OPINI

Tongkrongan, Tempat Bersosial Paling Menyebalkan

Rasa-rasanya semakin hari bermasyarakat semakin tidak menyenangkan. Terlebih perihal berinteraksi secara langsung dalam satu ruang atau tempat nongkrong yang sama.

Tentu bukan tanpa sebab, masifnya media hiburan serta kemudahan akses berteman dengan siapa saja atau sekedar mengikuti idola yang diminati membuat tempat tongkrongan menjadi tempat yang paling membosankan, tak terkecuali tongkrongan di lingkup kampus.

Tak hanya itu, kecenderungan mengikuti tren atau sekedar keisengan meniru apa yang sedang viral juga turut memperkeruh keadaan karena menjadikan pelakunya bertingkah seenak jidat dengan dalih bercanda.

Di sisi lain, juga terdapat hal yang membuat penulis sadar bahwa bersosial memang suatu hal yang membosankan dan menyebal.

No Game No Life

Loe main game, loe teman gue. Mungkin itu hal paling cocok untuk menggambarkan kondisi dewasa ini. Pasalnya undangan berkerumun pasca pandemi paling sering ditujukan untuk satu tujuan.

Ya, undangan Mabar – Main Bareng. Terlebih di lingkungan kampus ini, hampir di seluruh sudut tempat yang bisa untuk berkumpul pasti terdapat orang yang sedang Mabar tak terkecuali sudut masjid.

Tentu suatu hal yang disayangkan mengingat tak semua orang bermain game apalagi game yang sama. Terlebih mereka yang tak bermain game kehadirannya hanya sebatas angin lalu yang tak ada gunanya.

Termarginalkah dan seolah dikucilkan. Tak hanya itu, komunikasi yang terjalin pun kurang sehat sebab hanya peduli pada golongannya yang sibuk mengatur strategi menyerang, bertahan dan dibumbui kata-kata mutiara ketika timnya kalah atau bermain troll.

Pada akhirnya, mau tak mau mereka yang tak bermain game entah dengan apa pun alasannya harus tersingkirkan dari tongkrongan tersebut.

Bukan karena mereka tak bisa berkomunikasi dengan baik atau karena tak bisa menyesuaikan dengan topik yang sedang hangat untuk diobrolkan, melainkan hanya karena beda atau tidak bermain game.

Mengalihkan pembicaraan

Pembaca tentu menyadari bahwa bercerita merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi sebagian orang.

Terlebih jika apa yang dibicarakan pernah dialami oleh pelaku yang berbicara sehingga kemauannya berapi-api untuk mengabarkan pada lawan bicaranya.

Seolah semua harus tahu kabar besar yang telah menimpanya tersebut atau harus tahu apa yang dia ketahui tentang suatu pengetahuan tertentu.

Padahal tidak semua orang mau mendengar dan tidak semua orang tertarik dengan apa yang akan diceritakannya tersebut.

Terlepas dari itu terdapat hal yang secara tak sadar membuat mereka yang sedang berbicara tersebut merasa tersinggung dan seolah tidak dihargai keberadaannya.

Entah karena sikap dan gerak-gerik dari lawan bicara atau bisa juga karena ada yang mengalihkan pembicaraan dengan topik yang lain.

Yang paling parah dari sebagaimana telah disebutkan di atas ialah dengan sengaja memotong atau mengalihkan lawan bicara dengan obrolan lain.

Sehingga menjadi teralihkan dan proses bercerita pun terhenti karena ada topik baru yang dimunculkan. Dan dari sekilas pengamatan penulis hal ini yang paling sering terjadi di tongkrongan.

Toxic Simbol Keakraban

Sebagaimana telah disinggung di awal, masifnya media hiburan dan mudahnya akses jejaring sosial media secara tidak langsung menggeser perilaku manusia dalam bermasyarakat.

Orang-orang cenderung meniru apa yang mereka lihat, mempraktikkan apa yang sedang viral dan seterusnya.

Misalnya fenomena slip back atau berjalan seolah melayang, atau melafalkan kalimat-kalimat unik, gaul dan kekinian yang narasinya bernada umpatan, atau mungkin prank ala-ala idolanya adalah beberapa hal yang paling banyak diamati dan ditiru olah kaula muda pada umumnya.

Dan entah mengapa, hal-hal yang demikian lebih mudah dipahami dan dipraktikkan ketimbang materi dalam kelas.

Selain itu tak sedikit dari mereka yang menyematkan kata umpatan dan candaan tersebut sebagai bagian dari cara untuk mengakrabkan diri dengan yang lain.

Sehingga dapat diamati dari cara bicara atau perilaku satu dengan yang lain, semakin banyak umpatan dan kejahilan yang keluar semakin menunjukkan bahwa pertemanan keduanya sudah sangat lama dan akrab, kurang lebih begitu.

Sebenarnya masih banyak hal lain yang membuat tempat tongkrongan menjadi tempat yang menyebalkan untuk bermasyarakat, akan tetapi mau tak mau memang harus beradaptasi dengannya.

Meskipun demikian, penulis sangat bersyukur dengan banyaknya fenomena yang ada di lapangan, sebab dari hal tersebutlah timbul kesadaran untuk membaca keadaan sosial dan semakin menyadarkan betapa kesalehan dalam bersosial itu penting adanya.

Meski pun kebanyakan orang menganggap sesuatu yang buruk itu sebagai hal yang lumrah dan wajar, akan tetapi hal tersebut tidak menjadikan apa yang buruk menjadi baik. Karena kebaikan tetaplah kebaikan meskipun banyak yang menolaknya, dan begitu pun sebaliknya. Wallahu a’lam bishawab.

Penulis : Budi Raharjo

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *