Hikmah Muta’aliyah: Sintesis Antara Akal, Wahyu, dan Mistisisme
Mulla Shadra, seorang filsuf terkemuka dalam tradisi filsafat Islam yang dikenal sebagai salah satu tokoh yang berhasil menggabungkan berbagai aliran pemikiran dalam Islam, termasuk filsafat paripatetik, iluminasi, kalam, dan tasawuf. Pemikirannya yang paling terkenal adalah konsep Hikmah Muta’aliyah, yang merupakan sintesis antara pengetahuan intelektual, intuisi spiritual, dan hukum syariat. Artikel ini akan membahas secara mendalam pemikiran filosofi Mulla Shadra, khususnya konsep Hikmah Muta’aliyah, serta bagaimana ia berhasil menciptakan aliran filsafat baru yang menggabungkan elemen-elemen dari berbagai tradisi pemikiran Islam. Selain itu, artikel ini juga akan membahas konsep-konsep kunci dalam filsafat Mulla Shadra, seperti wujud (eksistensi), gradasi eksistensi, dan gerak substansial.
Peradaban Islam pernah mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan antara abad ke-7 hingga abad ke-15. Pada masa itu, dunia Islam menjadi pusat pembelajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk filsafat, sains, dan teologi. Namun, setelah masa keemasan tersebut, terjadi kemunduran dalam tradisi intelektual Islam, terutama karena tertutupnya pintu ijtihad dan dominasi pemikiran dogmatis yang cenderung menolak pemikiran filosofis. Dalam konteks ini, Mulla Shadra (1571-1640) muncul sebagai salah satu tokoh yang berusaha menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam melalui sintesis antara akal, wahyu, dan pengalaman mistis.
Mulla Shadra, yang nama lengkapnya adalah Sadr al-Din al-Shirazi, adalah seorang filsuf, teolog, dan mistikus Persia yang hidup pada abad ke-17. Ia dikenal sebagai pendiri aliran filsafat Hikmah Muta’aliyah, yang menggabungkan elemen-elemen dari filsafat paripatetik (Aristotelian), iluminasi (pencerahan spiritual), kalam (teologi), dan tasawuf (sufisme). Melalui sintesis ini, Mulla Shadra berhasil menciptakan sistem filsafat yang tidak hanya mendalam secara intelektual, tetapi juga kaya secara spiritual.
Paradigma Filsafat Mulla Shadra
Mulla Shadra mengembangkan sebuah sistem filsafat yang disebut Hikmah Muta’aliyah, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “kebijaksanaan yang tertinggi” atau “kebijaksanaan yang melampaui.” Konsep ini merupakan sintesis dari berbagai aliran pemikiran dalam Islam, termasuk:
1. Filsafat Paripatetik: Aliran ini dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles dan dikembangkan oleh filsuf-filsuf Islam seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Filsafat paripatetik menekankan pada penggunaan logika dan penalaran rasional untuk memahami realitas.
2. Filsafat Iluminasi (Isyraqi): Aliran ini didirikan oleh Suhrawardi, yang menekankan pentingnya pencerahan spiritual dan intuisi dalam mencapai kebenaran. Filsafat iluminasi menggabungkan elemen-elemen dari filsafat dan tasawuf.
3. Kalam (Teologi Islam): Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas masalah-masalah teologis dalam Islam, seperti sifat Tuhan, takdir, dan hubungan antara Tuhan dan manusia.
4. Tasawuf (Sufisme): Tasawuf adalah tradisi mistisisme dalam Islam yang menekankan pada pengalaman spiritual langsung dengan Tuhan.
Mulla Shadra berhasil menggabungkan keempat aliran ini menjadi sebuah sistem filsafat yang koheren dan komprehensif. Menurutnya, filsafat bukan hanya sekadar penalaran rasional, tetapi juga melibatkan perjalanan spiritual menuju kebenaran tertinggi (Tuhan). Dalam pandangannya, perjalanan spiritual ini terdiri dari empat tahap:
1. Perjalanan dari Makhluk Menuju Tuhan (Sayr min al-Khalq ila al-Haq): Pada tahap ini, seorang sufi atau pengembara spiritual meninggalkan alam fisik dan metafisika untuk bertemu dengan Tuhan tanpa batas. Ini adalah tahap di mana seseorang melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan fokus pada pencarian kebenaran ilahi.
2. Perjalanan bersama Tuhan (Sayr bi al-Haq fi al-Haq): Setelah dekat dengan Tuhan, pengembara spiritual melakukan perjalanan dalam sifat-sifat dan kesempurnaan-Nya. Pada tahap ini, seseorang mengalami penyatuan dengan sifat-sifat Tuhan, seperti kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayang.
3. Perjalanan dari Tuhan Menuju Makhluk (Sayr min al-Haq ila al-Khalq bi al-Haq): Pengembara spiritual kembali ke masyarakat, tetapi tetap menyaksikan keberadaan Tuhan dalam segala sesuatu. Ini adalah tahap di mana seseorang kembali ke dunia nyata dengan membawa kebijaksanaan dan pencerahan yang diperoleh dari pengalaman spiritual.
4. Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan (Sayr fi al-Khalq bi al-Haq): Pada tahap terakhir, pengembara spiritual membimbing masyarakat menuju kebenaran Tuhan. Ini adalah tahap di mana seseorang menjadi pembimbing spiritual bagi orang lain, membantu mereka mencapai pencerahan dan kesadaran akan keberadaan Tuhan.
Pemikiran tentang Hikmah Muta’aliyah
Hikmah Muta’aliyah adalah konsep sentral dalam filsafat Mulla Shadra. Secara harfiah, Hikmah berarti “kebijaksanaan,” sedangkan Muta’aliyah berarti “yang tertinggi” atau “yang melampaui.” Dengan demikian, Hikmah Muta’aliyah dapat diartikan sebagai “kebijaksanaan yang tertinggi” atau “kebijaksanaan yang melampaui.” Konsep ini menekankan pentingnya integrasi antara pengetahuan intelektual, intuisi spiritual, dan hukum syariat.
Menurut Mulla Shadra, kebijaksanaan ini tidak bertentangan dengan syariat, melainkan justru memperkuat pemahaman tentang Tuhan dan realitas. Ia berargumen bahwa akal dan wahyu adalah dua sisi dari mata uang yang sama, keduanya bertujuan untuk mencapai makrifat (pengetahuan tentang Tuhan). Dalam pandangannya, wahyu (yang berasal dari Tuhan) dan akal (yang diberikan kepada manusia) tidak mungkin bertentangan, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan.
Mulla Shadra juga menekankan pentingnya pengalaman spiritual dalam mencapai kebijaksanaan. Menurutnya, pengetahuan intelektual saja tidak cukup untuk memahami realitas tertinggi. Pengalaman spiritual, seperti kasyf (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian), adalah bagian integral dari proses pencarian kebenaran. Namun, pengalaman spiritual ini harus didukung oleh argumen rasional dan sesuai dengan syariat.
Konsep Wujud (Eksistensi)
Salah satu konsep paling penting dalam filsafat Mulla Shadra adalah konsep wujud (eksistensi). Menurutnya, wujud adalah realitas hakiki yang mendasari segala sesuatu. Wujud adalah esensi dari segala yang ada, sedangkan kuiditas (esensi) hanyalah batasan dari wujud. Dalam pandangan Mulla Shadra, wujud adalah sesuatu yang nyata dan konkret, sedangkan kuiditas adalah gambaran mental yang kita miliki tentang sesuatu.
Mulla Shadra membedakan antara wujud dan kuiditas dengan menjelaskan bahwa wujud adalah realitas objektif di luar pikiran, sedangkan kuiditas adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Dengan kata lain, wujud adalah sesuatu yang benar-benar ada, sedangkan kuiditas adalah cara kita memahami atau menggambarkan wujud tersebut.
Gradasi Eksistensi (Tasykik al-Wujud)
Konsep lain yang penting dalam filsafat Mulla Shadra adalah gradasi eksistensi (tasykik al-wujud). Menurutnya, alam semesta memiliki gradasi eksistensi, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi, yaitu Tuhan. Konsep ini berbeda dengan konsep wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi) yang diajukan oleh Ibnu Arabi. Menurut Mulla Shadra, meskipun segala sesuatu memiliki eksistensi, eksistensi tersebut memiliki tingkat yang berbeda-beda.
Mulla Shadra mengumpamakan gradasi eksistensi ini seperti cahaya matahari. Cahaya matahari memiliki intensitas yang berbeda-beda, mulai dari yang paling terang hingga yang paling redup. Namun, semua cahaya tersebut berasal dari sumber yang sama, yaitu matahari. Demikian pula, segala sesuatu di alam semesta memiliki eksistensi, tetapi eksistensi tersebut memiliki gradasi yang berbeda-beda, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi, yaitu Tuhan.
Gerak Substansial
Konsep gerak substansial adalah salah satu kontribusi penting Mulla Shadra dalam filsafat. Menurutnya, segala sesuatu di alam semesta mengalami perubahan dan gerakan yang terus-menerus, termasuk substansi. Gerak ini tidak hanya terjadi pada level fisik, tetapi juga pada level spiritual, di mana setiap entitas bergerak menuju kesempurnaan eksistensinya.
Mulla Shadra menjelaskan bahwa gerak substansial ini menyebabkan perubahan pada aksiden (sifat-sifat) suatu substansi. Sebagai contoh, buah pisang mengalami perubahan warna dari hijau muda menjadi kuning saat matang. Perubahan ini bukan hanya perubahan fisik, tetapi juga mencerminkan perubahan substansial dalam buah tersebut.
Gerak substansial ini akhirnya bermuara pada kesatuan dengan sifat-sifat Tuhan. Menurut Mulla Shadra, segala sesuatu di alam semesta bergerak menuju kesempurnaan eksistensinya, dan kesempurnaan tertinggi adalah penyatuan dengan Tuhan.
Kesimpulan
Pemikiran filosofi Mulla Shadra, khususnya Hikmah Muta’aliyah, menawarkan sintesis unik antara akal, wahyu, dan pengalaman mistis. Melalui pendekatan ini, Mulla Shadra berhasil menciptakan aliran filsafat baru yang menggabungkan elemen-elemen dari filsafat paripatetik, iluminasi, kalam, dan tasawuf. Konsep-konsep seperti wujud, gradasi eksistensi, dan gerak substansial menjadi landasan penting dalam pemikiran filosofisnya. Dengan demikian, Mulla Shadra tidak hanya menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan filsafat secara umum.
Penulis: Fauzan Addinul Jihad
Editor: Aryanti Artikasari