Pendidikan Menurut Antonio Gramsci dan Solusi dalam Menghadapi Hegemoni di Dunia Pendidikan
Antonio Gramsci, seorang teoretikus Marxis Italia, mengembangkan konsep-konsep yang memperkaya pemahaman kita tentang pendidikan dan peranannya dalam membentuk hegemoni sosial. Dalam pemikirannya, Gramsci menyelidiki bagaimana lembaga-lembaga pendidikan dapat menjadi alat untuk mempertahankan struktur kekuasaan dan bagaimana solusi konkret dapat ditemukan untuk mengatasi hegemoni dalam dunia pendidikan.
Pada tahun 1908, Gramsci mulai mempelajari pemikiran Karl Marx. Antonio Gramsci memperoleh beasiswa untuk belajar di Fakultas Sastra Universitas Turin pada tahun 1911. Beasiswa ini merupakan beasiswa khusus bagi rakya miskin di bekas Kerajaan Sardinia di Provinsi Sardinia.
Selama kuliah, Antonio Gramsci berkawan dengan Palmiro Togliatti dan Angelo Tasca. Mereka bertiga kemudian menjadi aktivis Partai Sosialis Italia di Turin. Ketertarikannya pada politik mempengaruhi kuliahnya. Perbedaan kehidupan kota Turin di wilayah Italia bagian utara dan kehidupan pedesaan di wilayah Italia bagian selatan mengubah Antonio Gramsci menjadi revolusioner. Antonio Gramsci melihat perbandingan antara kelas buruh di kota dan petani di desa. Ia kemudian memulai politik di Turin. Antonio Gramsci bergabung dengan Partai Sosialis Italia pada tahun 1913.
Antonio Gramsci mulai menulis ide-ide intelektual sambil melibatkan diri dalam organisasi massa miltan. Isi tulisan berkaitan dengan setiap aspek masyarakat Turin dan kondisi sosial politiknya. Antonio Gramsci juga menganalisa sejumlah pemogokan dan oleh buruh di Turin. Tulisan-tulisan Antonio Gramsci juga menulis tentang peristiwa politik di Italia maupun mancanegara. Pada tahun 1915, Antonio Gramsci berhenti kuliah untuk sementara dan bekerja penuh waktu pada kantor surat kabar partai sosialis di Turin. Ia mengerjakan dua buletin yaitu Avanti! dan buletin Il Grido del Popolo. Antonio Gramsci kemudian kembali kuliah dan menyelesaikan tesis pada tahun 1918.
Pendidikan sebagai Alat Hegemoni
Gramsci mendefinisikan intelektual sebagai individu yang terlibat dalam produksi, penyebaran, dan interpretasi ide dalam masyarakat. Intelektual memainkan peran penting dalam membentuk narasi budaya dan politik, berkontribusi pada pembentukan rasa umum dan ideologi. Menurut Gramsci, ada dua kategori utama intelektual: intelektual tradisional yang terkait dengan lembaga-lembaga yang sudah mapan, dan intelektual organik yang muncul dari berbagai kelompok sosial.
Intelektual organik, dalam kerangka pemikiran Gramsci, sangat relevan untuk diskusi tentang hegemoni pendidikan. Intelektual ini muncul dari kelompok sosial dan dapat menantang atau memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Gramsci menekankan pentingnya intelektual organik dalam memimpin perjuangan hegemonik — pertempuran berkelanjutan atas ide dan nilai yang membentuk norma budaya dan sosial. Dalam konteks pendidikan, intelektual ini dapat baik menantang atau memperpanjang ideologi dominan.
Dalam ranah pendidikan, intelektual, baik tradisional maupun organik, memainkan peran kunci dalam pembentukan dan pemeliharaan hegemoni. Gramsci berpendapat bahwa lembaga-lembaga pendidikan adalah situs kunci di mana aktivitas intelektual berkontribusi pada pembentukan ideologi dominan. Kurikulum, metode pengajaran, dan praktik institusional semuanya mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma kelas penguasa, berkontribusi pada reproduksi hierarki sosial.
Menurut Gramsci, pendidikan bukan hanya tempat transfer pengetahuan, tetapi juga lembaga sosial yang membentuk pola pikir dan nilai-nilai masyarakat. Pendidikan berpotensi menjadi alat hegemoni, di mana ideologi dan nilai-nilai kelas penguasa ditanamkan dalam pikiran peserta didik. Hal ini terjadi melalui kurikulum, metode pengajaran, dan struktur kelembagaan yang mencerminkan kepentingan kelas dominan.
Pergulatan hegemoni terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan, di mana berbagai kelompok intelektual bersaing untuk mempengaruhi dan membentuk norma-norma sosial. Intelektual tradisional, yang terkait dengan kelas penguasa, mungkin mendukung hegemoni yang ada, sementara intelektual organik, mewakili kelompok terpinggirkan, dapat menjadi agen perlawanan dan perubahan.
Gramsci memberikan kontribusi penting dengan mengajukan konsep “pendidikan integral” yang mencakup dimensi intelektual dan moral. Baginya, pendidikan seharusnya membentuk individu yang mampu berpikir kritis, memahami dunia, dan secara aktif berpartisipasi dalam perubahan sosial. Pendekatan ini bertentangan dengan pemikiran tradisional yang hanya menekankan transfer pengetahuan tanpa membentuk karakter dan pemikiran kritis.
Solusi Menghadapi Hegemoni di Dunia Pendidikan
a. Kurikulum Inklusif dan Kritis: Merancang kurikulum yang mencakup berbagai perspektif budaya, sejarah, dan sosial menjadi langkah kunci. Kurikulum inklusif menciptakan ruang untuk memahami dan menghargai keberagaman, sementara kurikulum kritis mendorong siswa untuk mempertanyakan, menganalisis, dan berpikir kritis terhadap informasi yang diterima.
b. Pelibatan Komunitas dalam Pendidikan: Melibatkan komunitas lokal dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengatasi hegemoni. Dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk orang tua, anggota masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya, pendidikan dapat lebih responsif terhadap kebutuhan dan nilai-nilai lokal.
c. Pelatihan Guru yang Kritis: Guru, sebagai agen utama dalam proses pendidikan, perlu dilatih untuk menjadi kritis dan reflektif. Pelatihan ini harus mencakup pemahaman mendalam tentang konsep hegemoni, strategi untuk mendekonstruksi ideologi dominan, dan cara memotivasi siswa untuk berpikir independen. Guru memegang peran kunci dalam mengubah hegemoni pendidikan. Mereka harus menjadi agen perubahan yang mempromosikan pemikiran kritis, menantang norma-norma yang mendukung hegemoni, dan mendorong peserta didik untuk mengembangkan pandangan yang mandiri.
d. Promosi Pendidikan Kritis: Memperkenalkan dan mendorong pendekatan pendidikan kritis adalah langkah penting. Siswa perlu dilibatkan dalam aktivitas yang mempromosikan pemikiran kritis, penelitian independen, dan diskusi terbuka untuk mengembangkan kemampuan analisis mereka.
e. Pengembangan Materi Ajar Alternatif: Merancang materi ajar yang bersifat inklusif, kritis, dan mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan adalah solusi konkrit. Dengan menyediakan alternatif untuk materi ajar yang mungkin didominasi oleh pandangan tertentu, pendidikan dapat memberikan perspektif yang lebih seimbang.
f. Pedagogi Kritis: Menganut pedagogi kritis yang mendorong siswa untuk bertanya, menganalisis, dan menantang norma-norma yang berlaku dapat mengganggu pengaruh hegemoni. Pendekatan ini mendorong keterlibatan aktif, pemikiran kritis, dan pengembangan perspektif independen.
Penulis : Hanif Syairafi Wiratama