
Pengetahuan Berbasis Kemanusiaan: Intuisionisme Henry Bergson
Henry Bergson, seorang filsuf Prancis yang hidup pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, dikenal dengan pemikirannya yang mendalam tentang filsafat hidup dan pengetahuan manusia. Bergson menekankan pentingnya manusia dan kemanusiaan sebagai dasar dan sumber utama dalam struktur pengetahuan. Dalam konteks modern, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering kali mengabaikan aspek kemanusiaan, pemikiran Bergson menjadi relevan untuk dikaji kembali. Artikel ini akan menjelaskan konsep pemikiran Bergson tentang pengetahuan manusia dan relevansinya bagi pengembangan pengetahuan yang berbasis kemanusiaan.
Bergson memandang filsafat hidup sebagai cara atau pandangan hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Filsafat hidup ini dibangun berdasarkan nilai-nilai fundamental kemanusiaan, baik yang bersifat material maupun spiritual. Bergson menekankan bahwa manusia harus dipandang secara holistik, tidak hanya sebagai makhluk fisik tetapi juga sebagai makhluk yang memiliki roh dan intuisi. Manusia, menurut Bergson, adalah sentral dari seluruh realitas semesta, dan filsafat hidup harus menjadi dasar setiap tindakan dan perbuatan manusia.
Pengetahuan dan Problem Epistemologi
Epistemologi, atau filsafat pengetahuan, adalah cabang filsafat yang mempelajari asal usul, struktur, metode, dan validitas pengetahuan manusia. Bergson menolak pandangan materialisme dan positivisme yang mengabaikan dimensi metafisik dalam pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan manusia tidak hanya berasal dari akal dan indra, tetapi juga dari intuisi. Bergson mengkritik aliran rasionalisme dan empirisme yang cenderung mereduksi manusia menjadi mesin atau robot yang hanya bekerja berdasarkan hukum-hukum mekanis.
Bergson mengidentifikasi tiga sumber utama pengetahuan manusia: indra, akal, dan intuisi. Ketiga sumber ini bersifat sinergik, saling menguatkan, dan tidak dapat dipisahkan.
1. Indra: Indra adalah alat pertama yang digunakan manusia untuk berinteraksi dengan dunia fisik. Melalui indra, manusia menerima informasi dari lingkungan sekitarnya. Namun, Bergson menegaskan bahwa indra hanya mampu memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat fisik dan material.
2. Akal (Inteligensi): Akal atau inteligensi adalah kemampuan manusia untuk berpikir secara rasional dan logis. Akal digunakan untuk menganalisis, mengkonseptualisasikan, dan menyusun pengetahuan berdasarkan data yang diterima melalui indra. Namun, Bergson mengkritik keterbatasan akal dalam memahami realitas yang dinamis dan kreatif. Akal cenderung memotong-motong realitas menjadi bagian-bagian statis, sehingga tidak mampu menangkap hakikat kehidupan yang sebenarnya.
3. Intuisi: Intuisi adalah kekuatan rohani yang memungkinkan manusia untuk memahami hakikat realitas yang lebih dalam. Intuisi berbeda dengan akal karena ia bersifat dinamis dan mampu menembus batas-batas material. Menurut Bergson, intuisi adalah kunci untuk memahami realitas yang sebenarnya, termasuk hakikat kehidupan dan kreativitas manusia.
Bergson menganggap intuisi sebagai cara pemahaman yang berbeda dari logika atau analisis intelektual. Menurutnya, intuisi adalah pemahaman langsung dan mendalam tentang realitas, yang memungkinkan kita untuk merasakan esensi dari sesuatu secara lebih langsung daripada sekadar mengklasifikasikan atau menganalisisnya. Hal ini mirip dengan studi fenomenologi dalam menyikapi peran intuisi dalam pengalaman manusia. Proses sensibilitas seseorang dengan hanya berbasis inderawi semata tak bisa dijadikan bahan (data) yang akan diolah oleh akal menjadi pengetahuan. Karena sejatinya pengalaman melibatkan intuisi untuk merasakan seuasananya secara langsung. Dengan demikian intuisi juga berpengaruh dalam melengkapi bidang epistemologi selain inderawi dan rasio. Intuisi dari intelek yang lebih cenderung pada pemahaman mekanistik dan analitis.
Dalam hal ini, Bergson menganggap bahwa intuisi memungkinkan kita untuk memahami realitas hidup secara lebih dinamis, yang tidak dapat dicapai dengan cara-cara berpikir yang terstruktur atau sistematis.
Kritik atas Materialisme dan Positivisme
Bergson menolak pandangan materialisme yang mereduksi manusia menjadi sekadar mesin atau robot yang bekerja berdasarkan hukum-hukum fisik dan kimia. Ia juga mengkritik positivisme yang mengabaikan dimensi metafisik dalam pengetahuan. Bergson berargumen bahwa manusia tidak dapat dipahami hanya melalui analisis materialistik, karena manusia memiliki dimensi rohani yang tidak dapat dijelaskan oleh hukum-hukum fisik semata. Ia mengatakan bahwa
Evolusi, dalam pandangan Bergson, bukan sekadar hasil dari interaksi material yang bersifat mekanistik, melainkan sebuah dorongan hidup yang kreatif dan terus berkembang. Ia menggambarkan kehidupan sebagai sesuatu yang tidak hanya bereaksi terhadap lingkungannya, tetapi juga secara aktif mencari dan menciptakan jalannya sendiri. Seperti angin yang berhembus dari sudut kota, menabrak dinding, lalu berusaha menemukan celah untuk melanjutkan perjalanannya, kehidupan pun tidak hanya mengikuti jalur yang telah ditentukan oleh hukum alam, tetapi juga menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru yang tak terduga.
Melalui konsep élan vital, Bergson menegaskan bahwa evolusi bukanlah proses yang kaku dan deterministik, melainkan suatu gerakan dinamis yang dipenuhi oleh spontanitas dan inovasi. Kehidupan tidak hanya menyesuaikan diri dengan tantangan yang dihadapinya, tetapi juga berupaya melampaui batasan-batasan yang ada, menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih kompleks dan unik. Dalam perspektif ini, evolusi bukan sekadar hasil dari seleksi alam yang pasif, melainkan sebuah aliran energi yang terus mengalir, menembus hambatan, dan menghidupkan kreativitas dalam setiap proses perkembangannya.
Ia menggambarkannya seperti angin yang bertiup di antara bangunan kota, menabrak dinding, lalu mencari celah untuk terus bergerak. Kehidupan tidak hanya mengikuti jalur yang sudah tersedia, tetapi juga menciptakan kemungkinan baru melalui élan vital, kekuatan yang mendorong makhluk hidup berkembang melampaui batasan fisik. Tidak seperti proses yang sepenuhnya deterministik, evolusi menurut Bergson adalah aliran yang terus berinovasi, melampaui adaptasi pasif, dan menghasilkan bentuk-bentuk kehidupan yang unik dan tak terduga.
Waktu: Durée
Bergson juga sangat terkenal dengan teori waktunya yang dikenal sebagai durée. Berbeda dengan konsep waktu dalam fisika (yang terukur dan objektif), durée adalah waktu subjektif yang kita alami secara internal. Durée mengacu pada pengalaman hidup yang bersifat dinamis dan terus-menerus berkembang. Waktu fisik atau “waktu mekanis” diukur dengan angka dan jam, sedangkan durée adalah pengalaman waktu yang terus mengalir dan berubah, tanpa bisa dipisahkan menjadi bagian-bagian yang terukur.
Menurut Bergson, durée adalah inti dari pengalaman manusia yang sejati. Ia menekankan bahwa kehidupan manusia lebih baik dipahami melalui durée karena ini adalah cara kita benar-benar mengalami waktu, bukan melalui pembagian-pembagian terpisah yang sering digunakan oleh ilmu pengetahuan.
Waktu berkaitan erat tentang kehendak bebas dalam konteks bagaimana individu bisa membuat keputusan yang bukan hanya hasil dari rangkaian sebab-akibat yang mekanistik. Ia berargumen bahwa kehendak bebas muncul dari kemampuan kita untuk mengalihkan diri dari determinisme dan membuat pilihan secara bebas.
Analogi yang sering digunakan Bergson untuk menjelaskan hal ini adalah proyektor. Ia menyarankan bahwa kehidupan kita seperti sebuah film yang diproyeksikan. Di satu sisi, kita dapat melihat kehidupan sebagai urutan kejadian yang sudah ditentukan oleh kondisi sebelumnya (seperti film yang diproyeksikan). Namun, di sisi lain, kita dapat memanfaatkan kehendak bebas kita untuk “memilih” arah cerita kita sendiri, seolah-olah kita berada di luar film tersebut, memilih jalan cerita yang berbeda meskipun film itu terus berjalan.
Menurut Bergson, proyektor ini menggambarkan bagaimana kita, meskipun berada dalam realitas yang berkembang secara deterministik, tetap dapat merasakan kebebasan dalam bertindak dan membuat pilihan-pilihan yang membawa kita ke arah yang berbeda dari yang diharapkan.
Relevansi Pemikiran Bergson bagi Pengetahuan Berbasis Kemanusiaan
Pemikiran Bergson tentang pengetahuan manusia memiliki relevansi yang kuat bagi pengembangan pengetahuan yang berbasis kemanusiaan. Bergson menegaskan bahwa pengetahuan harus berasal dari manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Artinya, pengetahuan harus mengakui dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan, tidak hanya sebagai alat untuk menguasai alam, tetapi juga sebagai sarana untuk memahami dan mengembangkan potensi manusia secara holistik.
1. Ontologi: Landasan ontologis pengetahuan manusia adalah manusia dan kemanusiaan. Manusia harus dipandang sebagai makhluk yang utuh, tidak hanya sebagai tubuh fisik tetapi juga sebagai makhluk yang memiliki roh dan intuisi.
2. Epistemologi: Sumber pengetahuan manusia meliputi indra, akal, dan intuisi. Ketiga sumber ini harus bekerja secara sinergik untuk menghasilkan pengetahuan yang holistik dan mendalam.
3. Aksiologi: Tujuan pengetahuan adalah untuk memanusiakan manusia, yaitu untuk mengembangkan dan menyempurnakan kehidupan manusia berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan.
Bergson melihat hubungan antara intuisi, waktu, dan kehendak bebas dalam cara pandangnya terhadap pengalaman manusia. Intuisi, dalam hal ini, adalah cara kita menghubungkan diri dengan durée atau waktu subjektif kita. Melalui intuisi, kita bisa lebih memahami waktu dalam dimensi yang lebih mendalam dan merasakan kebebasan dalam memilih dan bertindak meskipun hidup ini penuh dengan determinasi eksternal. Kehendak bebas, yang didorong oleh intuisi kita, adalah cara kita merespons dan membentuk jalannya waktu dalam kehidupan kita.
Bergson percaya bahwa kemampuan kita untuk merasakan waktu sebagai durée memberi kita kekuatan untuk bertransendensi, keluar dari struktur-struktur mekanistik dunia fisik dan menjalani hidup dengan kehendak bebas yang sejati. Dengan pemikiran ini, Bergson menekankan pentingnya mempercayai intuisi sebagai cara untuk memahami hidup, mengalaminya dalam waktu yang subjektif, dan menjalani hidup dengan kebebasan yang lebih besar.
Kesimpulan
Pemikiran Henry Bergson tentang pengetahuan manusia menawarkan perspektif yang holistik dan humanis. Bergson menegaskan bahwa pengetahuan tidak boleh terpisah dari nilai-nilai kemanusiaan. Pengetahuan yang berbasis kemanusiaan harus mengakui dan menghargai seluruh potensi manusia, baik fisik, rasional, maupun spiritual. Dengan demikian, pengetahuan tidak hanya menjadi alat untuk menguasai alam, tetapi juga sebagai sarana untuk memahami dan mengembangkan potensi manusia secara utuh.
Penulis: Fauzan Addinul Jihad
Editor: Rauuf Bukhari
