Tabayyun di era Clickbait: Al-Qur’an sebagai Filter Informasi Digital
Pagi itu kita sedang bersantai sambil menggulir media sosial ketika sebuah headline muncul. “BREAKING: Seorang Tokoh Besar Terlibat dalam sebuah Skandal!.” Jari kita sontak menekan tombol share. Lima menit kemudian, komentar pedas sudah kita layangkan. Tapi tunggu, apakah kita sudah membaca seluruh artikelnya? Apakah berita itu benar?
Inilah potret keseharian sebagian besar masyarakat saat ini. Kita dibanjiri informasi dari dunia maya setiap detiknya. Sayangnya, tidak semua informasi itu akurat. Saat ini media digital saling berlomba mengejar viralitas dan engagement yang sayangnya sering kali mengorbankan kebenaran. Judul sensasional, narasi provokatif, dan konten clickbait menjadi senjata utama untuk menarik perhatian. Dengan itu semua mudah saja masyarakat terpancing emosi karena tidak melakukan verifikasi, sehingga memicu penyebaran hoaks, perpecahan sosial, hingga krisis kepercayaan publik.
Di tengah hiruk-pikuk informasi ini, kita sangat membutuhkan kompas moral yang relevan untuk membentengi diri dan masyarakat agar tidak mudah terseret arus sensasi media. Dan lebih cerdas dalam mencerna Informasi.
Sensasi Media yang Menghalangi dari Kebenaran
Media modern beroperasi dengan sangat cepat. Dalam hitungan detik, sebuah informasi bisa menyebar ke jutaan orang dengan sekali klik(Sukmaningtyas et al., 2024). Platform media sosial dirancang untuk memicu reaksi cepat, seperti like, share, comment, bahkan repost, tanpa memberikan ruang yang cukup untuk mencari kebenaran informasi tersebut. Ditambah dengan algoritma yang mendukung konten-konten kontroversial karena lebih ramai dan banyak menghasilkan interaksi(Rahayu & Nurrohim, 2022).
Dampaknya pun nyata terlihat. Masyarakat kehilangan kemampuan berpikir kritis dan lebih mengandalkan emosi sesaat. Kita lebih mudah marah, takut, atau benci hanya karena membaca sebuah judul tanpa membaca konteks lengkapnya(Syahroni & Nurrohim, n.d.). Tak sedikit kasus dimana kita cenderung menyerang orang yang menurut kita salah tanpa bertanya lebih lanjut, bagaimana fakta sebenarnya?. Dengan demikian, berita yang mengandung hoaks pun dengan mudah menyebar karena orang lebih tertarik pada narasi dramatis ketimbang fakta membosankan.
Contohnya nyatanya adalah berita yang sempat ramai yang terjadi beberapa pekan lalu di daerah Malang, Jawa Timur. Kejadian ini menimpa seorang dosen yang ternyata juga seorang kyai di sebuah Universitas di daerah Malang. Beliau dinarasikan oleh tetangganya dengan tuduhan yang keji. Gila, kasar, bahkan cabul. Tetangganya bahkan merekamnya dan menyebarkannya di media sosial. Masyarkat yang melihatnya langsung percaya dan menghujat dosen tersebut tanpa menggali informasi atau kebenaran yang sebenarnya. Bahkan framing menyesatkan itu menyebabkan beliau mundur sebagai dosen di Universitas yang diajarnya. Semua ini viral tanpa klarifikasi, dan korbannya adalah kebenaran itu sendiri.
Panduan dari Al-Qur’an di Dalam Dunia Digital
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin sebenarnya sudah memberikan panduan yang sangat jelas tentang bagaimana menyikapi informasi, jauh sebelum era internet lahir. Prinsip-prinsip ini masih relevan, bahkan sangat dibutuhkan di zaman sekarang.
Pertama, tabayyun atau klarifikasi.
Dalam QS. Al-Hujurat ayat 6, Allah berfirman:
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنۡ جَآءَكُمۡ فَاسِقٌ ۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوۡۤا….
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti…”
Dalam ayat ini, kita diperintahkan untuk selalu mengecek kebenaran dari setiap informasi yang kita terima dan tidak boleh menerimanya secara mentah-mentah. Dalam konteks digital, ini berarti: jangan buru-buru share sebelum verifikasi(My Love Faizah Putri et al., 2024).
Kedua, larangan berprasangka buruk dan menyebar gosip.
Dalam surat yang sama yaitu QS. Al-Hujurat, pada ayat 12 Allah berfirman:
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًا….
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.”
Allah dengan jelas melarang keras ghibah (menggunjing) dan su’udzan (prasangka buruk). Di dunia maya, gosip menyebar dengan kecepatan luar biasa. Kita sering ikut menghakimi seseorang hanya berdasarkan screenshot atau kabar simpang siur tanpa tahu kebenaran yang sebenarnya (Salsabilla & Nurrohim, 2024). Padahal, Al-Qur’an dengan tegas melarang perilaku ini.
Ketiga, kejujuran dan amanah dalam berkata.
Allah menegaskan dalam QS. Al-Ahzab ayat 70:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوۡلُوۡا قَوۡلًا سَدِيۡدًا ۙ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”
Media sosial sering membuat kita lupa bahwa setiap postingan, komentar, atau share adalah “perkataan” yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Maka bagaimanapun bentuk berita palsu itu, tetap merupakan bentuk ketidakjujuran yang nantinya akan ditanya di akhirat.
Nilai-nilai ini merupakan filter moral yang sangat praktis (Sutrisno et al., 2025). Bukan hanya ajaran relijius yang kaku. Jika setiap Muslim menerapkan prinsip-prinsip di atas pastinya sebelum mem-forward informasi dari media manapun itu, mereka akan memastikan kebenarannya sehingga hoaks dapat dicegah, juga dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran, maka pastinya banyak fitnah yang dapat dihindari (Cynthia & Sihotang, 2023).
Pentingnya Literasi Digital untuk Masyarakat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi dimaknai dengan kemampuan menulis dan membaca, mengetahui, dan mampu dalam mengolah informasi dan pengetahuan. Maka literasi digital dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami itu semua dalam dunia digital, ermasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk mengenali sumber informasi yang kredibel, membedakan opini dan data faktual serta memahami cara kerja algoritma media sosial. Literasi digital adalah termasuk hal yang urgen pada masa kini, karena dengan kemampuan itu kita dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang datang dari dunia siber(Nurrohim et al., 2024).
Namun, selain literasi digital, kita juga memerlukan etika. Maka di sinilah integrasi dengan nilai-nilai etika Qur’ani ini menjadi penting. Di tengah era sensasi media yang penuh jebakan, etika Qur’ani memberikan panduan moral yang sangat relevan dan aplikatif(Afifah et al., 2025). Dalam Al-Qur’an, kita diwajibkan untuk melakukan tabayyun ketika menerima suatu informasi dan tidak menelannya mentah-mentah. Selain itu kejujuran juga penting untuk mendorong kita supaya bertanggung jawab atas setiap informasi yang kita sebarkan. Kita juga harus bijak dalam bersikap terutama di media sosial dengan tidak mengedepankan prasangka buruk saat menerima informasi sehingga kita menjadi pribadi yang lebih empatik.
Penerapan praktis dari ketiga prinsip tersebut sederhana namun berdampak besar:
- Jeda sebelum share. Baca dulu keseluruhan artikel, bukan hanya judulnya.
- Cek sumbernya. Apakah media kredibel? Apakah ada sumber lain yang mengonfirmasi?
- Tanyakan pada diri sendiri. Apakah informasi ini bermanfaat? Atau hanya memicu perpecahan?
- Berpikir sebelum berkomentar. Apakah komentar saya sesuai dengan prinsip berkata yang benar?
Sebagai generasi Muslim yang hidup di era digital, kita punya tanggung jawab ganda: melek teknologi sekaligus beretika dalam menggunakannya. Media sosial bisa menjadi ruang penyebaran kebaikan atau justru fitnah, dua pilihan itu ada di tangan kita. Selain itu, literasi digital yang dipandu oleh nilai-nilai Qur’ani merupakan jalan menuju masyarakat yang cerdas, kritis, dan berakhlak mulia. Ketika jempol kita siap menekan tombol share, semoga akal dan hati nurani kita lebih dulu berbicara: “Sudahkah saya melakukan tabayyun?”
Penulis: Rifqi Maulana Hanif
Editor: Aryanti Artikasari

