ARTIKEL

Membumikan Al-Qur’an di Era Modern: Dari Bacaan ke Kesadaran Makna

Setiap sore, di masjid-masjid, madrasah diniyah, hingga ruang digital yang berjalan 24 jam tanpa henti, kita seringkali mendengar suara anak-anak dan remaja yang melantunkan ayat suci Qur’an dengan penuh semangat. Dari layar gawai, banyak kita temui qari yang berprofesi sebagai konten kreator ataupun pengguna media biasa, fasih dalam melantunkan indahnya ayat suci Qur’an dalam channel sosial media mereka yang mampu menjadi teladan dalam upaya mengajarkan Qur’an. Bahkan dalam ponsel genggam pun aplikasi belajar Qur’an semakin menjamur, lengkap dengan fitur suara qari, tajwid otomatis, dan gamifikasi hafalan sehingga mampu menarik perhatian umat muslim modern dalam proses memelajari Qur’an itu sendiri, sehingga dunia dewasa ini terkesan tampak begitu “Qur’ani”. Namun, pertanyaannya: apakah dari kita semua yang memanfaatkan berbagai metode dan sarana pembelajaran tersebut mampu benar-benar memahami apa yang kita baca, dan hafalkan itu, sehingga apa yang kita baca mampu tercermin dalam kehidupan sehari-hari ?

Kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya yang menggelisahkan. Banyak siswa, santri, dan bahkan guru Qur’an yang fasih membaca, bahkan banyak hafalan Qur’annya. Tapi belum pasti paham akan makna dari apa yang dia baca dan hafalkan. Pelajaran Qur’an sering sekadar berhenti di lisan, tanpa menyentuh kesadaran batin dan sosial. Akibatnya, Qur’an lebih terasa sebagai “materi ajar” ketimbang “Cahaya dan petunjuk kehidupan”. Quraish Shihab menerangkan bahwa kondisi ini dinilai sebagai krisis makna pada pembelajaran Qur’an, yaitu ketika teks dijaga dengan membaca dan menghafal, tapi pemaknaan secara konteksnya ditinggalkan begitu saja (Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 2007; Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dan Peranannya, 1986).

Dalam sejarah Panjang perkembangan Islam, pendidikan Qur’an dibangun di atas fondasi yang berusaha menjaga keaslian bacaan (tahqīq al-tilāwah) dan kesinambungan sanadnya. Para ulama klasik seperti as-Suyuthi menekankan pentingnya ketepatan bunyi dan makhraj huruf sebagai bentuk pemeliharaan wahyu. Tradisi ini mulia dan tak tergantikan. Namun, seiring perkembangan zaman, fokus tersebut jarang disertai dengan transformasi pemahaman yang kontekstual, Dimana hal ini adalah core daripada pembelajaran Qur’an itu sendiri.

Metode pembelajaran di banyak lembaga pendidikan Islam masih memposisikan Qur’an sebagai teks untuk dibaca dan dihafal, bukan sumber nilai yang menuntun cara berpikir dan bertindak. Proses pembelajaran lebih menonjolkan penguasaan tajwid dan hafalan ayat, sementara makna dan relevansinya bagi kehidupan sehari-hari sering terabaikan. Padahal, Qur’an sendiri berulang kali mengajak manusia untuk tafakkur (merenung) dan tadabbur (memahami dengan mendalam). Saat ayat-ayat hanya diulang tanpa diresapi, wahyu kehilangan kekuatan transformasinya (Al-Suyuthi, Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, 1996; Hasan Hanafi, Al-Turāth wa al-Tajdīd, 1980).

Saat ini, kita sedang hidup di zaman di mana Qur’an lebih mudah diakses dibandingkan masa mana pun sebelumnya. Setiap orang bisa membaca Qur’an secara mudah melalui berbagai website di jejaring sosial, mengunduh mushaf digital yang lengkap fitur pembelajaran dasarnya, mendengarkan tafsir melalui platform media sosial seperti Tiktok, Instagram, YouTube, atau mengikuti kelas tadabbur dan kajian Qur’an secara daring. Namun, kemudahan ini tidak otomatis melahirkan kedalaman pemahaman makna tersurat maupun tersiratnya. Di tengah kemajuan teknologi hari ini, muncul fenomena baru yang dapat disebut krisis literasi makna, yaitu ketika interaksi kita dengan Qur’an menjadi dangkal, cepat, dan seremonial.

Tanpa harus menyebutkan satu persatu nama aplikasi Qur’an yang tersedia di appstore pada gawai kita, sering dijumpai di berbagai aplikasi tersebut hanya berorientasi pada performa dan estetika aplikasi saja, kemudian ditinjau dari berapa ayat yang dibaca dan dihafal dalam kurun waktu tertentu, serta seberapa efisien aplikasi tersebut dapat digunakan dengan benar oleh pengguna. Tapi sedikit yang mampu mengajak pengguna untuk merenung: “apa pesan Tuhan dalam ayat ini yang bisa kita pakai sebagai tuntunan bagi kehidupan saya?” Akibatnya, Qur’an di era digital ini hanya sebatas menjadi konten yang dikonsumsi komersil saja, bukan sebagai pedoman yang patut untuk dihayati. Dalam bukunya yang berjudul Islam and Modernity, Fazlur Rahman menegaskan bahwa tantangan umat modern ini bukan hanya pada keterbatasan membaca teks secara benar menurut pelafalan dan hukum bacaan saja, tetapi menghidupkan Kembali pesan Ilahi yang mampu menjadi bahan bakar semangat moral dari apa yang dikandungnya (Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 1982; Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif Islam, 2010).

Krisis ini tidak hanya dialami oleh khalayak umum pengguna media sosial saja. Namun, baik dari pelajar, dan juga pendidik juga mengalami hal yang sama. Banyak guru ataupun seorang yang bergelar ustadz dan kyai sekalipun masih masih sering dijumpai terjebak dalam paradigma lama, yaitu mengajarkan Qur’an agar siswa bisa membaca dengan fasih dan menghafal dengan lancar, bukan memahami teks suci itu sehingga mampu dijadikan pedoman bagi individu yang ingin memelajarinya. Padahal, pembelajaran Qur’an yang sejati bukan sekadar transfer ilmu, melainkan proses membangun kesadaran spiritual dan sosial. Tanpa itu, Qur’an hanya akan terus sekedar dibaca hampa saja, tetapi tak pernah benar-benar “hidup” dalam perilaku umatnya.

Sudah saatnya dunia pendidikan Islam berani bertransformasi. Pembelajaran Qur’an harus bergeser dari orientasi bunyi menuju orientasi makna dan nilai implementatif. Ini bukan berarti mengabaikan aspek bacaan atau hafalan, tetapi menempatkannya sebagai pintu menuju pemahaman dan pengamalan. Dengan kata lain, belajar Qur’an seharusnya bukan hanya melatih lidah, tetapi juga menuntun akal dan hati.

Langkah awalnya adalah memperkaya materi pembelajaran Al-Qur’an dengan pendekatan integratif. Misalnya, setelah siswa membaca satu ayat, guru mengajak mereka mendiskusikan pesan moralnya dalam konteks kehidupan sehari-hari. Atau ketika menghafal surat-surat pendek, siswa diajak menulis refleksi singkat tentang nilai yang mereka temukan di dalamnya. Inilah pembelajaran Qur’ani yang menggabungkan bacaan, pemahaman, dan pengamalan (Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach, 2006; M. Amin Abdullah, Islam sebagai Ilmu, 2012).

Selain itu, perlu adanya pengembangan metode pembelajaran dalam lingkup literasi digital Qur’ani sebagai upaya mendidik generasi Muslim agar mampu memanfaatkan teknologi untuk memahami makna teks Suci, bukan sekadar mengejar capaian kognitif dan tujuan komersil saja. Bayangkan jika aplikasi Qur’an bukan hanya menyediakan suara qari, tapi juga ruang refleksi, diskusi tafsir ringan, atau proyek sosial berbasis nilai Qur’ani. Maka, teknologi tidak lagi menjadi pengalih, tetapi penggerak spiritualitas.

Referensi

Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Hasan Langgulung. Pendidikan Islam dan Peranannya dalam Pembangunan Umat. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.

Jalaluddin Al-Suyuthi. Al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr, 1996.

Hasan Hanafi. Al-Turāth wa al-Tajdīd: Mawqifunā min al-Turāth al-Qadīm. Kairo: al-Markaz al-‘Arabī li al-Buhūts, 1980.

Fazlur Rahman. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.

Abuddin Nata. Pendidikan dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2010.

Abdullah Saeed. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London: Routledge, 2006.

M. Amin Abdullah. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Mohammad Arkoun. Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers. Boulder: Westview Press, 1994.

Khaldun, Ibn. Muqaddimah Ibn Khaldun. Kairo: Dar al-Fikr, 2005.

Al-Ghazali. Ihya’ Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, tanpa tahun.

Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1994.

M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta: Mizan, 1998.

Azyumardi Azra. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana, 2012.

Yusuf al-Qaradawi. Kaifa Nata’amalu ma’a al-Qur’an al-Karim. Kairo: Maktabah Wahbah, 1999.

Penulis: Purinindra Ghatan Ramadan

Mahasiswa Fakultas Agama Islam Prodi Ilmu Quran dan Tafsir

085923356218

Editor:Rauuf Bukhari

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *