Politik Etis dalam Perspektif Al-Qur’an: Kajian Tafsir Asy-Syu’ara Kontemporer Surah
Di tengah krisis moral dalam dunia politik modern, Al-Qur’an tampil sebagai sumber inspirasi etis yang tak lekang oleh waktu. Ketika korupsi, manipulasi, dan ketidakadilan menjadi wajah dominan politik kontemporer, pesan-pesan kenabian dalam Al-Qur’an hadir membawa pencerahan. Surah Asy-Syu’ara, yang menyajikan rangkaian kisah para nabi, merupakan narasi spiritual sekaligus politik yang menggugah kesadaran tentang pentingnya etika dalam kepemimpinan. Dalam artikel ini, Surah Asy-Syu’ara akan dikaji melalui pendekatan tafsir kontemporer untuk menyingkap pesan-pesan etis yang relevan dalam ranah kekuasaan dan kebijakan publik masa kini.
Surah Asy-Syu’ara: Struktur dan Konteks
Surah Asy-Syu’ara merupakan surah Makkiyah yang banyak mengangkat kisah dakwah para nabi, seperti Musa, Ibrahim, Nuh, Hud, Shalih, Luth, dan Syu’aib. Masing-masing kisah nabi ini menampilkan pola naratif yang konsisten: sang nabi menyeru kepada tauhid dan keadilan, dihadapkan pada penolakan kaum yang sombong dan pemimpin yang zalim. Mereka ditolak bukan hanya karena pesan ketuhanan, melainkan juga karena pesan moral yang mengguncang kepentingan elit penguasa.
Pola pengulangan ini bukan sekadar gaya retorika, melainkan sebuah penegasan Al-Qur’an terhadap misi kenabian yang juga bersifat sosial-politik. Dalam hal ini, para nabi bertindak sebagai agen perubahan yang menantang ketimpangan dan kezaliman yang dilembagakan dalam struktur kekuasaan. Surah ini, dengan demikian, dapat dibaca sebagai dokumen spiritual-politik yang membentuk narasi perlawanan berbasis nilai.
Nilai-Nilai Politik Etis dalam Surah Asy-Syu’ara
Pesan politik dalam Surah Asy-Syu’ara tidak hadir secara eksplisit dalam bentuk konsep negara atau struktur kekuasaan, melainkan melalui nilai-nilai moral yang diusung oleh para nabi.
Pertama, kejujuran dan amanah tergambar dari pernyataan berulang para nabi: “Aku tidak meminta imbalan atas dakwahku.” Kalimat ini menunjukkan bahwa motivasi para nabi bukanlah kekuasaan atau keuntungan pribadi, melainkan misi ilahiah dan pelayanan kepada masyarakat.
Kedua, kritik terhadap penindasan politik paling kentara dalam kisah Nabi Musa yang menghadapi Fir’aun. Narasi ini bukan hanya menunjukkan konflik teologis, tapi juga perlawanan terhadap absolutisme, eksploitasi, dan dehumanisasi yang dilakukan oleh rezim tiran. Dalam konteks ini, Musa tampil sebagai simbol pemimpin etis yang membawa pesan pembebasan.
Ketiga, nilai keadilan sosial muncul dalam dakwah Nabi Syu’aib yang menyeru agar masyarakat tidak curang dalam timbangan. Ini bukan sekadar ajakan moral, tetapi juga sindiran terhadap sistem ekonomi yang timpang dan manipulatif, yang umumnya didukung oleh kekuasaan politik saat itu.
Terakhir, kepemimpinan profetik yang ditampilkan para nabi merupakan bentuk perlawanan simbolik terhadap pragmatisme politik. Para nabi menolak kompromi terhadap prinsip meski berada dalam tekanan, menunjukkan bahwa kekuasaan sejati terletak pada kebenaran, bukan dominasi. Konsep ini sejalan dengan kerangka pendidikan profetik dalam Al-Qur’an, di mana proses pembentukan pribadi yang adil dan spiritual menjadi fondasi dalam membangun masyarakat yang etis.
Analisis Tafsir Kontemporer
Para mufasir dan pemikir Muslim modern melihat kisah-kisah ini bukan sebagai narasi masa lalu yang terputus dari realitas kini, melainkan sebagai pola nilai yang dapat diaktualisasikan. Fazlur Rahman, melalui pendekatan double movement, menekankan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks historisnya untuk kemudian diangkat menjadi nilai universal dalam konteks kekinian (Rahman, 1982: 6).
Muhammad Abduh menyampaikan bahwa dakwah para nabi sarat dengan nilai reformasi sosial. Menurutnya, Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi ajaran hidup yang membebaskan manusia dari kebodohan dan ketertindasan, termasuk oleh sistem politik yang korup (Abduh, 1993: 189).
Toshihiko Izutsu, lewat pendekatan semantiknya, menjelaskan bahwa istilah seperti zulm (kezaliman), adl (keadilan), dan haqq (kebenaran) dalam Al-Qur’an memuat makna etis yang sangat dalam. Ia menafsirkan bahwa Surah Asy-Syu’ara membentuk kerangka moral-politik yang menegaskan bahwa kepemimpinan yang tidak berdasar pada kebenaran akan membawa kehancuran sosial (Izutsu, 2002: 211).
Sementara itu, Sachedina melihat etika kenabian sebagai kekuatan transformatif dalam masyarakat Muslim. Ia menekankan bahwa wahyu menuntut penguasa untuk tunduk pada prinsip moral, bukan sekadar hukum formal (Sachedina, 2001: 102). Kamali menambahkan bahwa nilai-nilai Qur’ani mengandung prinsip accountability dan transparency yang menjadi dasar bagi tata kelola pemerintahan yang baik (Kamali, 2010: 78).
Di sisi lain, Ahmad Nurrohim melalui tesisnya menekankan bahwa proses pendidikan profetik dimulai dari tilāwah al-āyāt, tazkiyah al-nafs, dan ta‘līm al-kitāb wa al-ḥikmah. Proses ini membentuk karakter spiritual dan rasional yang menjadi fondasi lahirnya kepemimpinan etis dan transformatif (Nurrohim, 2011: 56–66). Pendekatan ini juga tampak dalam aksi sosial Muhammadiyah, seperti dalam teologi Al-Maun yang dihidupkan oleh LAZISMU Kartasura. Nilai kepedulian terhadap kaum mustadh’afin menjadi bentuk nyata dari implementasi ajaran etis Al-Qur’an dalam masyarakat (Rodhiyah et al., 2022: 140–142).
Relevansi dalam Konteks Politik Modern
Ketika politik hari ini sering kali direduksi menjadi permainan kekuasaan dan kepentingan, nilai-nilai dalam Surah Asy-Syu’ara menawarkan perspektif alternatif. Kepemimpinan profetik tidak hanya relevan bagi pemimpin negara, tetapi juga bagi aktivis sosial, pendidik, dan siapa pun yang memiliki pengaruh. Keberanian moral, integritas, dan keberpihakan pada kebenaran menjadi pilar penting dalam membangun tatanan masyarakat yang adil.
Dalam konteks demokrasi modern, nilai-nilai ini dapat berfungsi sebagai etika publik yang mengingatkan bahwa kekuasaan bukan tujuan akhir, melainkan amanah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Politik etis yang berakar dari pesan Qur’ani berfungsi sebagai kritik terhadap pragmatisme dan oportunisme yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa.
Surah Asy-Syu’ara bukan hanya rangkaian kisah, tetapi juga cerminan dari perjuangan etis dalam menghadapi kekuasaan yang menyimpang. Dengan menelusuri ayat-ayatnya melalui pendekatan tafsir kontemporer, kita menemukan nilai-nilai politik profetik yang sangat relevan dengan konteks hari ini. Dalam dunia yang semakin kompleks, Al-Qur’an mengajarkan bahwa keberanian untuk menyuarakan kebenaran, menolak tirani, dan menjaga amanah adalah inti dari kepemimpinan yang sejati.
Penulis: Nahrul Firdaus Achmadika
Editor: Aryanti Artikasari