ARTIKEL

Peran Agama terhadap Quarter Life of Crisis pada Mahasiswa

Kesehatan mental adalah suatu kondisi ketika kepribadian, emosional, intelektual, dan fisik seseorang tersebut dapat berfungsi secara optimal, dapat beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan dan stresor, menjalankan kapasitasnya selaras dengan lingkungannya, menguasai lingkungan, merasa nyaman dengan diri sendiri, menemukan penyesuaian diri yang baik terhadap tuntutan sosial dalam budayanya, terus menerus bertumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya, dapat menerima kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya.

Menurut Bastaman (2001), tolak ukur kesehatan mental di antaranya adalah bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan, mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan, mampu mengembangkan potensi pribadi yang baik dan mampu bermanfat bagi diri sendiri dan lingkungan, serta beriman dan bertakwa pada Tuhan dan berupaya menerapkan tuntutan agama dalam kehidupan sehari-hari.

Kesehatan mental sendiri dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor biologis dan psikologis. Faktor biologis yang memengaruhi kesehatan mental di antaranya adalah otak, sistem endoktrin, genetika, sensori, dan kondisi ibu saat mengandung. Sedangkan faktor psikologinya adalah pengalaman awal, proses pembelajaran, dan kebutuhan (Muhyani, 2012). Sedangkan faktor eksternal menururt Johnson dalam Videbeeck tahun 2008, menyatakan bahwa kesehatan mental dipengaruhi oleh otonomi dan kemandirian, memaksimalkan potensi, menoleransi ketidakpastian hidup, harga diri, menguasai lingkungan, orientasi realitas, dan manajemen stres. Pendapat lain juga menjelaskan beberapa faktor eksternal yang bisa memengaruhi kesehatan mental, di antaranya adalah stratifikasi sosial, interaksi sosial, keluarga, dan sekolah.

Banyak masyarakat yang memiliki kondisi ketidakstabilan mental salah satunya adalah  Quarter Life of Crisis. Kondisi tersebut dapat terjadi pada siapa pun, tak terkecuali pada mahasiswa. Quarter Life of Crisis merupakan suatu kondisi saat seseorang mengalami kecemasan dan ketakutan akan sesuatu hal yang belum terjadi. Menurut Wood (2018), seseorang akan mengalami masa emerging adulthood yakni masa ketika seseorang akan mengeksplorasi diri dan lingkungannya. Masa ini seseorang akan disuguhkan banyak pilihan hidup sehingga banyak dari mereka yang sulit menentukan bagaimana mereka akan hidup nantinya. Merasa banyak pilihan hingga sulit untuk memutuskan mana pilihan yang tepat dan akhirnya mendorong seseorang menimbulkan rasa stres.

Entering adulthood ini memiliki 2 jenis kondisi. Pertama, seseorang dengan rasa santai dalam mengeksplorasi diri karena sudah merasa memiliki passion dan bakat yang sesuai. Kedua, seseorang akan bingung terhadap passion dan bakat yang mereka miliki sehingga memicu kecemasan sampai perasaan hampa. Jika mengalami di kondisi yang kedua ini, seseorang sedang mengalami Quarter Life of Crisis. Menurut Robbins dan Wilner, Quarter Life of Crisis merupakan perasaan khawatir mengenai ketidakpastian hidup yang mencakup karier, pertemanan, keluarga, hingga kehidupan percintaan yang biasanya terjadi pada usia 20-an tahun. Salah satu kelompok yang bisa terkena Quarter Life of Crisis ini adalah mahasiswa. Tak banyak dari mereka yang masih bingung mengenai output dari studi kuliah yang mereka jalani. Mereka menganggap kondisi seperti ini karena mereka salah jurusan. Padahal menurut penelitian, banyak mahasiswa yang berkuliah tidak sesuai passion mereka. Banyak keluhan dari mahasiswa akan kehidupan mereka selepas kuliah, seperti bingung akan mencari kerja seperti apa, tidak percaya diri dengan kemampuan dan passion mereka, bahkan tak jarang yang mengatakan bahwa ingin menikah saja.

Ciri-ciri seseorang mengalami Quarter Life of Crisis di antaranya adalah merasa tidak tahu mengenai keinginan dan tujuan hidup, pencapaian pada usia 20-an tahun tidak sesuai harapan, merasa takut gagal, tidak merelakan masa kecil dan remaja berakhir, takut tidak bisa mengambil keputusan yang tepat, dan suka membanding-bandingkan diri. Namun, dengan segala ciri tersebut, kondisi Quarter Life of Crisis ini merupakan hal yang wajar terjadi di usia transisi. Dengan rasa cemas, seseorang akan menyiapkan segala sesuatunya dengan lebih baik lagi. Krisis yang sering dialami oleh mahasiswa disebabkan oleh berbagai tuntutan hidup yang dihadapi. Penyebab umumnya biasanya dari orang tua terhadap langkah apa yang akan diambil di masa mendatang dan tentunya masalah akademik. Indonesia merupakan negara yang kolektivistik yakni adanya penilaian dan tanggapan dari lingkungan adalah hal yang dianggap penting bahkan dapat memengaruhi bagaimana individu berperilaku.

Krisis emosional yang dialami mahasiswa dalam jangka panjang dapat menyebabkan problem terhadap kehidupan, yakni bisa stres hingga depresi. Permasalahan Quarter Life of Crisis dapat ditangani dengan religiusitas. Religiusitas merupakan suatu bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan. Berupa, adanya konsekuensi atas segala tindakan yang dilakukan manusia jika melanggar aturan Tuhan. Kebahagiaan, emosi positif, puas akan kehidupan dan moral yang lebih baik dapat diperoleh dengan meningkatkan keyakinan dan praktik di dalam beragama. Dengan meningkatkan praktik keagamaan di kalangan mahasiswa atau pemuda dapat menurunkan gejala depresi dan harga diri yang lebih baik lagi. Seseorang dengan religiusitas yang tinggi dianggap mampu untuk mengendalikan kebimbangan atau tekanan atas sesuatu yang terjadi yang tidak dapat dikendalikan.

Dalam QS. Al-Baqarah ayat 214 dijelaskan bahwa manusia harus merasakan kecewa dan sakit untuk semangat dalam menggapai masa depan, sehingga tidak salah jika kita sebagai manusia mengalami rasa bimbang dan tertekan dengan kehidupan kita. Hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah Quarter Life of Crisis ini adalah kita harus dekat dengan Al-Quran. Al-Quran merupakan pegangan utama bagi umat muslim karena di dalamnya terdapat petunjuk dari Allah SWT yang tidak diragukan lagi isinya. Allah SWT telah berfirman bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Selanjutnya, kita harus bisa mencintai diri sendiri. Jangan membandingkan diri dengan orang lain dan jadilah diri sendiri serta evaluasilah diri sendiri. Berpikirlah bahwa kamu mampu dan hebat serta galilah ilmu sebanyak mungkin. Ketiga adalah temukan orang tepat yang bisa mendukung dirimu. Dengan mencari orang yang tepat dapat memudahkan kita untuk menggapai mimpi kita dan berusahalah untuk mengoptimalkan segala kegiatan. Caranya, menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat, kita akan mendapatkan banyak hal baru dan dapat memunculkan bakat kita dengan sendirinya. Dengan banyak kegiatan, diri kita akan mendapat inspirasi sehingga mampu memiliki rencana dan tidak ragu dalam bertindak serta mengambil keputusan.

Risma Wardani

Penulis

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *