu saja (p. 7).

Selain tiga kategori di atas, sebenarnya terdapat satu lagi kategori ekspresi keberagamaan mahasiswa FAI yang disampaikan oleh Saudara Rahmat. Mereka adalah kalangan mahasiswa yang “saking tidak terbukanya terhadap ragam ekspresi keberagamaan… (mereka, pen.) sedikit-sedikit (menuduh, pen.) kafir, sesat, (mengatakan, pen.) ‘Khilafah Yes, Demokrasi No!’” (p. 5). Ini adalah kategori yang keempat.

Jadi tipologi yang dikemukakan oleh Saudara Rahmat dalam artikelnya ini setidak-tidaknya terdiri dari empat kategori. Tipologi yang dirumuskan oleh Saudara Rahmat sebagai suatu usaha awal dan penuh keterbatasan (ini diakui oleh penulis di akhir artikelnya), patut kita tanggapi secara proporsional. Tentu upaya akademis (?) yang dilakukan oleh Saudara Rahmat dalam membaca realitas ekspresi keberagamaan mahasiswa FAI UMS patut diapresiasi. Selain keuletan dalam melakukan pengamatan dan diskusi dengan para mahasiswa FAI, keberanian untuk mengemukakan gagasan ini patut diacungi jempol.

Untuk itu saya hendak memberikan beberapa catatan mengenai apa yang ia kemukakan.

Catatan pertama:

Saya melihat tipologi yang ditetapkan Saudara Rahmat masih terburu-buru. Ini terlihat pada kategori pertama dan keempat yang menjadikan interaksi (langsung dan tidak langsung) kelompok mahasiswa FAI dengan kelompok mahasiswa FAI maupun non-FAI. Yang menjadi pijakan adalah interaksi mahasiswa FAI dengan orang lain yang memiliki “identitas berbeda”. Sedangkan untuk kategori kedua dan ketiga ia menjadikan praktik ajaran agama Islam secara individual sebagai ukuran. Ada yang mempraktikkan ajaran agama Islam sesuai dengan kemauannya: ikut sana boleh, ikut sini boleh (tipe kedua), ada juga yang meskipun mengakui keberadaan Tuhan, tetapi enggan melaksanakan ajaran-ajarannya (kategori ketiga). Jadi ada kategorisasi berdasarkan interaksi sosial-horisontal (tipe pertama dan keempat) dan personal-vertikal (tipe kedua dan ketiga) dalam ekspresi kebergamaan mahasiswa FAI.

Catatan kedua:

Saudara Rahmat perlu memaklumi “masih sangat jarang diadakan dialog pemikiran bahkan pada skala pemikiran Islam transformatif” di kalangan mahasiswa FAI (p. 5). Sedikitnya diskusi dan dialog “berat” yang diadakan di kalangan mahasiswa FAI tidak menandakan mereka tertutup terhadap perbedaan. Sebagai mahasiswa FAI yang lebih lama hidup di alam FAI daripada Saudara Rahmat, saya beberapa kali mengadakan dan mengikuti diskusi semacam itudan menemukan hanya segelintir mahasiswa FAI yang memiliki minat, mau meluangkan waktu, dan bersemangat dengan kegiatan-kegiatan diskusi dan dialog di luar ruang kuliah. Mereka ada yang memang malas memikirkan yang ‘berat-berat’, ada yang memiliki kesibukan di tempat lain, atau ada juga yang memang tidak tertarik dengan kegiatan-kegiatan serupa. Tentu untuk mengetahui jumlahnya secara pasti perlu dilakukan survei yang lebih serius.

Catatan ketiga:

Tipe ketiga (beriman tapi tidak berislam) yang digunakan oleh Saudara Rahmat sebagai alat ukur untuk menerjemahkan kategori ‘Masyarakat Tanpa Tuhan’ yang dikemukakan oleh Phil Zuckerman tidaklah relevan. Meskipun saya belum membaca buku Masyarakat Tanpa Tuhan, saya menemukan artikel yang ditulis oleh Zuckerman yang membahas hal serupa berjudul, “What is Secularization? The fading influence of religion in society” [4].

Dalam artikel tersebut, Zuckerman memaparkan peningkatan jumlah masyarakat yang menyatakan tidak beragama di beberapa negara, yaitu Inggris, Spanyol, Korea Selatan, Tunisia, dan Amerika Serikat. Mereka mengalami sekularisasi. Menurutnya, sekularisasi adalah proses sejarah dimana agama melemah, berkurang, atau memudar dalam kehidupan masyarakat. Jumlah orang-orang yang mengidentifikasikan dirinya dengan suatu agama, atau kepercayaan terhadap kekuatan supernatural, bahkan perilaku keagamaan semakin berkurang.

Dalam pandangan Zuckerman, sekularisasi adalah suatu kemestian sejarah. Dengan semakin terjaminnya keamanan eksistensial (pekerjaan, perlindungan, makanan, pengobatan, kedamaian, sampai keamanan hidup masyarakat); bertambahnya kualitas pendidikan (semakin banyak yang melek sejarah, kebudayaan, sains, dan berkurangnya kepercayaan terhadap dogma agama); semakin mudah mengakses internet (pertemuan dengan berbagai perspektif mengenai keyakinan mereka, bertambahnya minat terhadap hiburan, perilaku konsumerisme, dan pornografi, serta semakin terhubungnya seseorang dengan orang-orang sekuler lainnya secara daring); semakin banyak wanita karir (semakin mandiri perempuan dalam mendapatkan hak ekonominya, semakin rendah kebutuhannya terhadap agama); dan beberapa faktor lainnya. Tentu perlu riset tersendiri untuk membuktikan relevansi beberapa faktor di atas dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.

Penelitian lain dilakukan oleh Pippa Norris (Harvard University) dan Roland Inglehart (University of Michigan) Amerika Serikat. Sejalan dengan Zuckerman, Norris dan Inglehart mengemukakan bahwa sekularisme berkembang ketika kebutuhan hidup suatu masyarakat di suatu negara telah terpenuhi. Mereka berdua melakukan penelitian mengenai hubungan antara tingkat keterpenuhan kebutuhan ekonomi dengan tingkat religiusitas masyarakat di 74 negara. Mereka menemukan bahwa tingkat religiusitas berbanding terbalik dengan indikator keterpenuhan kebutuhan dasar manusia seperti penghasilan ekonomi, angka harapan hidup, dan akses pendidikan.

Menurut mereka, negara berkembang dengan angka kemiskinan tinggi cenderung memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Ketika kebutuhan dasar masyarakat seperti makanan, rumah hunian, kesehatan, dan pendidikan tidak terpenuhi, maka hal tersebut meningkatkan kondisi ketidakpastian hidup. Kehadiran sosok Tuhan atau Dewa-dewa menjadi penting. Keyakinan terhadap Tuhan dan agama dapat mengurangi penderitaan mereka secara individual maupun kolektif.

Hal yang sebaliknya terjadi di negara maju: masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya tidak memerlukan Tuhan atau Dewa-dewa beserta perangkat agama-agamanya.

Tesis Norris dan Inglehart tentu masih bisa diperdebatkan karena tidak dapat diterapkan pada Uni Emirat Arab dan Brunei Darussalam yang masih menjadikan agama memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya [5].

Faktor utama yang digunakan oleh ketiga peneliti di atas sangat berbeda dengan variabel yang ditetapkan Saudara Rahmat dalam menimbang perbuatan dan tingkah laku mahasiswa FAI pada kategori ketiga. Mereka yang “hampir berikrar tidak bertuhan itu” ternyata suka membolos kelas dan tidak serius mengerjakan tugas kuliah (p. 8). Yang seharusnya dilakukan oleh Saudara Rahmat bukanlah mengamati dan berdiskusi dengan mahasiswa FAI saja, melainkan melakukan riset terhadap keterpenuhan kebutuhan hidup masing-masing mahasiswa FAI yang masuk ke dalam proses kategorisasi. Hal ini harus dilakukan jika ingin menerjemahkan ‘Masyarakat Tanpa Tuhan’ yang sekuler ke dalam masyarakat yang bertuhan di FAI UMS. Data yang akan ditemukan akan sangat bermanfaat untuk memperkaya temuan Saudara.

Catatan keempat:

Catatan terakhir yang ingin saya berikan adalah penerjemahan dan kesimpulan Saudara Rahmat. Apa yang ia sebut sebagai “masyarakat eksis dengan nilai ketuhanan” setelah menolak istilah “masyarakat tanpa Tuhan” (p. 8) tidak perlu dilakukan.

Yang menjadi tesis Zuckerman, Norris dan Inglehart adalah berkurangnya pengakuan terhadap keberadaan dan kebermaknaan Tuhan dalam suatu masyarakat. Mereka melihat perkembangan masyarakat dari kacamata sekuler.

Berbeda jika kita melihat dengan kacamata Islam. Menurut M. Natsir, Tuhan adalah ajaran agama Islam ialah pencipta, pemelihara, dan pengasuh alam semesta yang tidak pernah lalai. Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu yang ada dalam kehidupan yang tidak mungkin dimulai dan berlangsung tanpa keberkahan dan anugerah dari-Nya [6]. Semua yang terjadi atas diri seluruh manusia adalah dari Tuhan semata dan kita tidak bisa berlepas diri dari kehendak, ketentuan, dan hukum-hukum-Nya. Karena Tuhanlah yang berkuasa atas manusia dan seluruh makhluk ciptaannya [7].

Maka dari itu, ada atau tidak adanya manusia, mereka mengakui atau tidak, Tuhan akan tetap ada dan nilai-nilai ketuhanan akan selalu ada dalam kehidupan mereka. Sehingga wajar saja jika ada kelompok masyarakat yang tidak mengakui keberadaan dan kebermaknaan Tuhan yang disebut sebagai masyarakat sekuler. Dan ada juga masyarakat yang mengakui keberadaan dan kebermaknaan Tuhan yang disebut sebagai masyarakat yang beriman. Ini menjadikan istilah yang ditawarkan Saudara Rahmat dalam konteks ini tidaklah pada tempatnya.

Sebagai penutup, saya berharap beberapa catatan ini dapat diposisikan secara proporsional oleh Saudara Rahmat dan para pembaca yang budiman sekalian. Catatan tambahan semoga dapat menjadi satu upaya untuk menghidupkan nuansa diskusi dan dialog dalam iklim akademik di kalangan mahasiswa FAI UMS.

Wallahu a’lam.

Referensi:

[1] Rahmat Balaroa, 2022, “Menerjemahkan ‘Masyarakat Tanpa Tuhan’ Melalui Cara Beragama Mahasiswa FAI UMS”, dalam Islamika-Online, http://islamikaonline.com/menerjemahkan-masyarakat-tanpa-tuhan-melalui-cara-beragama-mahasiswa-fai-ums/. Diakses pada Jumat, 10 Juni 2022.

[2] Bio Phil Zuckerman, https://philzuckerman.com/bio/. Diakses pada hari Jumat, 10 Juni 2022.

[3] Sabara Nuruddin, “Masyarakat Tanpa Tuhan (versi Indonesia)”, dalam BLA Makassar Kementrian Agama RI, https://blamakassar.kemenag.go.id/resensi/masyarakat-tanpa-tuhan-versi-indonesia. Diakses pada hari Jumat, 10 Juni 2022.

[4] Phil Zuckerman, 2020, “What is Secularization? The fading influence of religion in society” dalam Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/intl/blog/the-secular-life/202012/what-is-secularization. Diakses pada Rabu, 15 Juni 2022.

[5] Joevarian Hudiyana, 2020, “Benarkah sekularisme berkaitan dengan kemajuan berpikir suatu masyarakat? Belum tentu”, dalam The Conversation Indonesia, https://theconversation.com/benarkah-sekularisme-berkaitan-dengan-kemajuan-berpikir-suatu-masyarakat-belum-tentu-150734. Diakses pada Jumat, 10 Juni 2022.

[6] M. Natsir, Marilah Shalat, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1960), hlm. 18.

[7] Ibid, hlm. 36.

Moch. Ferdi Al Qadri

Pegiat SEED Institute, Mahasiswa PAI UMS

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *