Membingkai Spiritualitas Qur’ani di Tengah Arus Digitalisasi Pembelajaran
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Islam mengalami perubahan besar seiring derasnya arus digitalisasi. Proses pembelajaran yang dulunya berlangsung secara langsung di majelis taklim atau ruang kelas kini banyak beralih ke ranah virtual. Al-Qur’an pun tidak lagi hanya dipelajari melalui mushaf dan kitab tafsir cetak, tetapi juga lewat aplikasi digital, video interaktif, hingga kecerdasan buatan AI (Artificial Intelligence). Fenomena ini menjadi tanda bahwa kemajuan teknologi telah memasuki hampir semua aspek kehidupan, termasuk dalam cara manusia berinteraksi dengan wahyu.
Perubahan tersebut tentu membawa dampak positif. Teknologi menjadikan proses belajar Al-Qur’an lebih mudah diakses, cepat, dan efisien. Jika dahulu seseorang harus membuka lembar demi lembar kitab tafsir untuk memahami satu ayat, kini cukup dengan mengetik satu kata, seluruh tafsir klasik dan kontemporer bisa muncul di layar. Bahkan, dengan bantuan algoritma dan AI, pengguna dapat menemukan hubungan tematik antarayat, menganalisis makna kata, hingga menelusuri konteks penafsiran ulama secara instan. Kemudahan ini menunjukkan betapa besarnya potensi teknologi untuk memperluas jangkauan pembelajaran Al-Qur’an di era modern.
Namun di balik kemudahan itu, muncul kekhawatiran baru: jangan-jangan proses belajar yang serba cepat justru membuat kita kehilangan kedalaman makna. Dalam tradisi keilmuan Islam, memahami Al-Qur’an tidak hanya berkaitan dengan kemampuan intelektual, tetapi juga pengalaman spiritual. Membaca dan menafsirkan ayat bukan sekadar proses rasional, melainkan juga perjalanan ruhani yang menuntut ketenangan, keikhlasan, dan adab terhadap kalam Allah. Ketika teknologi menjadikan semua hal instan, ada risiko nilai-nilai itu perlahan terkikis.
AI (Artificial Intelligence ) dan Pembelajaran Qur’ani: Antara Bantu dan Batas
Kehadiran kecerdasan buatan telah membawa babak baru dalam dunia pendidikan Islam. Dalam konteks Ilmu Al-Qur’an, AI mampu melakukan banyak hal yang dulu tidak terpikirkan. Ia dapat mengelompokkan ayat berdasarkan tema, menyalin bacaan qari’ dengan suara hampir sempurna, atau bahkan menulis penjelasan tafsir dengan bahasa yang terstruktur. Inovasi ini memang mengagumkan, namun di sisi lain perlu diwaspadai agar tidak menjauhkan manusia dari esensi spiritual belajar Al-Qur’an.
AI mampu menghadirkan data, tetapi tidak dapat menghadirkan rasa. Ia bisa meniru suara tilawah, namun tidak bisa menumbuhkan kekhusyukan. Ia bisa menampilkan makna ayat, tetapi tidak bisa menghadirkan getaran batin yang muncul ketika seseorang membaca firman Allah dengan penuh penghayatan. Dalam tradisi keilmuan Islam, seorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga pembimbing spiritual. Relasi antara murid dan guru dibangun atas dasar adab, kasih sayang, dan ketulusan. Hubungan semacam ini mustahil digantikan oleh sistem kecerdasan buatan, betapapun canggihnya teknologi tersebut.
Maka dari itu, penggunaan AI dalam pembelajaran Al-Qur’an perlu dibingkai dengan kebijaksanaan digital. Artinya, teknologi harus ditempatkan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti nilai-nilai dasar pendidikan Islam. Pemanfaatan AI seharusnya diarahkan untuk memperkaya pengalaman belajar, bukan sekadar mempercepatnya.
Tantangan terbesar generasi hari ini bukanlah keterbatasan akses, melainkan menjaga kehadiran hati di tengah kemudahan. Ketika semua informasi bisa diperoleh hanya dalam hitungan detik, kita sering lupa berhenti sejenak untuk tadabbur, yaitu merenungkan pesan di balik ayat. Padahal, tadabbur inilah yang membedakan antara belajar secara intelektual dan belajar secara spiritual. Sikap bijak terhadap teknologi menjadi sangat penting. Dalam setiap aktivitas pembelajaran digital, niat dan kesadaran tetap menjadi fondasi utama. Membuka aplikasi tafsir, misalnya, seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas mencari pengetahuan, melainkan juga sebagai bentuk ibadah yang menghidupkan hubungan dengan Allah. Jika dulu kita menatap mushaf dengan rasa takzim atau memuliakan, maka kini pun kita bisa menatap layar dengan rasa yang sama, asal hati kita tetap hadir.
Mahasiswa dan akademisi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir memiliki peran strategis dalam hal ini. Mereka bukan hanya penerima ilmu, tetapi juga calon perancang desain pembelajaran Islam di masa depan. Tantangan kita bukan lagi sekadar memahami teks, tetapi bagaimana merancang sistem pembelajaran yang mampu mengintegrasikan kecerdasan teknologi dengan nilai-nilai ruhani. Bayangkan jika suatu hari ada platform pembelajaran Al-Qur’an yang bukan hanya menyajikan tafsir digital, tetapi juga menanamkan adab membaca, menumbuhkan rasa syukur, dan mengingatkan pengguna untuk berdzikir sebelum memulai. Itulah bentuk ideal dari pembelajaran Qur’ani di era digital.
Pada akhirnya, teknologi hanyalah jembatan yang dapat mempercepat langkah, tetapi tidak menentukan arah. Digitalisasi pembelajaran Al-Qur’an menjadi berkah ketika digunakan dengan niat yang lurus dan kesadaran spiritual yang kuat. AI boleh membantu manusia memahami ayat-ayat Allah, namun tidak akan pernah mampu menggantikan pengalaman ruhani yang lahir dari interaksi langsung antara hamba dan Tuhannya.
Spiritualitas Qur’ani tidak akan pudar selama kita mampu menyeimbangkan antara akal dan hati, antara data dan doa. Tantangan terbesar kita hari ini bukan bagaimana membuat teknologi semakin canggih, tetapi bagaimana memastikan bahwa di tengah kecanggihan itu, cahaya Al-Qur’an tetap hidup di dalam diri.
Pada akhirnya, semua dinamika ini membawa kita pada perenungan yang lebih dalam tentang arah Pendidikan Qur’ani di era modern. Kemajuan teknologi dan hadirnya kecerdasan buatan bukan lagi sekedar alat bantu, melainkan bagian dari lanskap baru dalam perjalanan manusia memahami wahyu-Nya. Namun justru di titik inilah ujian sebenarnya muncul, apakah kita akan menjadikan teknologi sebagai jalan menuju kedekatan dengan Al-Qur’an, atau malah terjebak dalam sekadar kemudahan dan efisiensi yang hampa akan makna. Digitalisasi memberi banyak ruang baru untuk belajar, tetapi sekaligus menuntut kebijaksanaan dalam menggunakannya. Sebab yang sejati dari pembelajaran Al-Qur’an bukan hanya tentang seberapa cepat kita memahami teks, mealinkan seberapa dalam kita mampu merasakan maknanya.
Penulis: SILFI AZAROH FATLA HUMAIROH
Editor: Rauuf Bukhari

