PAI itu Pendidikan Agama Islam atau Pendidikan Anti Intelektual?
Berbicara mengenai pendidikan pasti banyak persoalan di dalamnya, terlebih penjabaran mengenai intelektual dalam pendidikan. Salah satu pendidikan yang terjun dalam keilmuan agama atau sering kita sebut “Pendidikan Agama Islam” ini perlu kita kritisi, apakah pendidikan yang mengajarkan tentang keislaman ini bisa di bentuk dengan baik oleh para pelajar, atau bahkan malah tidak sama sekali. Maka kita akan membahasa sedikit terkait peran intelektual dalam pendidikan islam.
Pendidikan merupakan salah satu topik yang selalu saja hangat dibahas dalam kehidupan. Betapa tidak, topik semacam ini dapat digunakan untuk obrolan sehari-hari oleh semua kalangan. Apalagi di era kemajuan teknologi informasi seperti sekarang, semua orang bisa dengan mudah beropini dan mengomentari apa yang terjadi. Topik pendidikan pun tak luput dari perhatian masyarakat untuk diserang
Dua macam Intelektual
Banyak orang masih mengeluhkan tentang sistem pendidikan nasional. Jika sedikit mengutip dari filsuf post modern bernama Antonio Gramsci, yang mengatakan bahwa sebenarnya intelektual itu dibagi menjadi dua, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik, yang mana dari kedua itu ada yang harus kita gunakan dalam sistem pendidikan di Indonesia, yaitu intelektual organik.
Intelektual tradisional yaitu ilmu yang diberikan dari generasi ke generasi, artinya adalah seseorang pelajar yang diberi ilmu dan kemudian ia mengajarkannya lagi kepada orang lain dan terus begitu. Sedangkan intelektual organik adalah ilmu yang di implementasikan kepada realitas yang ada untuk mengubah suatu pembenaran yang invalid menjadi valid.
Sesuatu yang hilang dari intelektual dalam wujudnya yang baru ini adalah identitas intelektualnya yang “organik”, suatu subjek intelektual yang menurut Antonio Gramsci terlibat secara aktif dalam menerjemahkan ide-idenya dalam kenyataan sehari-hari, namun pada saat yang sama juga memiliki karakter kesangsian dalam memposisikan diri di tengah-tengah realitas yang sedang ia geluti. Sosok intelektual seperti inilah yang kini lenyap di tengah-tengah kita
Anti intelektual
Praktik-praktik penerapan budaya anti intelektual ternyata sudah makin sulit diidentifikasi karena sudah menyatu di kehidupan kita sehari-hari. Batas-batas pembedanya pun makin abu-abu ketika kita hidup di era post truth dan polusi informasi seperti sekarang ini, semuanya sudah dianggap hal yang wajar. Beberapa contoh yang menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah terdogmakan dengan budaya ini adalah fenomena kritik harus disertai solusi.
Sebenarnya itu kata siapa sih? Masyarakat kita sekarang ini sudah termakan dengan pola pikir seperti itu, padahal bila kita menelaah dan memikirkannya dengan sudut pandang holistik, justru dengan adanya dogma tersebut, kebebasan berpendapat kita justru dibatasi oleh solusi. Saya memang sepakat bahwa setiap permasalahan harus dicari solusinya, tetapi apakah solusi tersebut harus dibebankan kepada orang yang mengkritik? Belum tentu.
Hal itu secara tidak langsung malah membuat orang yang mau mengkritik terbebani, dan akhirnya kritiknya tidak tersampaikan. Alhasil, permasalahan yang ada tidak bisa diidentifikasi karena keengganan untuk menyampaikan kritik atas suatu permasalahan. Hal inilah yang membuat para pelajar bingung, sebenarnya kenapa beberapa dosen menghalangi intelektual para mahasiswa yang ingin mengkritik suatu kebenaran yang invalid di dalamnya.
Ilmu pengetahuan yang kita pelajari sekarang ini menggunakan kaidah-kaidah yang tidak boleh dilanggar, salah satunya adalah empiris dan obyektif. Seorang scientist harus melaporkan pengamatan eksperimen apa adanya, karena ilmu pengetahuan yang kita rancang hingga sekarang bertujuan agar kita sebagai manusia lebih bisa memahami cara kerja dunia ini. Bila kita sudah membatasi diri kita dengan dinding persepsi, tentu hasil yang kita peroleh untuk menjelaskan dunia ini tidak akan valid.
Selain itu, dalam perkembangan ilmu pengetahuan, setahu saya teori-teori yang ada sebelumnya selalu dibantah dan disempurnakan dengan teori baru, oleh karena itu salah satu sifat ilmu adalah dapat dijustifikasi serta diklasifikasi. Terkadang kita yang dididik di lingkungan akademisi terus mencari pembenaran dari teori yang sudah ada hingga lupa bahwa ilmu dapat dibantah juga dan justru karena itu ilmu pengetahuan akan berkembang.
Mahasiswa PAI yang berintelektual
Sebagai mahasiswa PAI harus tegas dalam hal ini, kenapa mahasiswa hanya diberikan ilmu-ilmu yang sifatnya hanya untuk diajarkan dari generasi ke generasi, dan kemungkinan menghalangi intelektual para mahasiswa yang ingin mengkritik atasan dalam hal mengubah kebenaran yang invalid, terlebih dalam ranah islam. Mahasiswa PAI juga ingin berperan dalam mengembangkan intelektual secara aktif agar tidak hanya taklik pada dosen.
Maka sudah saatnya mahasiswa harus berpotensi intelektual secara aktif guna tidak terbodohi oleh informasi yang ada, dan terbebaskan dari penghalang anti intelektual, karena pergerakan mahasiswa PAI juga ingin menginterupsi realitas yang ada pada zaman keislaman saat ini bukan hanya tejerumus pada taklik dogma dosen atau guru yang diberikan kepada para mahasiswa.