ARTIKEL

Antara Sang Khaliq dan Makhluk

Manusia adalah makhluk hidup yang diberi oleh Allah berupa akal yang menjadikannya gemar memperoleh manfaat dan menghindari mudharat. Tidak ada perbedaan manusia menyangkut hal ini sejak kehidupan dikenal oleh makhluk. Seimbang dengan kelebihan atau kekurangannya, demikian juga kesenangan dan kebenciannya. Untuk meraih apa yang dicintainya itu, atau menarik apa yang tidak dicintainya, lahirlah dorongan fitrah yang mengantar kepada aneka aktivitas manusia. Allah berfirman dalam QS. Ali Imron ayat 14: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu Wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Allah menjadikan hal-hal yang diatas indah bagi manusia secara fitrah karena Allah menugaskan makhluk sempurna ini mejaga dan melestarikan bumi. Untuk melakukan tugas kepemimpinan itu, manusia harus mempunyai akal untuk mempertahankan hidup di tengah-tengah berbagai macam sifat makhluk, baik dari jenisnya maupun dari jenis makhluk hidup yang lain, yang mempunyai akal yang sama. Akal inilah yang merupakan pendorong utama bagi segala kegiatan manusia.[1] Allah juga memberikan kita kewajiban yang umumnya tidak kita sukai sebagai balasan cinta-Nya kepada kita. Sebelum kita disuruh sholat dan puasa dimana itu baru wajib kita kerjakan setelah dewasa. Allah sudah memberi kita banyak sekali anugerah dan cinta sejak kita masih bayi, bahkan sejak kita masih di dalam kandungan.[2]

Mengimani Allah Ta’ala dengan sifat yang benar-benar menyifati-Nya dengan semua sifat itu tidak memastikan penyerupaan dengan sifat-sifat makhluk. Sebab, menurut akal tidak mustahil Allah memiliki sifat-sifat khusus yang tidak menyerupai sifat-sifat makhluk, tetapi hanya memiliki kesamaan nama semata. Jadi, sang Khaliq memiliki sifat-sifat tersendiri, sementara makhluk juga memiliki sifat-sifat tersendiri. Seorang Muslim yang mengimani sifat-sifat Allah Ta’ala dan menyifati-Nya dengan sifat-sifat itu selamanya tidak pernah berkeyakinan, bahkan tidak pernah terbesit dalam benaknya, bahwa tangan Allah sama seperti atau menyerupai tangan makhluk dalam segala arti, bukan sekedar kesamaan nama. Sebab, ada perbedaan yang sangat jauh antara Sang Pencipta dan makhluk, baik dalam dzat, sifat, maupun perbuatan.[3]

Adapun makhluk itu tidak boleh bersumpah kepada selain Allah. Adab juga berkaitan dengan ketauhidan, sebab adab kepada Allah mengharuskan seorang manusia tidak menyekutukan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan sang Khaliq dengan makhluk merupakan tindakan yang tidak beradab.[4] Sesungguhnya segala sesuatu yang kita miliki adalah hak Allah. Allah punya hak terhadap kita, sementara kita makhluk-Nya tidak memiliki apapun di sisi-Nya. Semua yang kita miliki adalah rahmat yang tercurah dari-Nya. Ketika kita merasa Allah tidak adil berarti kita sedang merasa bahwa Allah telah berlaku aniaya. Padahal Allah tidak pernah berlaku aniaya. Apa yang terjadi dari ketetapan Allah adalah ketetapan yang paling tepat dan paling adil bagi kita. Karena itu, pemahaman kita tentang makna adil perlu dikoreksi kembali. Jadi, di kemudian hari, kita tidak salah lagi dalam menafsirkan setiap takdir dan ketetapan yang hadir dalam kehidupan kita.[5]

Hubungan kita dengan Allah mempunyai banyak aspek yang berbeda: Allah adalah Pencipta, Tuhan dan Pemimpin, Hakim, Juru Selamat dan banyak lagi. Tetapi kebenaran yang paling mengejutkan adalah Allah yang Maha Kuasa ingin menjadi Sahabat kita. Tidak ada ritual, upacara atau agama yang menyatakan suatu hubungan manusia dengan Allah, yang ada hanya hubungan kasih yang sedehana anata Allah dengan manusia yang Dia ciptakan. Hubungan tersebut tanpa dihalangi oleh rasa bersalah atau takut, manusia merasakan kehadiran Tuhan terus menerus. Apa yang menyebabkan hubungan tersebut dapat terjalin dengan harmonis? Kunci membangun suatu hubungan adalah bahasa yang sama. Allah adalah Roh dan manusia adalah Roh, masing-masing mempunyai jiwa yang tinggal didalamnya.

  Kewajiban manusia kepada Allah yakni, (a) Beriman. Meyakini bahwa sesungguhnya Allah adalah tuhan satu-satunya yang wajib disembah sepenuh hati. (b) Taat. Dalam hal ini manusia berkewajiban untuk melaksanakan semua perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya (QS. Ali Imron ayat 132). (c) Ikhlas. Beribadah apapun berorientasi pada rahmat dan keridloan Allah Swt serta tidak berniat untuk ingin dipuji makhluk dalam setiap peribadatan. (d) Tawakkal. Melaksanakan sesuatu dengan semaksimal mungkin, serta diakhiri dengan menggantungkan harapan kepada Allah semata (QS. Ali Imron ayat 159). (e) Bersyukur dan Qanaah (QS.Al-Baqarah ayat 172). (f) Taubat (QS.At-Tahrim ayat 8).[6]

Penulis : Fristika Maulida Aminatuz Zuhria


[1] M. Quraisy Shihab, Berbisnis dengan Allah, Cetakan Pertama Edisi Baru (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2022), hal 1-2.

[2] Emha Ainun Najib, Berserahlah, Biarkan Allah Mengurus Hidupmu, Cetakan Pertama (Jakarta Selatan: Noura Books, 2022).

[3] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Cetakan Pertama (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015), hal 24.

[4] Fu’ad ibn ’Abd al-’Aziz al-Shalhub, Azhar Khalid Seff, and Muhammad Hidayat, Ringkasan kitab adab, Cetakan Pertama (Jakarta: Darul Falah, 2008), hal 187.

[5] Aura Husna, Ketika Merasa Allah Tidak Adil, Cetakan Pertama (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), hal 46.

[6] Rinda Fauzian, Pengantar Pendidikan Agama Islam, Cetakan Pertama (Sukabumi: Farha Pustaka, 2019), hal 80.

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *