Bumerang Narkotika Cinta
“Hai, Zah.. Gimana hari ini?” tanya seorang laki-laki pujaan hati Izah. Mereka bersahabat sejak di bangku menengah atas. Sekarang mereka terpisahkan oleh jarak. Izah di Jogja, Irsyad di Malang. Tak banyak berubah, masih sering bertegur sapa seolah jarak bukanlah penghalang bagi persahabatan mereka.
“Baik. Ada masalah dikit di kantor, gara-gara ngantuk pas jam kerja, haha. Kamu gimana?” Izah dan Irsyad sering bertukar kabar, berbagi cerita, juga saling menguatkan. Kehadiran Irsyad bagaikan nikotin bagi Izah. Pundak yang berat usai menjalani hari berat menjadi ringan bila Irsyad hadir menjadi pendengar. . Irsyad pendengar yang baik. Kalimat-kalimat manis dari Irsyad bagai dopamin bagi Izah. Apa pun bentuk kalimatnya, Izah akan selalu senang mendengarnya. Segala yang dilakukan Irsyad selalu berhasil menyentuh hati Izah yang lembut. Obrolan apapun menjadi indah bila dibahas bersama Irsyad. Pesan sejak SMA pun juga tak bosan Izah baca berulang kali. Izah kecanduan Irsyad.
“Zah, di mana? Ketemu, yuk! Ada yang mau aku obrolin.”
“Kamu di Jogja?” tanya Izah.
“Iya, aku pulang ke Jogja. Ada urusan di sini.” Jogja adalah kampung halaman mereka berdua. Kota yang mempertemukan mereka sembilan tahun silam. Mereka memang dekat, tapi tak pernah berbincang secara nyata. Izah terdiam beberapa saat. Bingung harus menanggapi apa. Tentu saja Izah rindu pada Irsyad. Perasaan itu tak bisa ia bantah. Ingin sekali bertemu dengan Irsyad, tapi Izah ragu. Izah percaya Irsyad laki-laki baik. Izah khawatir akan datang ajakan yang sama dari Irsyad ataupun laki-laki lain di kemudian hari. Sebab sejauh ini memang Izah tidak pernah diajak bertemu oleh laki-laki mana pun selain keperluan penting. Izah tidak siap menanggung akibatnya. Saat itu kebetulan Izah sedang menunggu Uminya pulang dari luar kota. Ia gunakan kondisi ini sebagai alasan untuk menolak.
Izah tak pernah tahu bagaimana kisah percintaan Irsyad. Bagitupun irsyad, ia tak pernah tau kisah percintaan Izah. Bagi mereka berdua, perihal cinta adalah rahasia antara manusia dengan Sang Pemilik Hati.
“Lewat chat aja gimana, Syad? Kebetulan Izah nunggu Umi pulang dari Bandung.” tawar Izah.
“Sebenernya topik obrolannya lebih enak dibahas langsung. Tapi ngga masalah juga kalau di chat. Aku mau tanya tentang seseorang, Zah.” Pesan foto terkirim ke Izah disertai pesan username Instagram yang Izah kenali. “Kamu kenal dia, Zah?” Tanpa perlu berlama-lama menggali memori ingatannya, Izah langsung mengenali perempuan dalam foto tersebut. Ia Fitria, teman halaqah Izah di kampusnya. “Boleh kasih deskripsi tentang Fitria, Zah? Dua pekan lalu, aku sama Fitria saling tukar CV. InsyaaAllah pekan ini kita nadzar. Aku butuh informasi valid tentang Fitria sebelum nadzar.” Izah tercekat. Sekujur tubuhnya bergetar. Hatinya sesak. Narkotikanya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Izah hancur. Perasaan yang ia pendam selama sembilan tahun ternyata bertepuk sebelah tangan. Ia tak sanggup membalas pesan Irsyad. Saat itu juga ia bersyukur menolak bertemu Irsyad. Izah kehilangan kendali atas dirinya. Ia menangis sejadi-jadinya. Tangisannya keras hingga terdengar oleh uminya yang baru pulang. Dalam peluk, Umi Izah menenangkan, “Nak, Umi ndak tahu apa yang dialami Izah. Umi ndak tahu apa yang bikin Izah sehancur ini. Tapi percayalah, nak. Selalu ada hikmah dibalik segala takdir Allah. Selesaikan tangismu dan temui Sang Pemilik Hati lewat sujudmu.”
Di atas sajadahnya, Izah menunaikan sholat 2 rakaat, bertemu Rabbnya. Ia kembali menumpahkan air matanya. Bercerita, berkeluh-kesah kepada penciptanya. Sujudnya lama, sajadah dan mukenanya menjadi saksi hancurnya Izah hari itu. Usai menemui Rabbnya, ia temui Uminya. Umi adalah pendengar terbaik setelah Allah. Umi berkata dengan tenang, “Nak, tidak ada yang salah dengan jatuh cinta. Kamu pun pasti tahu, perihal jodoh itu rahasia Allah. Perihal siapa yang hati pilih, itu juga tak luput dari campur tangan Allah. Umi dan Izah sama-sama nggak tahu, ini ujian atau anugerah. Tapi yang pasti, takdir Allah selalu indah. Se-pelik apa pun kehidupan, itu adalah bagian dari hidup yang harus dilewati dengan baik. Semoga Allah kuatkan hatimu, Nak. Semoga Izah mampu mengambil hikmah dari semua ini.” Izah menangis haru. Hari itu, tidak hanya cintanya pada Allah yang bertambah, melainkan juga cintanya kepada sosok bidadari tak bersayap yang ia peluk. Allah selalu punya caranya sendiri untuk mencuri hati hambaNya.
Perihal hati memang perlu hati-hati. Sejak hari itu, Izah belajar untuk menjaga hatinya dan belajar mencintai Allah lebih dalam. Ia tak berhenti berdoa agar dijodohkan dengan seseorang yang mencintai Allah. Sebab ia berharap, bertemunya ia dengan lelakinya adalah jalan mereka untuk semakin cinta, taat, dan bertakwa kepada Allah.
Nawala Akasa
Penulis