Analisis Persepsi Mahasiswa terhadap Penggunaan ChatGPT dalam Pembelajaran Tafsir
Di era digital saat ini, kecerdasan buatan Artificial Intelligence atau yang biasa kita sebut AI semakin merambah berbagai bidang kehidupan, termasuk dunia pendidikan Islam. Salah satu wujud AI yang banyak diperbincangkan adalah ChatGPT, sebuah teknologi berbasis pemrosesan bahasa alami (Natural Language Processing) yang mampu berdialog layaknya manusia. Menariknya, ChatGPT mulai dimanfaatkan oleh sebagian mahasiswa dalam memahami materi perkuliahan, termasuk mata kuliah tafsir Al-Qur’an. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan menarik: Bagaimana persepsi mahasiswa terhadap penggunaan ChatGPT dalam proses pembelajaran tafsir?
Pembelajaran tafsir membutuhkan pemahaman mendalam terhadap konteks bahasa Arab, asbabun nuzul (sebab turun ayat), pendapat ulama, serta pendekatan analitis. Bagi mahasiswa generasi Z yang hidup di tengah arus informasi cepat, tantangan terbesar adalah menemukan penjelasan yang praktis dan mudah dipahami tanpa mengorbankan keakuratan tafsir. ChatGPT hadir sebagai “Teman Diskusi” yang memberikan jawaban instan, ringkas, dan sering kali sistematis. Dalam konteks belajar tafsir, kondisi ini menimbulkan tantangan baru. Banyak mahasiswa merasa bahwa kitab tafsir klasik cukup berat dipahami jika tanpa penjelasan yang sederhana. Mereka membutuhkan sarana perantara yang dapat menjadi “Jembatan” menuju pemahaman yang lebih mendalam. Di sinilah teknologi seperti ChatGPT dan media AI lainnya mulai memainkan peran. Bagi generasi digital, AI bukan hanya alat bantu, tetapi juga teman dialog yang siap menjawab pertanyaan mereka dengan cepat. ChatGPT mampu memberikan ringkasan makna ayat, menjelaskan istilah sulit, bahkan membandingkan pendapat ulama (meski tetap perlu dikonfirmasi sumbernya). Namun, transformasi ini membawa pertanyaan penting: Apakah penggunaan AI akan mendorong kedalaman pemahaman atau justru menjadikan kajian tafsir lebih dangkal dan instan? Tantangan utama pembelajaran tafsir di era digital bukan hanya soal akses informasi, tetapi bagaimana membentuk mahasiswa yang tetap kritis, ilmiah, dan berlandaskan otoritas keilmuan.
Dengan demikian, tantangan generasi digital dalam belajar tafsir bukan hanya bagaimana memahami isi Al-Qur’an, tetapi bagaimana menggunakan teknologi baru seperti ChatGPT secara bijak agar tidak menggantikan otoritas ulama, melainkan menjadi pintu awal untuk mendalami makna wahyu secara lebih serius dan bertanggung jawab.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman sejumlah mahasiswa, muncul beberapa persepsi positif terhadap kehadiran ChatGPT dalam pembelajaran tafsir:
- Mudah diakses kapan saja
- Mampu menjelaskan ayat dengan bahasa yang sederhana
- Memberikan gambaran awal sebelum membaca kitab tafsir klasik
- Meningkatkan rasa ingin tahu dan motivasi belajar
Namun, mahasiswa juga menyadari bahwa ChatGPT bukan sumber tafsir primer, melainkan alat bantu. Mereka menyadari bahwa AI masih berpotensi memberikan penjelasan yang tidak merujuk langsung pada tafsir ulama otoritatif seperti Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, atau Ath-Thabari.
Dari sudut pandang keilmuan, mahasiswa terbagi dalam dua kelompok besar: (a) optimis; pandangan terhadap ChatGPT membantu mempercepat pemahaman dasar sebelum diskusi kelas atau kajian kitab. (b) kritis; pandangan terhadap ChatGPT harus diuji validitasnya dan tetap dikonfirmasi dengan sumber tafsir terpercaya. Sebagian besar mahasiswa sepakat bahwa ChatGPT dapat menjadi media awal eksplorasi tafsir, tetapi mereka tetap membutuhkan bimbingan dosen dan referensi kitab klasik.
Beberapa dosen terkadang menyarankan untuk tidak selalu terpaut dengan ChatGPT, Namun beberapa dosen justru mendorong mahasiswa untuk mengkritisi jawaban ChatGPT. Ini menjadi latihan berpikir kritis dalam mengkaji tafsir secara lebih mendalam. ChatGPT akhirnya menjadi jembatan antara rasa ingin tahu mahasiswa dan kajian ilmiah yang lebih serius. Jika digunakan secara bijak, ChatGPT dapat: 1.Mempermudah mahasiswa memahami istilah tafsir,2.Menjadi sarana tanya jawab cepat sebelum diskusi kelas, 3.Menumbuhkan minat belajar Al-Qur’an secara mandiri, 4.Menjadi pemantik pemikiran sebelum menelusuri pendapat ulama.
Pemanfaatan ChatGPT dalam pembelajaran tafsir Al-Qur’an mencerminkan perubahan cara belajar generasi digital dalam memahami ilmu-ilmu keislaman. Bagi mahasiswa, ChatGPT menjadi sarana yang mudah diakses, interaktif, dan mampu memberikan penjelasan awal terhadap ayat-ayat Al-Qur’an secara sederhana. Teknologi ini membantu membuka wawasan dan memantik rasa ingin tahu sebelum mereka mendalami tafsir dari sumber-sumber klasik.
Namun demikian, ChatGPT tidak dapat menggantikan otoritas ulama dan kedalaman kajian kitab tafsir. Penggunaan AI dalam studi tafsir perlu disertai sikap kritis, selektif, dan bimbingan dari dosen agar tidak menimbulkan kesalahpahaman terhadap makna ayat. Dengan pendekatan yang bijak, ChatGPT dapat menjadi jembatan antara kemudahan teknologi dan kedalaman ilmu tafsir mendorong mahasiswa untuk belajar lebih mandiri, reflektif, dan tetap berpegang pada tradisi keilmuan Islam yang otoritatif.
Penulis : Nahrul Firdaus Achmadika
Editor : Nahrul Firdaus Achmadika

