OPINI

Belajar Waras Dari Si Gila

 “ Aku mengibas-ngibaskan ekorku dihadapan orang yang memberiku sesuatu, menggonggong di depan orang yang tidak memberiku apa-apa, dan membenamkan gigi-gigiku ketubuh para penjahat.”

Diogenes Sinope, begitulah ia dikenal kebanyakan orang. Diogenes hidup pada abad ke-4 SM, yaitu sekitar tahun 412-323 SM, ia hudup satu zaman dengan Plato ( filosof ) dan Alexander the great. Diogenes berasal dari sinope yang terletak di turki bagian selatan ( letak geografis turki modern ) dan ia pernah hidup di athena setelah diusir dari kota kelahirannya. Konon suatu waktu Diogenes dan ayahnya terlibat dalam sebuah skandal, yakni pemalsuan mata uang. Skandal ini yang membuat Diogenes kemudian diasingkan dari kota kelahirannya, kehilangan kewarganegaraan, dan juga seluruh harta kekayaannya.

Diogenes merupkan tokoh yang mempopulerkan mazhab sinis atau filsafat sininisisme yang didirikan oleh gurunya Antisthenes, bahkan popularitas ia sebagai figur mazhab sinis melebihi gurunya Antisthenes. Diogenes dikenal sebagai filsuf cerdik yang mempunyai gaya khas yaitu sikapnya yang seperti anjing ( sinis ) dengan ke-anjinganya tak sedikit orang yang mengatakan dia adalah orang gila, bahkan Plato pun pernah mengatakan Diogenes itu Sorates yang gila. 

Diogenes Si Sinis

Sinis bersal dari bahasa latin cynicus yang merupkan serapan dari bahasa yunani yaitu kynikos yang artinya “seperti anjing” ( Istilah sinis di masanya Diogenes berbeda dengan istilah sinis hari ini yang cenderung dimaknai nyinyir, dll. ). Diogenes dipanggil anjing (sinis) karena kehidupan nya yang menggelandang, ia tinggal di tong bekas tempat anggur ( phithos ) bersama anjing-anjing, ia tak memiliki satu pun barang berharga, ia hidup dengan mengemis, ditambah lagi sikapnya yang sering kali membuat onar.

Diogenes merestui ketika ia dipanggil Anjing, bahkan panggilan itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Diogenes. Suatu ketika ketika ada seseorang yang marah karena orang-orang memanggil Diogenes anjing. Kemudian kepada orang yang membelanya ini Diogenes berkata “ Engkau juga harus memanggilku anjing;. Diogenes hanyalah nama depanku, aku memang seekor anjing, tetapi anjing dari keturunan terhormat yang menjaga dan melindungi sahabat-sahabatnya.”

Ketika Diogenes ditanya hal apa saja yang ia telah lakukan sehingga banyak orang memanggilnya anjing, Diogenes menjawab, “ Aku mengibas-ngibaskan ekorku dihadapan orang yang memberiku sesuatu, menggonggong di depan orang yang tidak memberiku apa-apa, dan membenamkan gigi-gigiku ketubuh para penjahat.”. Diogenes orang yang senantiasa mengibaskan ekornya ketika ada yang memberinya kebaikan, mengibaskan ekor seorang anjing merupakan pertanda terima kasih dan ridho. Kemudian ketika orang-orang tak memberinya apa-apa ia menggonggong mengingatkan orang-orang agar berbuat bijak dan dermawan, dan ketika dia melihat para penjahat dia akan menggigitnya untuk menghentikan kejhatannya dengan tujuan agar penjahat itu tidak melanjutkan perbuatan jahatnya.

                Dalam filsafat sinisisme ada tiga pilar yang merupakan dasar dan ciri dari filsafat sinisisme. pertama, Aphatea; yaitu ketidak berubahan, keheningan, dan tidak dapat dipengaruhi oleh derita sakit, kesedihan dan hal-hal duniawi lainnya. Kedua, Parrhesia; yaitu tidak takut, tidak malu, dan tidak sungkan menyampaikan kebenaran. Ketiga, Anaideia ; yaitu berani, tidak malu, untuk melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan ‘kebenaran umum’ di tengah masyarakat.

Menjadi Manusia Alamiah

“we have complicated every simple gift of god”.Diogenes

                Dengan segala adat istiadat dan kebudayaan yang dihasilkannya, manusia tidak lagi menjadi manusia yang alamiah, yaitu manusia yang manusia. Menurut diogenes segalah bentuk adat dan kebudayaan manusia hanya dibentuk untuk mencari kemudahan saja atau mencari enak, yang pada akhirnya membuat rumit dan mempersulit manusia itu sendiri. Manusia menciptakan teknologi untuk mempermudah kehidupannya tapi hal itu justru membuat manusia menjadi rumit, manusia dituntut untuk menguasai teknologi untuk hidup. teknologi industri dirancang secanggih mungkin untuk meningkatkan perindustrian yang justru berdampak buruk bagi alam yang lestari. Banyak budaya manusia yang itu ditujukan untuk mempermudah tapi itu semua justru memperumit, manusia membudayakan makan menggunakan sendok yang mana hal itu bisa dilakukan dengan tangan kosong, membudayakan style pakaian yang pada akhirnya menuntut manusia untuk memiliki banyak pakaian, dan banyak hal-hal yang itu tidak diperlukan membudaya dalam kehidupan manusia.

                Manusia alamiah adalah manusia yang memiliki standar minimalis dan hidup tanpa ketergantungan masyarakat dan budaya. Yaitu Manusia yang hidup dengan sederhana dan hidup dengan memenuhi kebutuhan dasar manusia saja. Memiliki pemahaman yang baik tentang kebaikan moral dan kebebasan untuk bertindak tanpa dipengaruhi oleh segala jenis obligasi dan afiliasi sosial serta bebas untuk mengutarakan pendapat tanpa harus takut dengan ada hukuman atau celaan dari orang lain.

Diceritakan suatu ketika diogenes pergi ketengah kerumunan masyarakat dengan membawa obor di siang hari, Diogenes bertanya ” aku mencari manusia”. Berulang kali Diogenes mengatakan itu ditengah keramaian. Diogenes menganggap dikeramaian itu tidak ada lagi manusia, yang ada hanyalah makhluk² Kotor yang penuh dengan ambisi, rakus, tamak, dan cinta dunia.

Pengedalian Diri

Manusia adalah mahkluk yang hidup dipenuhi dengan nafsu dan ambisi. Mereka berlomba-lomba mengejar kekayaan, jabatan dan reputasi yang mana itu semua berdampak buruk pada keharmonisan dalam kehidupan. Untuk menghindari ketidak harmonisan manusia harus menjadi manusia yang alamiah sebagaimana yg telah digambarkan diatas.

Dalam filsafat sinisisme tahap awal untuk menjadi manusia yg alamiah, manusia harus mengendalikan dirinya dari ambisi duniawi yaitu kekayaan, jabatan, dan reputasi yang menurut Diogenes itu semua hanyalah ornamen dari kejahatan.

Selain menghindari ambisi duniawia manusia juga harus mengendalikan dirinya dari rasa lapar dan sakit, makan dan minum secukupnya tanpa harus berlebihan. Kemudian manusia juga harus mampu mengendalikan rasa sakit dengan tidak mengeluh dan mensyukuri kondisi kedirian. Ini semua berguna untuk melatih moral manusia. Diogenes pernah mengatakan ” Semakin banyak barang dalam sebuah rumah maka akan banyak pula tikusnya. Semakin banyak isi perut maka akan banyak pula penyakit dalam tubuh itu”.

Setelah manusia mampu mengendalikan diri dari segala kesenangan dunia dan hidup tanpa ketergantungan atau suwasembada, barulah manusia akan dapat mencapai kebahagian dan kesenangan batin, kesenangan ini bagi Diogenes adalah kesenangan yang hakiki.

Bentuk konkrit dari praktek pengendealian diri Diogemes adalah hidup asketis, yaitu hidup dengan sederhana, menjahui ambisi-ambisi duniawi.

Hidup Asketis Di Keramaian

Asketisisme merupakan gaya hidup yang tidak mengutamakan hal-hal duniawi. Semangat askestisisme yang dialami Diogenes diwariskan oleh gurunya yaitu Antisthenes yang merupakan murid langsung dari Socrates. Gaya asketisnya Diogenes berbeda dengan asketisisme pada umumnya yang cenderung  menjahui keramaian. Diogenes tetap hidup ditengah masyarakat walaupun cara hidupnya bertolak belakang dengan masyarakat. Karena bagi Diogenes kebenaran harus disampaikan kepada masyarakat dengan lisan dan perbuatan. Maka dari itu pergi meninggalkan keramaian bukanlah suatu hal yang bijak.

Prioritas Etika Atas Teori

Bagi Diogenes menjadi orang baik adalah menjadi orang yang berkeutaman, yakni secara konsisten mempraktikan kebaikan supaya menjadi watak atau karakter diri. Dan keutamaan itu tidak didapatkan hanya dengan omongan atau teori belaka. Kebijaksanaan itu ada pada laku atau perbuatan bukan ada dalam benak yang hanya berupa gagasan.

Diogenes kerap kali mengkritik para filosof dan kaum sofis yang hanya bijak dalam teori belaka, bahkan Plato dan gurunya Anthistenes menerima kritik dari Diogenes yang menurutnya terlalu banyak menyampaikan kebenaran tapi tidak diiringi dengan perbuatan. Dalam bahasanya Imam Al Ghazali mereka bisa diibaratkan batu asah yang pandai menajamkan banyak pisau tapi dirinya sendiri semakin tumpul.

Diceritakan ketika Plato ( filsuf ) berbicara mengenai teori hakikat manusia, Plato mendefenisikan manusia adalah binatang tanpa bulu yang berkaki dua’. Saat Diogenes mendengar defenisi Plato ini, ia mengambil ayam yang telah dicabuti bulunya, kemudian berkata, ” inilah manusianya, Plato”.

Anekdot Diogenes

– Diogenes Dan Alexander the great

Suatu ketika Alexander melihat Diogenes mengamati setumpukan tulang manusia dengan serius. ” Apa yang sedang kamu cari Diogenes?.”tanya Alexander. ” Aku sedang mencari tulang belulang ayahmu, tapi aku tidak bisa membedakannya dengan tulang-belulang para Budak”. Jawab Diogenes.

– suatu ketika Alexander the great bertemu Diogenes yang sedang beristirahat. Alexander menawarkan Diogenes untuk meminta sesuatu. ” Diogenes mintalah kepada ku apapun, maka akan ku penuhi.”. Diogenes menjawab, ” Aku hanya ingin kau bergeser sedikit dari hadapanku karena kau mengahalangi ku dari sinar matahari.”

Alexander melanjutkan, “Andai aku bukan Alexander maka aku ingin jadi Diogenes”.

“Andai aku bukan Diogenes maka aku ingin jadi Diogenea.” Jawab Diogenes.

– Manusia-manusia idiot

Di tengah satu kajian yang serious di Craneum, Diogenes menyadari bahwa tidak seorang pun mendengarkan ia pun lalu bersiul dan menari untuk menarik perhatian. Segera saja banyak orang yang berkerumunan di sekeliling dirinya. Diogenes lalu berhenti dan berkata, ” Kalian orang-orang idiot. Kalian tidak tertarik untuk memperhatikan kajian tentang kebijaksanaan, tetapi kalian justru segera tergerak untuk melihat satu penampilan yang konyol.”

– Mengajarkan Murah Hati

Setiap kali dikasih sesuatu Diogenes selalu menanyakan” Apakah hanya aku yang engkau kasih hari ini.”. Suatu ketika Diogenes pernah ditanya kenapa ia selalu mengemis, ” untuk mengajarkan orang-orang.” Jawab Diogenes ” O, lalu apa yang engkau ajarkan”. Diogenes menjawab ” kemurahan hati.”

– Penjilat Raja

Ketila Diogenes makan ubih sebagai santap malamnya hal itu dilihat oleh rekannya Aristhipus yang kehidupannya mewah Karena hidup sebagai penjilat raja.

Aristhipus berkata ” kalau engkau mau belajar menghambah pada raja, engkau tidak perlu lagi hidup dengan makan sampah seperti ubi itu.”

Jawab Diogenes ” jika engkau sudah belajar hidup dengan makan ubi, engkau tidak perlu menjilat raja”.

Demikian beberapa anekdot Diogenes yang kiranya dapat ditafsirkan sendiri oleh pembaca, tentu masih banyak lagi anekdot tentang Diogenes yang tidak dimuat dalam tulisan ini, karena bicara tentang Diogenes kita tidak bisa lepas dari anekdot-anekdot tentangnya. Diogenes bukan filosof teoritik seperti filosof kebanyakan, maka dalam mengkaji filsafat Diogenes, yaitu dengan mengakji kehidupannya yang hanya ditemukan dalam riwayat yang berbentuk anekdot.

Menghikamai Tanpa Menghakimi

Tulisan ini bukan karya ilmiah, ini hanya tulisan ngilmiah tetapi itu tidak penting, yang terpenting adalah ada banyak hikmah yang dapat kita petik. Dan tidak pula penting siapa Diogenes yang terpenting ada banyak kewarasan yang ia sampaikan lewat kegilaannya. Begitulah kira-kira cerita panjang di waktu yang singkat tentang Diogenes. Sekian tulisan ini saya tutup dengan pepatah-pepatah dari Diogenes.

Pepatah

  • Manusia adalah binatang paling cerdas dan paling tolol
  • Kita mempunyai dua telinga dan satu mulut sehingga kita dapat mendengar lebih banyak Dan bicara lebih sedikit
  • Tidak ada orang yang tersakiti kecuali oleh dirinya sendiri
  • Kalau kau ingin selalu dalam kebenaran, milikilah sahabat yang baik atau musuh bebuyutan. Sahabat akan memperingatkan mu Dan musuh akan membongkar dirimu.
  • Filosof Dan anjing: melakukan yang terbaik Dan mendapat balasan paling sedikit.
  • Bukannya aku gila, hanya saja isi kepala ku berbeda dengan isi kepalamu.

Penulis :

Andi Setiawan

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *