ARTIKEL

Ketika Ayat-Ayat Qur’an Mengajarkan Empati

Di tengah derasnya arus informasi dan komentar di dunia digital, manusia kini mudah menilai, cepat bereaksi, tapi sulit berempati. Kita terbiasa memberi opini, namun jarang berhenti untuk memahami. Empati yang merupakan kemampuan untuk ikut merasakan perasaan orang lain seolah menjadi barang langka di tengah kehidupan yang serba cepat. Padahal, Al-Qur’an telah mengajarkan nilai ini jauh sebelum istilah “empati” dikenal dalam psikologi modern.

Menurut Eisenberg (2005), empati muncul dari kemampuan seseorang memahami dan ikut merasakan kondisi emosional orang lain. Carl Rogers bahkan menyebut empati sebagai kemampuan “merasakan dunia pribadi orang lain seolah-olah itu milik kita sendiri, tanpa kehilangan kesadaran diri.” Dalam psikologi modern, empati mencakup dua dimensi utama: kemampuan berpikir dan kemampuan merasakan (Diswantika & Yustiana, 2022).

Empati dalam Perspektif Qur’ani

Dalam pandangan Al-Qur’an, empati bukan hanya soal ikut merasakan, tetapi juga tentang kesadaran iman yang melahirkan tindakan sosial. Allah berfirman dalam QS. Al-Ma’un [107]: 1–3,

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.”

Ayat ini menggambarkan bahwa keimanan sejati tidak berhenti pada ritual, tetapi diwujudkan melalui kepedulian sosial. Orang yang tidak memiliki empati terhadap sesama bahkan dianggap mengingkari esensi agama. Penelitian Rasyid Nurchari dkk. (2023) menegaskan bahwa Surah Al-Ma’un berperan penting dalam pendidikan karakter anak karena menanamkan nilai sosial seperti tolong-menolong dan kasih sayang.

Dalam konteks Qur’ani, empati merupakan lawan dari istikbar (kesombongan). Nurrohim dkk. (2024) dalam Qur’anic Semantics of Arrogance menjelaskan bahwa kesombongan membuat seseorang menutup diri dari memahami perasaan orang lain. Allah berfirman:

“Aku akan memalingkan dari tanda-tanda-Ku orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A’raf [7]: 146)

Kesombongan menutup hati, sementara empati membukanya. Ketika seseorang menundukkan ego untuk memahami orang lain, ia sedang membersihkan jiwanya dari sifat takabbur. Sebagaimana dikatakan Ubaidillah dkk. (2023), perubahan sejati dalam diri manusia dimulai dari kesadaran spiritual untuk memperbaiki diri termasuk dalam memperlakukan sesama.

Teladan Empati dari Rasulullah ﷺ

Rasulullah ﷺ adalah teladan sempurna dalam empati. Beliau menangis saat melihat anak kecil kehilangan orang tuanya, menenangkan sahabat yang berduka, dan tidak pernah membalas kejahatan dengan keburukan. Dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan, ketika anak salah satu sahabat meninggal, beliau meneteskan air mata dan berkata:

“Ini adalah rahmat yang Allah letakkan dalam hati hamba-hamba-Nya yang penuh kasih.”

Menurut Fatimah & Nurrohim (2025), empati adalah bagian dari tazkiyatun nafs yaitu proses penyucian jiwa yang menumbuhkan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Pendidikan Islam seharusnya tidak hanya menumbuhkan kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Saat seseorang meneladani empati Rasulullah, ia sedang berlatih ihsan yaitu berbuat baik seolah-olah melihat Allah, dan menyadari bahwa Allah selalu melihatnya.

Empati di Era Digital

Namun di zaman ini, empati sering tergerus oleh dunia maya. Media sosial yang seharusnya mempererat hubungan justru sering memunculkan ujaran kebencian dan penilaian cepat tanpa pemahaman. Menurut Maharani dkk. (2025) dalam penelitiannya Integrasi Nilai-nilai Islam dalam Pemanfaatan Teknologi Digital oleh Generasi Z di Era Modern, teknologi seharusnya menjadi alat untuk memperkuat nilai Islam, bukan melemahkan moralitas sosial.

Selain itu, Nur Wahid dkk. (2025) dalam Interpersonal Ethical Principles in the Qur’an menegaskan bahwa komunikasi etis dalam Islam menuntut adanya kesadaran empatik terhadap lawan bicara. Setiap interaksi harus mencerminkan nilai rahmah (kasih sayang) dan ihsan (kebaikan) sebagai wujud akhlak Qur’ani. Dengan kata lain, komunikasi yang baik bukan hanya tentang tutur kata yang sopan, tetapi juga kemampuan memahami perasaan orang lain.

Dengan bijak, nilai Qur’ani dapat dihidupkan kembali di ruang digital, lewat kata-kata yang menenangkan, konten yang membangun, dan interaksi yang penuh kasih. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. An-Nahl [16]: 125:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik.”

Ayat ini menegaskan bahwa komunikasi yang baik harus didasari empati dan hikmah bukan kemarahan, tapi kelembutan; bukan menyakiti, tapi menenangkan.

Empati adalah cermin dari hati yang lembut. Ia bukan sekadar kemampuan sosial, tapi manifestasi iman yang hidup dalam diri seorang mukmin. Al-Qur’an menuntun manusia untuk memiliki kepekaan terhadap penderitaan orang lain agar rahmat Allah benar-benar terasa di bumi. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Orang yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.” (HR. Tirmidzi)

Ketika ayat-ayat Qur’an mengajarkan empati, sejatinya Allah sedang mengingatkan manusia agar menjadi cermin kasih-Nya di dunia. Karena memahami orang lain adalah salah satu cara kita memahami pesan Allah tentang cinta, rahmah, dan kemanusiaan. 

Penulis: Vika Nurfitria Noviana

Editor: Aryanti Artikasari

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *