Cara Menghadapi Kesulitan dalam Q.S Al-Baqarah Ayat 155
Manusia adalah makhluk yang paling kuat yang Allah ciptakan untuk bertahan di muka bumi dengan segala keterbatasannya. Namun, di sisi lain, ia juga merupakan makhluk yang paling rentan secara mental. Hal ini karena manusia diciptakan dengan segumpal daging bernama hati, ruang yang paling lembut dan mudah retak oleh tekanan hidup. Di balik kekuatan fisik dan kecerdasan akal yang Allah anugerahkan, tersimpan jiwa yang mudah terguncang oleh ketakutan dan keresahan hidup.
Allah berfirman:
لَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
“Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang sabar” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 155).
Di dalam ayat surah Al-Baqarah ini dijelaskan bahwa semua hamba-Nya pasti akan diuji oleh Allah entah itu berupa rasa takut, lapar, keresahan hidup, ataupun masalah ekonomi. Semua masalah-masalah ini bisa memberikan kegelisahan kepada manusia dan dapat menyebabkan tekanan mental jika berkelanjutan ke tahap yang serius. Manusia diciptakan dengan emosi yang beraneka macam dari rasa khawatir, takut, cemas, dan lain sebagainya. Dan di Islam, kita diajarkan untuk menerima semua emosi yang lahir dari diri kita dengan penuh pengertian dan kesabaran. Ketika kita mengalami perasaan sedih, cemas, khawatir alangkah baiknya untuk tidak menyembunyikan perasaan itu.
Biarkan semua emosi takut, gelisah, yang kita rasakan mengalir semestinya tapi jangan sampai berlarut-larut dalamnya. kita membatasi perasaan itu dengan sabar. Sabar bukanlah berarti kita membentengi diri kita untuk tidak merasakan emosi, tapi dia mengajarkan kita tentang pengendalian diri yang baik. Dalam islam, hal terpenting yang harus diperhatikan adalah kesehatan mental. Permasalahan mental seringkali berhubungan erat dengan persoalan tauhid atau keimanan bahkan akhlak seseorang.
Salah satu terapi untuk menjaga ketenangan batin adalah dengan berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan memperbanyak amalan yang mendekatkan diri kepada Allah. The Qur’an serves not only as a guide to life, but also gives physical and mental life to humans (Al-Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai panduan hidup, tetapi juga memberi kehidupan fisik dan mental bagi manusia) (Susanto & Nurrohim, 2025: 2).
Allah juga berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 28).
Ayat ini merupakan metode Qur’ani dalam menghadapi kecemasan (Kirana & Nurrohim, 2024: 428). Hal ini memperkuat pandangan Bustaman bahwa kesehatan mental tidak akan terbentuk jika hanya mengandalkan logika dan nalar semata, sentuhan agama menjadi bagian mutlak untuk mengembangkan mental yang sehat (Hanna Jumhanna Bustaman: 2001).
Kita selalu punya kendali untuk setiap emosi yang kita rasakan. Di dalam filsafat stoikisme terdapat mekanisme latihan mental yang dinamakan premeditation malorum alias membayangkan semua kemungkinan buruk yang terjadi. Di dalam ayat sebelumnya dijelaskan bahwa Allah akan menguji kita dengan berbagai cobaan atau kesulitan, maka kita perlu mempersiapkan mental untuk menghadapinya. Dan jika itu terjadi kepada diri kita, kita akan tetap baik-baik saja dan tetap bisa menjalankan kehidupan kita dengan baik (Indra, 2024: 78).
Rasa sabar menjadi kekuatan besar dalam menghadapi berbagai ujian. Ayat ini bukan pertanda bahwa Allah ingin memberatkan hamba-hamba-Nya, melainkan bentuk kasih sayang agar manusia belajar untuk tetap kuat di tengah cobaan. Setiap orang diuji sesuai kadar kemampuannya. Sayangnya, banyak yang merasa tidak adil atas takdir yang diterima karena menilainya dari sudut pandang terbatas. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah, ujian justru menjadi sarana pembentukan diri agar manusia tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dan tidak mudah menyerah.
Ada berbagai metode yang bisa dilakukan untuk mengurangi depresi atau gangguan mental yang dihadapi seseorang. Tetapi hal tersebut tidak sebanding dengan problematika yang semakin meluas. Kecemasan dan gangguan mental masih dianggap sebagai isu yang tidak baik dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang yang memiliki kecemasan, atau gangguan mental di anggap buruk oleh masyarakat sekitar yang menyebabkan pengasingan dan pengucilan. Banyak orang yang mengalami gangguan mental yang seharusnya menjadi pengingat bagi kita untuk selalu menjaga kesehatan mental kita (Maulita, Adiningsih, Noviawati, Ristika, Hartanti, Apni, Nurrohim, 2024: 2).
Pertanyaannya, apakah sabar dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 155 menjadi jawaban atas semua kegelisahan? Jawabannya, iya. Sabar adalah kunci penstabil emosi dan pengendali diri. Orang yang mampu bersabar dalam berbagai kondisi memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi (Nasrullah, 2019). Secara psikologis, sabar adalah mekanisme pertahanan dinamis untuk mengatasi ujian yang menimpa manusia sebagai hamba Allah sekaligus khalifah di muka bumi (Ernadewita & Rosdialena, 2019: 7).
Dalam surah Al-Baqarah [2]: 155 juga dijelaskan bahwa orang-orang yang sabar akan memperoleh busyra (kabar gembira). Mereka yang sabar tetap bertahan dengan segala ujiannya adalah orang yang beruntung, karena akan mendapat tiga balasan dari Allah, yaitu shalawat (pujian dan rahmat Allah), rahmah (kasih sayang Allah), dan hidayah (petunjuk menuju kebenaran) (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid 1, hlm. 456).
Kesabaran dapat dipahami sebagai suatu kemampuan individu untuk mengendalikan diri dan menjaga stabilitas emosi dalam menghadapi berbagai situasi. Sabar juga berarti kesiapan menerima kenyataan hidup dengan lapang dada, meskipun kenyataan tersebut tidak selalu sejalan dengan apa yang diharapkan. Sikap ini menumbuhkan ketenangan batin, membantu seseorang berpikir jernih, serta bertindak dengan bijak mempertimbangkan dampak jangka panjang. Lebih dari itu, kesabaran menumbuhkan keikhlasan dalam menerima ujian sehingga terbentuk pribadi yang kuat, tangguh, dan tidak mudah goyah. Pada akhirnya, kesabaran menjadi fondasi utama untuk menghadapi segala kesulitan hidup dan menemukan ketenteraman sejati.
Penulis: Nurfitri R. Saputri
Editor: Aryanti Artikasari

