Soft Power dalam Al-Qur’an: Diplomasi Lembut ala QS. Ali Imran Ayat 159
Dalam diskursus politik kontemporer, istilah soft power kerap menjadi topik strategis dalam menjelaskan bagaimana negara atau aktor politik memengaruhi pihak lain tanpa menggunakan kekuatan koersif. Joseph Nye, yang mencetuskan istilah ini, mengidentifikasi bahwa kekuatan lunak berasal dari daya tarik budaya, nilai, dan kebijakan moral yang dimiliki suatu entitas.
Namun, konsep semacam ini sesungguhnya telah lama tertanam dalam ajaran Islam, bahkan termaktub dalam Al-Qur’an. Salah satu ayat yang memuat prinsip-prinsip soft power secara sangat kuat adalah QS. Ali Imran ayat 159. Ayat ini menggambarkan bagaimana Nabi Muhammad ﷺ mempraktikkan kepemimpinan berbasis kasih sayang, pemaafan, dan partisipasi. Semua pendekatan tersebut merepresentasikan bentuk paling otentik dari diplomasi lembut dalam kerangka spiritual Islam.
Strategi Diplomasi Nabi dalam Krisis: Refleksi QS. Ali Imran Ayat 159
Ketika umat Islam mengalami kekalahan pahit dalam Perang Uhud, suasana yang meliputi kaum Muslimin saat itu penuh dengan kekecewaan, rasa bersalah, dan luka fisik maupun batin. Kesalahan fatal yang dilakukan oleh sebagian pasukan pemanah yang meninggalkan pos mereka demi harta rampasan perang mengakibatkan celah besar dalam strategi, hingga pasukan Quraisy mampu melakukan serangan balik yang mematikan.
Dalam situasi penuh tekanan itu, respons Nabi Muhammad ﷺ menjadi sangat menarik dan sarat pelajaran. Alih-alih bersikap keras, beliau menunjukkan kelembutan dan kearifan luar biasa. QS. Ali Imran ayat 159 menggambarkan bagaimana kelembutan hati Nabi merupakan bagian dari rahmat Allah: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” Ayat ini tidak hanya menunjukkan sisi spiritual Nabi ﷺ, tetapi juga mengungkapkan strategi sosial dan politik yang sangat matang.
Nabi Muhammad ﷺ tidak memilih jalan konfrontatif. Beliau tidak memarahi apalagi mengusir para sahabat yang bersalah. Sebaliknya, beliau memaafkan mereka, memohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka, dan yang paling strategis tetap mengajak mereka bermusyawarah dalam perkara penting setelah itu. Ini adalah bentuk rekonsiliasi psikologis yang halus, namun sangat dalam dampaknya. Dalam hal ini, Rasulullah tidak hanya bertindak sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai penyembuh luka kolektif umatnya.
Pendekatan Rasulullah mencerminkan nilai-nilai kepemimpinan yang sangat relevan dalam dunia modern: empati, pemberdayaan, dan inklusivitas. Musyawarah, dalam konteks tersebut, bukan sekadar alat pengambilan keputusan, tetapi juga menjadi sarana membangun kembali kepercayaan diri para sahabat yang baru saja terpuruk secara moral dan emosional. Seperti dijelaskan oleh Al-Ghazali, musyawarah memiliki kekuatan untuk menumbuhkan kebijaksanaan kolektif dan mempererat persaudaraan dalam komunitas (Al-Ghazali, 2008, Ihya Ulumuddin, hlm. 116).
Model kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad ﷺ di sini dapat dikategorikan sebagai bentuk diplomasi krisis. Ia menggunakan pendekatan yang memadukan kelembutan hati dengan ketegasan visi. Sikap beliau yang tidak menyalahkan secara terbuka tetapi justru menguatkan, menciptakan atmosfer yang kondusif bagi pemulihan mental umat. Strategi ini sangat efektif, karena menghindari fragmentasi internal yang bisa saja memperparah kekalahan militer dengan kekalahan moral.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan, bahwa ayat ini mengandung pelajaran besar dalam pengelolaan umat. Kepemimpinan yang keras dan kasar akan menyebabkan umat menjauh. Sebaliknya, kelembutan dan musyawarah menjadi pondasi bagi kekuatan kolektif yang kokoh (Ibnu Katsir, 2003, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, QS. Ali Imran: 159).
Dalam dunia diplomasi modern, pendekatan Nabi ini bisa dianggap sebagai strategi restorative leadership—kepemimpinan yang memulihkan dan menyatukan. Ia tidak hanya memfokuskan diri pada hasil, tetapi juga pada proses dan dampaknya terhadap psikologis komunitas. Seperti dicatat oleh Hamidullah, Nabi Muhammad ﷺ sangat memahami pentingnya komunikasi dan rekonsiliasi dalam menjaga stabilitas umat, bahkan di tengah kekalahan (Hamidullah, 1975, The Prophet’s Diplomacy, hlm. 49–52).
Apa yang terjadi pasca Perang Uhud adalah pelajaran abadi bahwa kepemimpinan bukan tentang menunjukkan siapa yang salah, tetapi bagaimana menyatukan kembali yang telah terpecah. QS. Ali Imran ayat 159 bukan hanya dokumen spiritual, tapi juga naskah diplomasi yang menakjubkan dalam menghadapi krisis.
Lemah Lembut dan Empati sebagai Pilar Kepemimpinan
Dalam kajian tafsir kontekstual, Abdullah Saeed menyebut bahwa kelembutan Rasulullah ﷺ bukan hanya ekspresi karakter personal, tetapi bagian dari strategi kenabian yang diperintahkan oleh wahyu. Pendekatan ini menciptakan keterhubungan emosional yang kuat antara pemimpin dan umat. Kelembutan, dalam konteks ini, tidak berarti kelemahan, melainkan kekuatan untuk merangkul dan membina.
Senada dengan itu, dalam kajian filsafat ḥikmah, Ṭabāṭabā’ī menyatakan bahwa salah satu dimensi ḥikmah dalam Al-Qur’an adalah sebagai ajaran moral yang melandasi tindakan bijak dan etis seorang pemimpin. Dalam tafsir al-Mīzān, beliau menegaskan bahwa tindakan yang dipenuhi ḥikmah akan menjaga seseorang dari sikap keras dan berlebihan yang justru menjauhkan manusia dari kebenaran (Nurrohim & Nursidik, 2019, Hikmah dalam Al-Qur’an).
Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Fazlur Rahman yang melihat karakter kenabian sebagai model etika sosial transformatif yang menyeimbangkan antara keadilan dan kasih sayang sebagai bentuk moral idealism dalam masyarakat plural (Rahman, 1982, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition).
Memaafkan dan Mendoakan: Restorasi Sosial ala Nabawi
Dua perintah penting dalam ayat tersebut adalah “maafkan mereka” dan “mintakan ampunan untuk mereka.” Ini adalah langkah awal dalam membangun kembali kepercayaan kolektif. Dalam konteks sosial-politik modern, ini identik dengan pendekatan restorative justice, di mana kesalahan dilihat sebagai kesempatan untuk perbaikan, bukan sekadar hukuman. Ṭabāṭabā’ī menempatkan konsep ḥikmah dalam dimensi aksiologis, di mana tindakan etis seperti memaafkan dan menghindari dosa menjadi wujud nyata dari kebijaksanaan yang aplikatif dalam kehidupan sosial (Nurrohim & Nursidik, 2019, Hikmah dalam Al-Qur’an). Ini sejalan dengan semangat rekonsiliasi dalam diplomasi modern. Sayyid Quṭb dalam Fi Zilāl al-Qur’ān menekankan bahwa kelembutan dan pemberian maaf bukan sekadar tuntutan moral, tetapi bagian dari tarbiyah ilāhiyyah pendidikan ilahi yang bertujuan membentuk komunitas berjiwa besar, mampu menahan diri, dan lebih mengedepankan perbaikan daripada pembalasan (Quṭb, 2000, Fi Zilāl al-Qur’ān, Juz IV).
Musyawarah: Islam dan Demokrasi Partisipatif
Perintah bermusyawarah juga menjadi bagian integral dari ayat ini. Menariknya, meski konteks ayat adalah krisis militer, Nabi ﷺ justru merespons dengan memperkuat partisipasi para sahabat dalam pengambilan keputusan. Dalam tafsirnya, Sayyid Quṭb melihat bahwa nilai musyawarah tidak gugur hanya karena kegagalan; justru di saat kegagalan, partisipasi menjadi lebih penting untuk memulihkan kepercayaan dan komitmen kolektif (Quṭb, 2000, Fi Zilāl al-Qur’ān, Juz IV).
Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kepemimpinan tidak bersifat top-down secara mutlak, melainkan mengandung unsur deliberatif yang kuat. Hal ini diperkuat dalam pendekatan tarjīḥ tafsir oleh Ahmad Nurrohim, yang menekankan bahwa dalam menghadapi multi-interpretasi teks, diperlukan proses musyawarah hermeneutik, di mana tafsir dipilih berdasarkan koherensi, kesesuaian konteks, dan kebermanfaatannya dalam tindakan manusia (Nurrohim, 2019, Al-Tarjīḥ fī al-Tafsīr).
Gagasan ini juga bersesuaian dengan argumen Abdullahi Ahmed An-Na’im, yang menegaskan bahwa prinsip musyawarah dalam Islam membuka ruang bagi demokrasi partisipatif yang berbasis nilai, bukan hanya sistem formal. Bagi An-Na’im, musyawarah bukan sekadar praktik politik, melainkan ekspresi etika tanggung jawab bersama dalam membentuk masyarakat yang adil dan inklusif (An-Na’im, 2008, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a). Sehingga, musyawarah dalam kerangka Qur’ani bukan hanya instrumen kebijakan, tetapi juga refleksi dari keimanan yang matang terhadap nilai keterbukaan, dialog, dan kesalingan dalam kehidupan sosial-politik umat.
Hikmah sebagai Inti Soft Power dalam Tafsir Al-Mizān
Tafsir al-Mīzān karya Ṭabāṭabā’ī mengelaborasi makna ḥikmah ke dalam tiga dimensi besar yakni ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dimensi ontologis melihat ḥikmah sebagai nikmat langsung dari Allah yang diberikan kepada hamba pilihan. Epistemologis menempatkan ḥikmah sebagai kedalaman pengetahuan dan kemampuan memahami realitas secara tepat dan menyeluruh. Sedangkan aksiologis menekankan bahwa ḥikmah harus memunculkan tindakan etis dan bijak dalam kehidupan nyata. Dalam kerangka ini, QS. Āli ‘Imrān [3]:159 menjadi salah satu bentuk manifestasi terbaik dari ḥikmah dalam tindakan: lemah lembut, pemaaf, inklusif, dan penuh perhitungan spiritual maupun sosial (Nurrohim & Nursidik, 2019, Hikmah dalam Al-Qur’an).
Pendekatan multidimensi ini selaras dengan pemikiran Toshihiko Izutsu, yang melihat ḥikmah dalam Al-Qur’an sebagai konsep semantik yang bergerak dari makna kognitif menuju etika praktis, sehingga antara pengetahuan dan tindakan tidak terpisah secara dikotomis (Izutsu, 2002, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an). Dalam konteks ini, ḥikmah menjadi jembatan antara visi ilahiah dan praksis sosial, menjadikan sifat-sifat seperti kelembutan dan pemaafan bukan hanya tuntutan moral, melainkan fondasi kebijakan dalam ruang kepemimpinan dan komunitas.
Maka tak heran jika tokoh-tokoh seperti al-Ghazālī pun menyebut ḥikmah sebagai puncak dari ‘aql yang tercerahkan oleh nūr ilāhī, yang membimbing tindakan manusia agar selaras dengan maqṣad syariah dan kemaslahatan universal (al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal).
Kontekstualisasi untuk Dunia Modern
Ayat ini sangat relevan dalam merespons krisis kepercayaan terhadap otoritas, meningkatnya budaya kekerasan verbal, dan konflik sosial-politik saat ini. Dalam konteks parenting dan pendidikan, ayat ini bisa menjadi landasan untuk membangun pola asuh yang penuh kasih dan dialogis. Dalam ranah politik, ayat ini memberi pelajaran bahwa stabilitas dan loyalitas tidak dibangun lewat paksaan, tetapi dengan empati, keadilan, dan pelibatan aktif masyarakat. Dengan pendekatan tarjīḥ yang mempertimbangkan konteks sosial dan tujuan praktis tafsir, QS. Āli ‘Imrān [3]:159 bisa dijadikan model kepemimpinan transformatif yang lebih membumi (Nurrohim, 2019, Al-Tarjīḥ fī al-Tafsīr).
QS. Āli ‘Imrān ayat 159 bukan hanya panduan spiritual, tetapi juga merupakan strategi sosial-politik berbasis soft power. Dengan pilar rahmat, pemaafan, musyawarah, dan tawakkal, Nabi Muhammad ﷺ menunjukkan bahwa kepemimpinan yang sukses adalah kepemimpinan yang mampu menyentuh hati, menyatukan pikiran, dan merawat harapan. Tafsir al-Mīzān dan pendekatan tafsir kontekstual menjadi rujukan kuat bahwa kekuatan moral dan intelektual Islam memiliki posisi sangat strategis untuk membentuk dunia yang lebih damai dan manusiawi.
Hal ini juga disoroti oleh Muhammad Abduh dalam upayanya mereformasi tafsir agar sesuai dengan tantangan zaman modern, di mana ia menekankan bahwa prinsip-prinsip Qur’ani seperti syūrā dan ḥilm harus diwujudkan dalam tatanan sosial-politik sebagai fondasi bagi kemajuan umat (Abduh, 2010, Tafsīr al-Manār). Pendekatan ini membuka ruang bagi reinterpretasi ayat-ayat etis Al-Qur’an sebagai landasan nilai dalam tata kelola kontemporer yang berkeadaban dan partisipatif.
Penulis: Muhammad Fikri Azka
Editor: Aryanti Artikasari