ARTIKEL

Iduladha: Mengasah Jiwa Pengorbanan untuk Keadilan dan Kesejahteraan Bersama

Hari Raya Iduladha selalu datang dengan kehangatan khas: gema takbir yang menggema di seluruh penjuru, barisan salat Id yang menyatu dalam kekhusyukan, dan aroma daging kurban yang memenuhi udara. Lebaran Haji, sebagaimana masyarakat menyebutnya, sering dimaknai sebagai momen penyembelihan hewan kurban semata. Padahal, di balik ritus yang telah diwariskan selama berabad-abad ini, tersimpan pesan spiritual dan sosial yang sangat relevan dengan tantangan zaman.

Iduladha tidak semata-mata seremoni tahunan. Ia adalah panggilan untuk menumbuhkan jiwa pengorbanan demi terwujudnya keadilan sosial dan kemaslahatan bersama. Kisah monumental Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan menyembelih putranya, Nabi Ismail AS, adalah simbol dari kepatuhan dan ketundukan pada kehendak Ilahi. Namun kepatuhan ini bukanlah kepatuhan membuta, melainkan dibangun melalui dialog dan kesadaran penuh. Sebagaimana terekam dalam Al-Qur’an (QS. Ash-Shaffat: 102–107), Nabi Ibrahim berdialog dengan Ismail, dan keduanya rela tunduk pada kehendak Allah. Pada akhirnya, Ismail tidak disembelih, tetapi digantikan dengan domba. Ini menunjukkan bahwa yang dikehendaki Allah bukan darah dan daging semata, melainkan kualitas ketakwaan dan keikhlasan.

Pesan ini ditegaskan kembali dalam QS. Al-Hajj ayat 37: “Daging dan darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” Ayat ini mengarahkan umat Muslim agar tidak terjebak dalam simbol dan bentuk luar, tetapi menggali makna terdalam dari setiap amal ibadah. Kurban bukan sekadar tindakan simbolik, tapi juga merupakan sarana untuk menyembelih ego, individualisme, dan keterikatan berlebihan pada dunia, demi meraih kedekatan spiritual dan solidaritas sosial.

Menantang Ketimpangan Struktural

Pembagian daging kurban merupakan bentuk paling konkret dari prinsip keadilan distributif dalam Islam. Namun, semangat kurban seharusnya tidak berhenti pada tindakan karitatif. Ia adalah panggilan untuk menyelami akar ketimpangan sosial yang menyebabkan kemiskinan terus-menerus hadir di tengah masyarakat. Dalam terminologi sosiologi Islam, ketimpangan ini disebut al-tabayyun al-ijtima’i al-bunyawi, ketimpangan struktural yang bersumber dari sistem ekonomi dan politik yang eksploitatif.

Dalam Islam, konsep al-‘adl (keadilan) adalah prinsip fundamental yang mencakup keadilan hukum, sosial, dan ekonomi. Sayyid Qutb menyebut al-‘adl sebagai pilar yang menjamin hak semua pihak secara proporsional, tanpa dipengaruhi oleh hawa nafsu dan relasi kuasa. Dalam konteks Iduladha, semangat ini mengajak kita untuk tidak hanya “memberi daging,” tetapi juga mempertanyakan sistem yang membuat seseorang harus terus-menerus menerima, tanpa diberdayakan.

Konsep maqashid al-shari’ah (tujuan-tujuan luhur syariat) meletakkan al-‘adl sebagai pilar utamanya. Perlindungan terhadap jiwa (hifz al-nafs), harta (hifz al-mal), dan martabat (hifz al-‘irdh) harus diwujudkan melalui sistem sosial yang adil. Bila kurban hanya menjadi ajang pamer kekayaan atau ritual tahunan tanpa refleksi kritis, maka ia kehilangan ruhnya sebagai instrumen transformasi sosial. Sebaliknya, pengorbanan sejati adalah pengorbanan atas kenyamanan, privilese, dan kepentingan sempit demi kemaslahatan bersama.

Kurban untuk Mustadh’afin

Lebih dari sekadar kewajiban syariat, kurban juga sarat dengan dimensi ihsan, berbuat baik secara optimal dan dengan niat paling tulus. Rasulullah SAW mendefinisikan ihsan sebagai “beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.” Dalam praktik kurban, ihsan berarti tidak hanya memilih hewan terbaik dan menyembelih dengan penuh etika, tapi juga memastikan bahwa manfaatnya sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.

Kelompok yang dimaksud adalah mustadh’afin (kaum tertindas), terpinggirkan, atau dilemahkan oleh sistem. Islam menunjukkan keberpihakan tegas kepada mereka. Dalam konteks sosial modern, mustadh’afin dapat merujuk pada buruh dengan upah tak layak, petani tanpa akses tanah, atau masyarakat adat yang tersingkir akibat proyek pembangunan. Kurban yang dijiwai oleh semangat ihsan harus mengarah pada pemberdayaan kelompok ini, bukan sekadar memberikan bantuan konsumtif sesaat.

Falah (kesejahteraan sejati dunia-akhirat) bagi kaum mustadh’afin adalah cita-cita luhur dalam Islam. Untuk mencapainya, pengorbanan yang lebih besar dibutuhkan: pengorbanan waktu, tenaga, bahkan keistimewaan sosial dan ekonomi yang kita miliki. Ini adalah bentuk pengorbanan struktural yang mengarah pada perubahan sistem. Dalam konteks ini, kurban menjadi semacam aksi sosial yang terinspirasi oleh ajaran spiritual.

Revitalisasi Spirit Kurban di Era Modern

Dalam dunia yang serba cepat dan konsumtif, ritual keagamaan seperti Iduladha berisiko direduksi menjadi sekadar tradisi kosong. Rutinitas tahunan menyembelih hewan bisa kehilangan makna jika tidak disertai refleksi kritis. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk terus mengkontekstualisasikan makna kurban dengan realitas zaman.

Kurban hari ini tidak cukup hanya dalam bentuk hewan. Yang lebih mendesak adalah kurban dalam bentuk solidaritas antarkelas, perjuangan melawan ketidakadilan sosial, dan partisipasi aktif dalam gerakan kemanusiaan. Kita perlu membaca ulang kisah Ibrahim-Ismail sebagai ajakan untuk menyembelih ego kolektif kita, apatisme, kemapanan palsu, dan kepentingan individu, demi membangun masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.

Dalam konteks global yang ditandai oleh krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan konflik kemanusiaan, semangat kurban harus menjelma menjadi gerakan yang lebih nyata: mendukung distribusi kekayaan yang adil, mendesak perlindungan terhadap kelompok rentan, dan menolak sistem yang melanggengkan ketidakadilan.

Iduladha bukan sekadar warisan budaya atau kewajiban syariat. Ia adalah momentum spiritual yang seharusnya melahirkan kesadaran sosial baru. Spirit kurban yang diwariskan Nabi Ibrahim dan Ismail adalah ajakan untuk memperjuangkan keadilan, menumbuhkan empati, dan menciptakan perubahan. Dalam semangat itu, setiap tetes darah hewan kurban seharusnya menjadi simbol pengorbanan atas ketidakadilan, bukan sekadar ritual tanpa makna.

Pengorbanan hakiki adalah ketika kita rela meninggalkan zona nyaman, mengorbankan privilese, dan memperjuangkan kemanusiaan. Dengan demikian, Iduladha akan terus hidup sebagai festival spiritual dan sosial yang membebaskan, bukan membelenggu dalam rutinitas tanpa ruh.

Penulis: Tammam Sholahudin

Editor: Aryanti Artikasari

admin

Islamika Media Group merupakan Lembaga Pers Mahasiswa yang berada di bawah naungan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *