Critical Digital Literacy dalam Pembelajaran Tafsir: Membentuk Mahasiswa Gen-Z sebagai Konsumen Cerdas Tafsir Digital
Dalam konteks era digital, mahasiswa Generasi Z yang tumbuh di tengah kemajuan teknologi informasi menjadi pengguna utama konten tafsir digital, namun kondisi ini menuntut kemampuan berpikir kritis yang tinggi. Kemudahan akses terhadap berbagai sumber tafsir di internet membawa konsekuensi serius, terutama terkait kemampuan mahasiswa dalam memilah keaslian, menilai kredibilitas, dan memahami relevansi interpretasi Al-Qur’an. Konsep critical digital literacy, sebagaimana dijelaskan oleh UNESCO (2023) dan Vuković (2025), menekankan pentingnya kecakapan tidak hanya dalam mengakses informasi digital, tetapi juga dalam menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi pengetahuan secara etis dan reflektif. Dalam konteks tafsir, kemampuan ini menjadi kunci untuk mencegah penyebaran misinformasi dan distorsi makna ayat yang dapat muncul akibat interpretasi algoritmik atau sumber yang tidak otoritatif. Meskipun Gen-Z unggul dalam kemampuan teknologis dan adaptasi digital, mereka tetap memerlukan pendampingan akademik dan spiritual agar tidak terjebak menjadi konsumen pasif dari “banjir informasi” keagamaan yang tidak selalu valid. Dengan membekali mahasiswa critical digital literacy, pendidikan tafsir di era digital dapat membentuk generasi yang melek teknologi sekaligus cerdas, kritis, dan bertanggung jawab dalam memahami Al-Qur’an.
Transformasi Mahasiswa Menjadi Konsumen Cerdas Tafsir Digital
Pendekatan pembelajaran tafsir yang berorientasi pada critical digital literacy bertujuan untuk mentransformasi mahasiswa dari sekadar konsumen pasif menjadi pembelajar aktif dan kritis dalam memanfaatkan sumber-sumber tafsir digital. Melalui pendekatan ini, mahasiswa dilatih untuk memvalidasi kredibilitas sumber, memahami metodologi penafsiran yang digunakan, serta melakukan perbandingan antar-tafsir dari ulama otoritatif guna memperoleh pemahaman yang komprehensif dan autentik terhadap Al-Qur’an.
Menurut UNESCO (2023) dan Lukman (2018), literasi digital yang dikembangkan dalam konteks studi Islam harus mengintegrasikan tradisi keilmuan klasik dengan kompetensi digital modern, sehingga mahasiswa tidak hanya melek teknologi tetapi juga memahami dimensi epistemologis dan etis penafsiran. Oleh karena itu, kurikulum interdisipliner yang memadukan studi tafsir klasik dengan pelatihan evaluasi sumber digital sangat diperlukan, termasuk pemanfaatan platform tafsir berbasis AI yang dilengkapi fitur analisis linguistik dan kontekstual. Namun demikian, sebagaimana diingatkan oleh Nirwana (2024), peran ulama dan dosen tetap esensial dalam memverifikasi hasil interpretasi mesin agar keabsahan tafsir tetap terjaga. Dengan demikian, transformasi ini tidak hanya memperkuat kapasitas intelektual mahasiswa, tetapi juga menanamkan tanggung jawab akademik dan spiritual dalam memahami pesan Al-Qur’an di era digital.
Aspek Kognitif, Afektif, dan Sosial dalam Pembelajaran Tafsir Digital
Pembelajaran critical digital literacy dalam konteks tafsir Al-Qur’an tidak hanya menekankan aspek kognitif, yakni kemampuan mahasiswa dalam menganalisis dan mengevaluasi isi tafsir digital secara kritis, tetapi juga mencakup dimensi afektif dan sosial. Secara afektif, mahasiswa perlu dibentuk memiliki sikap skeptis yang sehat, yaitu kemampuan untuk bersikap hati-hati terhadap informasi keagamaan yang beredar di media sosial tanpa terjebak dalam opini dangkal, provokatif, atau kontroversial. Sementara secara sosial, literasi digital yang kritis melatih mahasiswa menjadi agen perubahan positif yang berperan aktif dalam menanggulangi penyebaran tafsir keliru, ekstrem, atau radikal di lingkungan masyarakat digital. Menurut UNESCO (2023) dan Harrison (2025), pendidikan literasi digital yang efektif harus mengintegrasikan keterampilan analitis, nilai etis, serta tanggung jawab sosial untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat dan inklusif. Dalam konteks ini, peran pendamping akademik dan ulama menjadi sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara kedalaman ilmu tafsir tradisional dan adaptasi terhadap metode modern, sehingga pemaknaan terhadap Al-Qur’an tetap terjaga baik dari sisi spiritualitas maupun integritas keilmuannya.
Tantangan, Solusi, dan Harapan ke Depan dalam Literasi Tafsir Digital
Meskipun penerapan critical digital literacy dalam pembelajaran tafsir memiliki urgensi yang tinggi, realisasinya masih menghadapi sejumlah tantangan struktural dan pedagogis. Salah satu hambatan utama adalah kesenjangan akses terhadap teknologi dan ketimpangan kemampuan literasi digital di berbagai wilayah, yang menyebabkan tidak semua mahasiswa memiliki kesempatan dan sarana memadai untuk mengoptimalkan pembelajaran tafsir digital. Menurut UNESCO (2023) dan Ilomäki (2023), pemerataan akses teknologi serta pelatihan literasi digital yang berkelanjutan harus menjadi prioritas lembaga pendidikan dan pemerintah untuk mewujudkan inklusivitas dalam pendidikan keagamaan.
Sebagai solusi, penerapan model pembelajaran interaktif seperti gamifikasi, diskusi daring, serta proyek riset digital berbasis kolaborasi dinilai efektif dalam meningkatkan motivasi dan partisipasi aktif mahasiswa Gen-Z yang memiliki kecenderungan belajar dinamis dan partisipatif. Dengan pendekatan tersebut, pembelajaran tafsir tidak hanya berorientasi pada penguasaan teknologi, tetapi juga menanamkan tanggung jawab moral, etika keilmuan, dan kesadaran spiritual dalam memahami serta menyebarkan kajian Al-Qur’an. Ke depan, diharapkan integrasi literasi digital kritis ini dapat melahirkan generasi Muslim yang adaptif terhadap perubahan digital, namun tetap berpegang pada nilai-nilai keilmuan dan moderasi Islam dalam menjaga otentisitas penafsiran Al-Qur’an.
Penulis : Dava Agus Pratama Putra
Editor : Nahrul Firdaus Achmadika

